• November 25, 2024

Dari keamanan hingga pendidikan kompetitif

Negara tetangga kita, Singapura, merayakan hari jadinya yang ke-50, Minggu 9 Agustus. Lionland telah menyiapkan banyak kemeriahan untuk merayakan hari jadi emasnya, yaitu parade besar-besaran, pertunjukan gratis di berbagai lokasi strategis dan lain sebagainya.

Dua tahun lalu saya beruntung mendapatkan beasiswa untuk belajar di sana untuk mendapatkan gelar master. Tinggal di sana selama dua tahun membuat saya mengetahui banyak hal yang – mungkin – berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia.

Meski untuk beberapa hal lainnya tidak selalu positif. Namun secara keseluruhan, saya masih terkesima dengan perkembangan Singapura selama 50 tahun terakhir.

Merasa aman

Hal pertama yang saya sukai dari Singapura adalah rasa amannya. Hal yang sering saya lakukan di Singapura, tapi tidak di Indonesia, adalah tidak menutup koper. Kemana pun saya pergi, saya sangat nyaman membawa tas yang tidak menggunakan resleting.

Hal ini tidak mengherankan karena Singapura adalah kota teraman kedua di dunia setelah Tokyo, Jepang menurut Indeks Keamanan Economist tahun 2015.

Meski memang untuk beberapa tempat khusus yang banyak turisnya, saya tetap tidak berani melakukannya. Wajar jika banyak pencopet.

Rasa aman ini juga tercermin pada keselamatan pengguna jalan. Di Singapura, pejalan kaki sangat dihormati. Trotoar dibuat sangat nyaman untuk dilalui (khususnya bagi pengguna sepatu hak tinggi!) dan juga lebar.

Setelah tengah malam masih minim kejahatan. Saya bisa dengan bebas jogging bahkan setelah tengah malam!

Selain aman secara fisik, warganya yang berada di Singapura juga merasa aman secara psikologis. Hal ini disebabkan oleh aparat pemerintah daerah yang sangat mengutamakan warganya.

Misalnya saja ketika saya menemani teman saya melaporkan pakaiannya yang hilang. Polisi langsung membuat berita acara pemeriksaan (BAP). Sementara itu, polisi lainnya langsung menelepon dan menginterogasi orang yang diduga melepas pakaian teman saya.

Tak hanya itu, dalam lembar BAP yang diterimanya juga disebutkan siapa petugas yang akan melakukan pemeriksaan dan nomor teleponnya! Ditambah lagi semuanya gratis!!

Tak heran jika salah satu dosen saya yang sudah lama berkecimpung sebagai PNS Singapura pernah bercanda bahwa maksudnya adalah pegawai negeri di singapura kok”pembantu“.

Sistem pendidikan yang kompetitif

Hal kedua yang berkesan bagi saya adalah sistem pendidikannya. Saya mengetahui hal ini justru karena saya pernah mengalaminya sendiri. Di Singapura, sistem pendidikan secara umum selalu kompetitif.

Di tempat saya bersekolah juga berlaku sistem penilaian kurva normal (kurva lonceng), dimana nilai suatu kelas dirata-ratakan, kemudian nilai diatas rata-rata dengan selisih paling besar mendapat nilai tertinggi dan sebaliknya.

Jadi, dengan sistem seperti itu, persaingan sangat ketat untuk mendapatkan nilai terbaik. Sebab, betapapun pintarnya seorang siswa, jika ia tidak lebih pintar dari siswa lainnya, maka ia tidak akan mendapat nilai terbaik.

Memang terlihat menakutkan. Mungkin ini juga yang menyebabkan pelajar di Singapura sering bermalam di perpustakaan dan ruang belajar (tempat yang khusus disediakan untuk belajar dan biasanya buka 24 jam).

Tidak hanya itu, di setiap Starbucks dan McDonalds saya selalu menjumpai orang-orang yang sedang belajar atau berdiskusi (saya juga salah satunya). Adegan ini agak mereda saat liburan semester.

Budaya kompetitif ini juga terjadi di lingkungan kerja. Sistem kerja pegawai negeri di Singapura menganut sistem meritokrasi dimana promosi atau penghargaan diberikan berdasarkan kinerja. Tak heran jika banyak PNS yang menduduki jabatan tinggi meski usianya masih muda.

Tidak semuanya sempurna

Memang tidak ada yang sempurna. Ada juga beberapa hal yang saya rindukan tentang Indonesia ketika saya tinggal di Singapura. Salah satu contohnya adalah kebebasan berekspresi.

Di Singapura, seseorang bisa dihukum karena berita palsu atau penghinaan. Misalnya saja Amos Yee Pang Sang, remaja berusia 16 tahun yang terancam hukuman tiga tahun penjara karena membuat video yang menghina mendiang Lee Kuan Yew pada Maret 2015 lalu.

Selain itu, ada beberapa kasus yang berakhir di pengadilan karena tuduhan korupsi. Misalnya kasus blogger Roy Ngerng yang dibawa ke pengadilan karena menulis tentang penyalahgunaan dana pensiun (Central Provident Fund/GPF) oleh Perdana Menteri Lee Hsien Loong pada tahun 2014. Ia akhirnya dipecat dan harus membayar denda sebesar SGD 6.000.

Namun ada beberapa hal yang menarik untuk diadopsi di Indonesia antara lain sistem transportasinya yang maju, tata kota yang baik dan juga sistem pemerintahan yang efisien.

Saya pribadi berharap hubungan Indonesia dan Singapura kedepannya akan semakin harmonis, karena banyak hal yang bisa dicontoh dari negara kecil ini.

Selamat Ulang Tahun, Singapura! — Rappler.com

Ririn Radiawati Kusuma Saat ini, ia sedang merintis upaya menjadi pengamat kebijakan publik. Dia adalah lulusan dari Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew, Universitas Nasional Singapura.

sbobet mobile