• October 6, 2024

Hak kita untuk menikmati trotoar tidak boleh dirampas

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Para tunanetra di Bali tidak hanya terancam terjatuh ke trotoar berlubang saat berjalan, mereka juga kerap diserang pedagang asongan karena menjatuhkan dagangannya.

DENPASAR, Bali — I Nyoman Sedana, seorang penyandang tunanetra, sedang berjalan di trotoar hingga terjatuh ke selokan.

“Tongkat saya patah karena dalam menyelam“Saya juga terluka,” kata Sedana. “Aku terjatuh, temanku juga terjatuh.”

Ia kesulitan memantau kondisi lubang di trotoar dengan tongkatnya.

Sedana tidak sendirian. Banyak penyandang tunanetra, beberapa di antaranya berprofesi sebagai terapis pijat, yang seringkali harus berjalan di trotoar untuk berangkat ke tempat kerja. Daerah tempat mereka umumnya bekerja Di kawasan Jalan Sudirman-Diponegoro banyak terdapat kos-kosan, sekretariat perkumpulan tunanetra, dan penginapan-penginapan yang sering menjadi tempat pijat tunanetra di Denpasar.

Musuh mereka bukan sekedar lubang di trotoar. Pedagang yang sering berjualan di trotoar kerap dimarahi karena barangnya terlindas.

“Justru saya yang dimarahi mereka,” kata Bawa, seorang penyandang tunanetra lainnya, yang menceritakan kisahnya dimarahi oleh seorang penjual bensin eceran.

Trotoar juga bukan satu-satunya tantangan bagi tunanetra. Mereka mempunyai masalah dengan perjalanan.

“Di gedung perkantoran, kami mengandalkan petugas keamanan untuk mengantarkan kami ke tujuan,” kata Bawa.

Demonstrasi untuk fasilitas yang lebih baik

Dengan tantangan tersebut, 30 orang Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Bali berjalan sejauh 2 kilometer pada Rabu 24 Juni. Mereka menyusuri jalan yang sering mereka lalui, memprotes fasilitas pejalan kaki yang tidak ramah terhadap mereka.

Ketimbang berjalan di trotoar, mereka memilih berjalan di badan jalan karena trotoar dianggap berbahaya. Mereka beberapa kali berhenti untuk berorasi sambil membuka plakat yang mereka bawa.

Poster-poster tersebut bertuliskan “Bencana memasuki trotoar yang berlubang”, “Jangan merampas hak kami untuk menikmati trotoar”, dan “Jangan pahami kami dengan penuh kasih.”

“Denpasar disebut kota budaya, tapi tidak semua perilaku masyarakatnya bersifat budaya,” kata Gede Widiasa, salah satu peserta aksi yang memprotes para pedagang di trotoar.

Seorang perempuan penjual bensin eceran yang menjadi sasaran protes justru memotret mereka dengan ponsel sambil tertawa.

“Beberapa dari kami harus bekerja sebagai tukang pijat di berbagai kawasan di Jalan Diponegoro. Trotoar yang rusak, berlubang, sebenarnya banyak yang menjadi tempat parkir dan tempat berjualan. Banyak teman yang menjadi korban.”

Menurutnya, trotoar merupakan sumber penghidupan para penyandang tuna netra yang bekerja.

Di Bali terdapat sekitar 400 penyandang tunanetra. Mayoritas dari mereka berprofesi sebagai tukang pijat keliling dan membuat kerajinan tangan. Sisanya adalah ibu rumah tangga dan pelajar. Beberapa di antara mereka ada yang kesulitan bekerja mandiri karena fasilitas umum yang tidak ramah terhadap mereka.

Menuntut peraturan yang melindungi penyandang disabilitas

Para penyandang tunanetra ini ingin agar pemerintah Bali mengeluarkan peraturan daerah yang melindungi penyandang disabilitas.

“Salah satu kebutuhan dasar fasilitas umum yang belum dapat dinikmati secara maksimal oleh penyandang disabilitas khususnya tunanetra di Kota Denpasar adalah fasilitas trotoar yang tidak dapat dinikmati secara maksimal. dapat diakses,” kata Gede Nusantara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali.

Undang-undang tersebut juga mengatur ketersediaan trotoar bagi pejalan kaki, penyandang disabilitas, dan warga lanjut usia. Tak hanya itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas.

Meski demikian, Gede mengatakan meskipun terdapat undang-undang dan konvensi tersebut, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas masih terjadi di berbagai bidang. — Rappler.com


daftar sbobet