• September 20, 2024

Halo politisi Senayan, Jose Mujica bukanlah tokoh fiksi

“Saat politisi mulai menaiki tangga, mereka tiba-tiba menjadi raja. Saya tidak tahu bagaimana cara kerjanya, tapi yang saya tahu adalah bahwa republik ini hadir untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang lebih dari orang lain. Anda memerlukan istana, karpet merah, banyak orang di belakang Anda yang berkata, ‘Ya, Pak’. Saya pikir semuanya mengerikan.”

Kalimat tersebut dilontarkan Jose “Pepe” Mujica untuk menjelaskan alasannya memilih hidup sederhana sebagai presiden Uruguay selama lima tahun menjabat (2010-2015).

Mujica menyumbangkan 90 persen gajinya sebagai presiden, tinggal di rumah sederhana, menggunakan mobil tua, dan menolak penjagaan berlebihan meski mendapat berbagai ancaman. Saat memutuskan pensiun dari Keprabon, dunia merindukan pemimpin panutan yang meninggalkan Uruguay dalam kondisi perekonomian yang baik.

Beberapa dari Anda pernah membaca kisah Mujica, presiden termiskin di dunia, dan bergumam, “Luar biasa. Sangat menginspirasi. Seorang pemimpin teladan. Itu bagus.”

Lalu kenapa kali ini saya mengutip lagi cerita Mujica? Jawabannya karena ternyata ada sebagian orang yang tidak membacanya. Atau bahkan jika Anda membacanya, menganggap bahwa cerita Mujica hanyalah dongeng belaka. Mitos. Tidak perlu memikirkannya. Benarkah ada politisi, presiden juga, yang ingin hidup sederhana?

Politisi yang mengusulkan kenaikan gaji presiden, serta kenaikan berbagai tunjangan pimpinan dan anggota DPR, mungkin menganggap Mujica adalah sosok dongeng. Karakter fiksi.

Mereka tak segan-segan mengusulkan kenaikan gaji presiden menjadi Rp 200 juta, dari gaji Rp 62 juta ditambah sejumlah tunjangan saat ini.

Ada politisi Senaya yang tak malu menyebut manfaat yang diterima selama ini belum mencukupi.

Mereka, para politisi, tiba-tiba kaget ketika masyarakat bereaksi negatif. Meminta kenaikan gaji dan tunjangan di saat perekonomian mendekati krisis?

Kapan nilai tukar terus turun? Kapan jumlah penduduk miskin bertambah 860.000 jiwa sejak September 2014 hingga Maret 2015?

Kemudian banyak yang menyalahkan Menteri Keuangan karena menyetujui usulan kenaikan hibah. Nah, siapa yang menyarankannya? Bukankah angkanya juga berasal dari DPR? Bukankah Badan Dalam Negeri (BURT) yang mengajukan usulan itu merupakan pembantu DPR dan diisi perwakilan fraksi?

Memang sulit memahami logika berpikir para politisi yang sejatinya merupakan wakil rakyat. Soalnya mereka punya kewenangan pembahasan anggaran alias Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (SRPBN).

Ketika eksekutif mengajukan usulan yang mencakup kenaikan anggaran, ada pintu masuk untuk “mempercayakan” aspirasi anggota dewan. Masuk!

Berapa tunjangan DPR?

Ada yang menghitung, peningkatan pendapatan yang diterima anggota DPR akibat kenaikan tunjangan mencapai 40 persen dari pendapatan mereka saat ini sekitar Rp 50-55 juta per bulan.

Apa alasan meminta kenaikan tunjangan? Ada pihak yang berpendapat bahwa bahkan setelah kenaikan gaji dan tunjangan, hal tersebut masih belum cukup untuk memberikan pengawasan yang efektif.

Ada yang membandingkannya dengan gaji direksi badan usaha milik negara (BUMN). Lalu mengapa Anda memilih menjadi politisi?

Dan sejumlah alasan lainnya menurut mereka adalah, “Lagi pula, jika ditingkatkan, total alokasi anggaran DPR masih di bawah atau persentase dari rencana belanja tahun 2016 sebesar Rp 2,121 triliun.

Biaya politik menjadi anggota DPR

Membaca argumen itu, saya teringat tesis doktor Pramono Anung, Wakil Ketua DPR RI 2009-2014 yang kini menjabat Sekretaris Kabinet.

Pramono menelusuri biaya politik yang dikeluarkan anggota DPR periode 2009-2014 pada pemilu 2009. Untuk mendapatkan kursi di Senayan, politisi harus mengeluarkan biaya mulai dari Rp300 juta hingga Rp6 miliar.

“Semakin populer seorang calon legislatif, maka biaya politiknya akan semakin rendah,” kata Pramono saat meluncurkan buku bertajuk Kerugian dari demokrasi, pudarnya ideologi, pada tahun 2013.

