• October 7, 2024

Harga beras semrawut karena kualitas data yang buruk?

“Kontrol minyak dan Anda mengendalikan negara. Kendalikan makanan maka Anda akan mengendalikan rakyatnya”.

Kutipan di atas adalah milik Henry Kissinger, mantan Menteri Luar Negeri AS di bawah Presiden Richard Nixon, 1973-1977.

Kissinger sebelumnya adalah penasihat keamanan Presiden Nixon dan dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1973 untuk perannya dalam Perang Vietnam. Kamis 19 Maret ini saya melihat kutipan di atas dalam presentasi Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa dan Ketua Bank Benih Tani Indonesia, Azwar Hadi Nasution.

Dwi Andreas Santosa membawakan presentasi berjudul “Krisis Beras Berantakan: Mafia atau Data Politik?” dalam perbincangan yang digelar Ikatan Alumni IPB. Acara yang berlangsung di Auditorium Badan Urusan Logistik (Bulog) itu membahas tentang kebijakan beras.

Selama tiga minggu terakhir, saya mengikuti diskusi awal mengenai kisruh kenaikan harga beras yang menyebabkan pemerintah membagikan beras kepada masyarakat miskin (raskin), untuk memastikan tidak ada masyarakat yang kelaparan karena tidak mampu membeli beras. makanan pokok 250 juta penduduk Indonesia.

(BACA: Harga Beras Naik, Salah Siapa?)

Sejumlah isu mengemuka dalam diskusi dalam rangka mencari solusi kedaulatan pangan. Bagi masyarakat Indonesia, hal ini berarti pasokan beras tercukupi dengan harga terjangkau. Topik pembahasannya beragam. Diawal pentingnya land reform dalam arti mengembalikan fungsi lahan pertanian yang selama ini banyak terserap oleh fungsi-fungsi lainnya, termasuk pembongkaran kepemilikan tanah yang terkonsentrasi pada segelintir orang, dikembalikan kepada petani. Kearifan lokal antara lain mengubah paradigma bahwa makanan pokok harus nasi.

Berbicara pangan menurut definisi yang dianut oleh Dewan Ketahanan Pangan tidak hanya soal ketersediaan stok dan harga, tetapi juga kualitas dan penyerapan nutrisi. Kedaulatan atas sarana produksi pertanian juga dibahas, karena masih dikuasai asing, penguasaan teknologi tepat guna, hingga memprihatinkan infrastruktur pertanian, termasuk irigasi.

Kasus tersebut juga membahas kondisi gudang Bulog. Indeks ketahanan pangan Indonesia berada pada peringkat 72 dari 109 negara.

Dari diskusi tersebut misalnya, kami mendapat informasi bahwa Bulog yang selama ini paling mendapat perhatian setiap kali terjadi kenaikan harga beras, nyatanya hanya menguasai 8% pasokan beras nasional.

Dalam posisi seperti itu, bagaimana Bulog bisa seenaknya mempengaruhi harga? Harga beras praktis ditentukan oleh mekanisme pasar: penawaran dan permintaan.

Jadi, ketika seorang pejabat tinggi pemerintah membuat pernyataan bahwa kenaikan harga beras akan membawa manfaat bagi petani, timbul pertanyaan. Petani mana yang diuntungkan? Sebanyak 76% petani padi kita adalah konsumen bersih beras.

Ini berarti bahwa keluarga petani membeli lebih banyak beras daripada yang mereka hasilkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 68% penduduk miskin tinggal di pedesaan, dan 57% di antaranya adalah petani. Beras masih menyumbang 27%-35% dari total pengeluaran petani.

Saya tidak terkejut dengan data yang disampaikan senior saya. 30 tahun yang lalu ketika saya masih kuliah di IPB, data yang kami dapat adalah mayoritas petani kami menguasai lahan kurang dari seperempat hektar. Padi yang mereka tanam dipesan melalui tengkulak. Di-jon. Terkunci dengan harga tertentu.

Ketika harga naik atau turun, petani kecil menerima sesuai harga yang disepakati dengan tengkulak. Lalu bagaimana mereka bisa dikatakan mendapat manfaat dari kenaikan harga beras? Yang diuntungkan adalah petani yang mempunyai lahan luas dan pedagang.

Pada tanggal 17 Maret 2015, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2015 tentang kebijakan pengadaan gabah/beras dan penyaluran beras oleh pemerintah yang salah satunya mengatur tentang HPP beras.

Berdasarkan Inpres tersebut, harga pembelian padi kering panen (DHP) dalam negeri dengan kadar air maksimal 25% dan kadar kekosongan maksimal 10% adalah Rp3.700 per kilogram (kg) untuk petani atau Rp3.750 per kg untuk pabrik.

Seperti dimuat di laman berita Antara, harga beli gabah kering giling (GKG) dengan kualitas kadar air minum 14% dan kadar pengotor maksimal 3% ditetapkan Rp 4.600/kg di penggilingan atau Rp 4.650/kg. kg di gudang Bulog.

Sedangkan untuk harga pembelian beras kualitas dengan kadar air maksimal 14%, butir pecah maksimal 20% persen, kadar abu maksimal 2% dan derajat giling minimal 95% adalah Rp 7.300/kg di Perum Bulog gudang.

Harga baru ini lebih tinggi 10% dibandingkan harga sebelumnya.

Keakuratan data beras dipertanyakan

Awal pekan ini, Jokowi menginstruksikan Bulog untuk membeli gabah langsung dari petani. Direktur Pelayanan Publik Bulog Lely Pelitasari mengatakan dengan HPP baru, pihaknya siap menyerap 2,5-2,7 juta ton beras dari petani.

