Indonesia harus mampu mengurangi jumlah penduduk miskin
- keren989
- 0
Memasuki tahun 2015, tidak mudah bagi pemerintahan Jokowi untuk memperbaiki kondisi yang ada, mengingat kondisi perekonomian global yang kurang mendukung.
Memang, selama sepuluh tahun mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan jajaran pemerintahannya berhasil membaik keluaran perekonomian nasional yang didukung oleh pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 5 persen. Melalui berbagai kebijakan ekonomi yang pro pertumbuhan, Indonesia di bawah kepemimpinan SBY mampu tampil sebagai kekuatan ekonomi yang patut diperhitungkan di dunia. Buktinya, di awal tahun ini Indonesia sudah ditetapkan perekonomian terbesar ke-10 di dunia berdasarkan paritas daya beli Bank Dunia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2013 mencapai Rp9,084 triliun (berdasarkan harga berlaku), sedangkan pendapatan per kapita mencapai Rp 36,5 juta pada tahun 2013 meningkat tiga kali lipat dibandingkan tahun 2004.
Namun di balik berbagai indikator keberhasilan makro tersebut, masih banyak pekerjaan rumah di bidang perekonomian yang dihadapi Indonesia yang saat ini menjadi tanggung jawab pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo.
Salah satu tantangan tersulit dalam sektor perekonomian saat ini adalah pengentasan tingkat kemiskinan. Meski tren kemiskinan mengalami penurunan sejak tahun 2004 hingga saat ini, namun hasilnya masih belum sesuai harapan banyak pihak. Pada awal masa jabatannya yang kedua, pada tahun 2009, pemerintahan SBY menargetkan penurunan angka kemiskinan di Indonesia hingga ke level 8%. Faktanya, sekitar 28,28 juta penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan pada bulan Maret 2014, atau 11,25% dari total penduduk, berdasarkan data yang dikeluarkan BPS.
Tren penurunan angka kemiskinan cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. Sementara itu, kesenjangan ekonomi semakin melebar, ditunjukkan dengan tren kenaikan rasio Gini yang saat ini berada pada level 0,41. Rasio Gini merupakan pengukuran statistik untuk melihat sejauh mana distribusi pendapatan di suatu negara, dimana nilai 0 berarti pemerataan yang sempurna.
Artinya, pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan tidak dinikmati seluruh lapisan masyarakat, terutama yang berada di bawah garis kemiskinan. Apa yang terjadi di Indonesia saat ini adalah, sebagaimana diungkapkan oleh banyak pakar ekonomi, yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin terjerumus ke dalam kemiskinan.
Memasuki tahun 2015, tidak mudah bagi pemerintahan Jokowi untuk memperbaiki kondisi yang ada, mengingat kondisi perekonomian global yang kurang mendukung. Menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mampu mendorong perekonomian nasional hingga mencapai pertumbuhan sesuai target.
Begitu terompet tahun baru berhenti berbunyi, pemerintahan Jokowi harus kembali fokus pada pelaksanaan berbagai program pengentasan kemiskinan. Kebijakan pemerintah yang berani mengurangi subsidi BBM pada bulan lalu memang patut diapresiasi untuk mengurangi tekanan fiskal, namun masyarakat miskin bisa kembali menjadi korban jika penyaluran subsidi tidak dilakukan secara hati-hati.
Masyarakat miskin sejauh ini sangat terpukul oleh kenaikan harga bahan bakar. Daya beli mereka tergerus seiring dengan pengurangan subsidi bahan bakar yang mendorong kenaikan harga berbagai komoditas pangan dan biaya transportasi. Beban mereka akan semakin berat ketika pemerintah akhirnya menaikkan gas LPG sebanyak 12 kg di awal tahun.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro beberapa waktu lalu mengatakan pemerintah akan mengalokasikan dana penghematan subsidi BBM ke berbagai sektor yang dinilai sangat penting. Disebutkan, pemerintah akan fokus pada pembangunan infrastruktur, pertanian – khususnya bantuan pupuk dan benih kepada petani — serta sektor maritim. Selain itu, penghematan dana subsidi BBM juga akan dialihkan ke sektor lain, termasuk ketahanan energi dan transportasi.
Sementara itu, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan ada tiga pilar yang harus menjadi fokus utama pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan. Tiga pilar tersebut adalah memperkuat sektor pertanian, meningkatkan sektor industri dalam negeri, dan mendukung sektor keuangan terhadap masyarakat miskin. Menurut INDEF, bantuan intensif dari pemerintah diperlukan agar mereka yang sudah keluar dari kategori miskin tidak lagi terjerumus ke dalam kemiskinan.
Sejauh ini, pemerintah sebenarnya mempunyai amunisi yang cukup besar untuk melaksanakan berbagai program pengentasan kemiskinan yang berada di bawah naungan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Sebanyak Rp135,1 triliun disiapkan untuk anggaran kemiskinan dalam RAPBN 2015, melonjak sangat besar dibandingkan tahun 2004 yang hanya Rp28 triliun.
Berbagai rencana pemerintah selama ini sudah baik, namun yang perlu mendapat perhatian adalah proses implementasinya, sehingga penyalahgunaan anggaran dapat dikurangi, permasalahan yang selalu menghambat berbagai upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Di sini diperlukan peran aktif masyarakat luas untuk memantau proses pelaksanaannya.
Yang tidak boleh dilupakan adalah peran strategis pendidikan dalam menurunkan jumlah penduduk miskin di Indonesia dalam jangka panjang. Seperti yang diilustrasikan oleh banyak negara maju, pendidikan merupakan kunci peningkatan perekonomian, memastikan generasi muda mendapatkan pendidikan yang berkualitas sehingga ketika dewasa mereka dapat bekerja dan tidak menjadi beban perekonomian negara. —Rappler.com
Tasa Nugraza Barley adalah konsultan komunikasi yang pernah menjadi jurnalis di sebuah surat kabar berbahasa Inggris di Jakarta selama dua tahun. Dia suka membaca buku dan bertualang, dan dia sangat menikmati rasa kopi yang diseduh. Ikuti Twitter-nya @garsbanget