Buku tersebut merupakan hasil penelitian disertasi doktor Pramono di Universitas Padjadjaran Bandung.

Temuan Pramono menunjukkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam proses menjadi anggota DPR merupakan konsekuensi dari penerapan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak. Persaingan tidak hanya terjadi antar partai politik, namun juga antar calon legislatif dalam satu partai politik.
Biaya politik paling tinggi ditanggung oleh calon legislatif (caleg) yang berlatar belakang dunia usaha, yakni Rp 1,5 miliar – Rp 6 miliar. Ada kandidat yang merogoh kocek hingga Rp 22 miliar, di antaranya Rp 18 miliar untuk biaya konsultasi.

Responden yang diwawancarai Pramono untuk tesisnya mengatakan mereka sudah memperhitungkan biayanya dan optimis akan mengembalikan modalnya.

Dari mana datangnya pengembalian modal? Sumber “halal”, ya gaji dan tunjangan. Data yang diperoleh Pramono Anung menunjukkan, calon anggota DPR rata-rata mengeluarkan dana sebesar Rp100 juta selama masa kampanye.

“Tak heran jika wajah DPR akan diisi oleh legislator dari dunia usaha,” kata Pramono saat itu. Rupanya, sekitar 72 persen anggota DPR periode 2009-2014 berasal dari dunia usaha.

Sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak terus berlanjut dan diduga menyebabkan biaya politik seorang calon legislatif pada pemilu 2014 meningkat 1,5 hingga 2 kali lipat dibandingkan biaya politik lima tahun sebelumnya.

Tingginya biaya politik yang harus ditanggung politisi yang ingin duduk di Senayan disebut-sebut menjadi pemicunya bahaya moral, termasuk potensi kolusi dengan pihak eksekutif untuk mengesahkan pos-pos anggaran. Setidaknya biarkan anggota DPR bersuara lantang dengan menuntut peningkatan fasilitas dan insentif selama menjadi wakil rakyat.

Bahkan, ada pula masyarakat yang diwakilinya yang terpuruk karena kondisi ekonomi, dipecat dari perusahaannya karena perusahaannya bangkrut, atau masyarakat semakin miskin karena harga pangan yang tidak terjangkau.

Saya tidak menentang kenaikan gaji politisi. Tapi, sekali lagi, karena mereka wakil rakyat, bukankah mereka harus memikirkan nasib rakyat yang diwakilinya? Meski uang jajan tidak ditambah, kamu tetap bisa nongkrong di kafe dan hotel, kan?

Saat dikritik karena pergi ke AS untuk bertemu Donald Trump, pimpinan DPR beralasan tujuannya adalah untuk membantu menarik investasi di saat perekonomian sedang melambat.

Konsisten saja, bahwa dalam situasi seperti ini semua orang harus mengencangkan sabuk pengamannya. Mari kita bekerja sama untuk meningkatkan perekonomian, dan memikirkan tentang menaikkan gaji dan tunjangan setelah perekonomian pulih.

Tanggapan Jokowi terhadap usulan kenaikan gaji

Untungnya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo hingga saat ini belum menyatakan “setuju” dengan usulan rekan-rekan partainya, di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), agar gajinya dinaikkan. Jokowi mengaku baru mendengar usulan tersebut dan meminta wartawan bertanya kepada pengusul dan Menteri Keuangan.

RAPBN memang merupakan dokumen yang tebal. Mengingat di mana letak pos usulan kenaikan gaji dan tunjangan, tentu ini bukan saat yang tepat bagi Jokowi yang saat ini tengah diliputi asap, kebakaran hutan, dan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ibu.

Jokowi tak perlu mengikuti jejak Jose Mujica yang menyumbangkan 90 persen gajinya. Sebelumnya, Jokowi merupakan seorang pengusaha furnitur yang mampu menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Secara finansial, Jokowi berkecukupan, tidak bergantung pada pendapatan dari uang pajak. Toh, seluruh pengeluaran sehari-hari juga ditanggung negara.

Jokowi tinggal tegas menyatakan tidak setuju gajinya dinaikkan selama perekonomian belum pulih.

Jadi, politisi yang bersahabat dengan presiden dengan mengajukan kenaikan gaji, sebaiknya tidak melontarkan ide yang justru membuat presiden menjadi sorotan.

Silakan baca cerita Jose Mujica. Kalau jauh, di Indonesia ada politisi seperti Bung Hatta. Mereka bukanlah karakter fiksi. —Rappler.com

BACA JUGA:

 Uni Lubis adalah jurnalis senior dan Eisenhower Fellow. Dapat disambut di @UniLubis.


live rtp slot