Kapasitas gudang Bulog sejauh ini mampu menampung hingga 4 juta ton. Bila penuh berarti menyerap sekitar 10% pasokan nasional. Pertanyaannya, jika panen kali ini mencapai puluhan juta ton, apakah gudang Bulog siap menampungnya? Cukup? Kalau dikalikan harga saat ini yakni Rp 4.000 per kilogram gabah, dananya akan dialokasikan ke mana? Di manakah gandum akan digiling? Apakah Bulog memiliki armada angkutan yang memadai?

Banyak pertanyaan, dan sampai saya menulis ini tidak ada jawaban. Kisruhnya harga beras salah satunya disebabkan oleh buruknya kualitas data selama ini.

(BACA: Revolusi Pangan Dimulai Dengan Menyiapkan Makanan Anda)

Persoalan data pertanian, termasuk luas lahan dan produksi, menjadi salah satu perdebatan panjang. Data yang ada dihasilkan dari ekstrapolasi. Yang mendekati kenyataan entah dimana mendapatkannya. Jika datanya belum tentu akurat, solusinya mungkin juga melenceng. Sejauh ini, kesimpulan yang dapat ditarik adalah Bulog hanya menguasai 8% pasokan beras nasional, dan tidak dapat mengendalikan harga beras.

Hal tersebut digarisbawahi oleh Ketua Ikatan Alumni IPB, Bambang Hendroyono. Dia berpandangan, ada sejumlah persoalan di sektor penggerak nasional, salah satunya soal data produksi. Menurut dia, data produksi yang tidak akurat menyebabkan kenaikan harga yang tidak terkendali. Harga beras di beberapa daerah mengalami kenaikan hingga 30%.

Menurut Bambang, kenaikan 30% ini menjadi isu nasional yang menarik perhatian pemerintah.

Ia menyoroti keterlibatan Jokowi dalam membenahi sektor penggerak nasional dengan mengunjungi Gudang Bulog di Kelapa Gading, Jakarta Utara, pekan lalu.

“Kemudian, kurang dari sebulan kemudian, harga beras kembali stabil. Hal ini karena dua hal penting, yaitu operasi pasar yang dilakukan Perum Bulog dan awal musim panen hingga saat ini,” kata Bambang saat diskusi HA-IPB tentang kebijakan beras.

Hendroyono mengatakan ada beberapa kendala, salah satunya menyangkut data produksi. Menurut perhitungan, produksi beras mencapai 35 juta ton pada tahun 2013 saja, dengan luas sawah 7,8 juta hektar. Jika konsumsi per kapita 121 kg/kapita/tahun dikalikan jumlah penduduk kita, maka total konsumsi mencapai 30 juta ton. Artinya Indonesia harus surplus 5 juta ton.

“Apakah data ini tidak akurat dan adakah persoalan lain yang belum diperhatikan seperti laju konversi lahan?” dia berkata.

Dwi Andreas Santoso, yang juga Ketua Gabungan Bank Benih Petani, menilai data produksi beras saat ini patut dipertanyakan.

“Dari data produksi kami tahun 2014 sebesar 43,3 juta ton atau surplus 6,2 juta ton. Kalau dihitung sebenarnya tidak ada shock harga seperti kemarin. Oleh karena itu, kami menduga ada masalah pada datanya. Soal data, kita harus hati-hati karena ada penyimpangan data internasional, data produksi beras kita sekitar 16%,” jelasnya.

Kenaikan harga versi Bulog

Lely Pelitasari mengatakan salah satu pemicu kenaikan harga beras adalah tertundanya distribusi beras kepada keluarga miskin.

Pemerintah tidak menyalurkan raskin pada November dan Desember 2014 sebanyak 460 ribu ton. Sementara penyaluran raskin mengalami keterlambatan pada Januari 2015.

Artinya stok kosong di pasaran ada 700 ribu ton dan hanya ditutup atau ditambal dengan operasi pasar (OP) sebanyak 75 ribu ton pada November-Desember dan 139 ribu ton pada Januari atau total 260 ribu. katanya.

(BACA: Atasi Masalah Nasi dengan Variasi Kuliner)

Lely menjelaskan, tidak adanya distribusi beras selama hampir 3 bulan berpengaruh signifikan terhadap kenaikan harga beras. Pasalnya, Raskin selama ini membantu pasokan di tingkat pasar dan memasok beras untuk masyarakat luas.

“Stok rata-rata per bulan untuk raskin adalah 230 ribu ton. Mengapa 230 ribu ton itu penting? Konsumsi bulanan kita, dengan asumsi konservatif 139 kg beras/kapita/tahun dikalikan jumlah penduduk, maka dibutuhkan 2,6 juta ton beras per bulan. Diisi 230 ribu ton untuk program raskin tadi. Membagikan Pasar 10% itu sangat signifikan,” jelasnya.

Alasan ini jelas menjadi penyebab kenaikan harga beras. Selain itu, ketersediaan stok beras juga terganggu akibat berkurangnya stok akibat tertundanya musim panen. Belum lagi kelaparan dan tanam mundur, jadi wajar saja kalau harga beras naik, kata Lely.

Diskusi yang digelar HA-IPB dan Perum Bulog juga mengidentifikasi permasalahan kurang leluasanya Bulog dalam melakukan relokasi, karena sifat birokrasi dan peraturan yang mendasari cara kerjanya.

Bulog kini juga berada di bawah bendera sejumlah kementerian alias mempunyai induk lebih dari satu. Hal ini juga mempengaruhi kelincahan Bulog dalam menyikapi situasi tersebut, khususnya krisis harga beras seperti yang kita alami pada Januari-Februari 2015.

Pertanyaannya sekarang apakah pemerintah dan Bulog mau belajar dari sengketa harga beras yang baru saja terjadi. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.


situs judi bola