• November 24, 2024

Inspirasi perlawanan warga Samin terhadap industri semen

JAKARTA, Indonesia – Video berdurasi 39 menit 25 detik dibuka dengan pemandangan persawahan yang saling bertentangan di Kabupaten Pati dan Rembang. Keduanya berlokasi di provinsi Jawa Tengah.

Anda bisa melihat hamparan sawah hijau teratur dengan saluran irigasi di Pati. Sedangkan lahan tandus, tandus, dan bekas galian di Rembang terbentang entah berapa hektar.

Karena itu pemandangan Foto kedua memperlihatkan sekelompok ibu-ibu yang jari (kain batik dalam bahasa jawa), kebaya, dan rambut (petani bertopi) duduk diam dan berjajar menghalangi jalan di Rembang.

Namun ketenangan itu diganggu oleh seorang pria berkemeja putih dan bertopi hitam. Ia berteriak lantang, “Menyampaikan pendapat itu boleh saja, tapi harus sesuai dengan hukum.”

Namun tatapan ibu-ibu itu tidak berubah, tetap lembut.

Pria berbadan tegap itu melanjutkan, “Atas nama hukum, saya minta ibu-ibu menyampaikan pendapatnya dengan tertib, bukan menghalangi seperti ini. Kalau ibu-ibu menghalangi hal seperti itu, saya akan tangkap,” ujarnya.

Saya tidak tahu apa yang dimaksud petugas laki-laki dengan “tertib”. Dalam video tersebut tidak terlihat para perempuan tersebut menangis atau merobek seragam polisi. Sebaliknya, mereka duduk dengan tenang sambil melihat ke bawah.

Kemudian polisi mulai bertindak, memecah keheningan dan keheningan mereka. Seorang wanita yang mengenakan kebaya berwarna merah muda diangkat. Namun hal itu tidak membuat ibu-ibu yang lain bergeming, mereka tetap diam dan menghalangi jalan. Duduklah dengan tenang.

Inilah adegan demonstrasi pertama yang dihadirkan sutradara film dokumenter Dandhy Laksono dalam Ekspedisi Indonesia Biru bertajuk Samin vs Semen. Dalam video tersebut, Dandhy mengajak tiga institusi, yakni di Pati dan Rembang (Jawa Tengah), serta Tuban (Jawa Timur).

Dalam video tersebut, Dandhy bercerita tentang perlawanan umat Samin terhadap pabrik semen terbesar di Tanah Air; Semen Gresik, serta grup Indocement.

Penduduk ramah (rukun) pertemuan yang diadakan pada malam hari. Mereka berdiskusi, bertukar pikiran, dan berharap bersama agar tanah mereka bisa bertahan dari mega proyek perusahaan semen raksasa itu.

Bukan pertandingan pertama

Sebenarnya perlawanan ini bukanlah yang pertama. Warga Samin yang tinggal di sepanjang Pegunungan Karst, Kendeng, Jawa Tengah, menolak membayar pajak kepada pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1890, menurut video tersebut.

Kemudian setelah kemerdekaan terjadi lagi perlawanan di perusahaan semen raksasa itu. (BACA: Pabrik Semen Picu Perdebatan Lingkungan Hidup di Indonesia)

Berikut daftar pertandingan mereka:

  • 2006, PT Semen Gresik akan membangun pabrik di Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Warga Samin menolak karena menganggapnya sebagai ancaman terhadap pertanian dan sumber daya air.
  • Pada tahun 2009, warga Samin memenangkan gugatan di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) dan Mahkamah Agung. Di tahun yang sama juga PT Semen Gresik Indonesia mundur dari Pati dan pindah ke Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang.
  • 2010-sekarang Indocement Group masuk ke Pati dengan rencana pabrik di Kecamatan Kayen dan Tambakromo, tetangga Desa Samin.
  • PT Semen Indonesia berhasil masuk ke Rembang dan mendirikan pabrik pada 17 Juni 2014.
  • Kini sebagian warga Pati dan Rembang dibantu masyarakat Samin untuk menghadapi Semen Indonesia dan Indocement Group.

Gerilya vs Teror

Joko Prianto, petani asal Rembang, mengatakan dalam video tersebut, gerakan perlawanan awalnya digagas oleh 6 warga saja pada tahun 2011. Anggota perlawanan meningkat pada tahun 2012, setelah laporan dampak lingkungan perusahaan keluar. Mereka punya alasan untuk menolak.

Namun perang gerilya yang mereka lakukan untuk melakukan perlawanan juga mendapat perlawanan, tidak langsung dari pabrik semen, melainkan dari tentara, polisi, dan aparat desa.

“Intimidasi terhadap kami sungguh luar biasa. Beberapa diculik pada malam hari dan dibawa dengan parang. Banyak hinaan, ejekan, hingga kami disebut PKI (Partai Komunis Indonesia). Komunis, seperti itu,” ujarnya.

Ia tak gentar karena ia meyakini Jawa Tengah, khususnya Rembang, tidak boleh menjadi gudang semen, melainkan gudang pangan.

Itu sebabnya dia dan warga setempat mengadakan pertemuan bersama di malam yang tenang. “Jangan berkecil hati, tinggal tinggal sedikit lagi, karena berdasarkan bukti-bukti di lapangan, bukti-bukti pelanggaran hukum di pabrik semen di PTUN, kami yakin 100 persen akan memenangkan gugatan tersebut,” ujarnya. kata pertemuan itu. peserta.

Hilangnya keberadaan

Alih-alih tergiur dengan uang yang dijanjikan perusahaan, sejumlah warga justru malah ingin mempertahankan lahannya. Misalnya, Joko Prianto yang memulai gerakan perlawanan untuk membangun pabrik semen di Rembang.

Ia prihatin melihat warga mulai beralih pekerjaan, dari petani menjadi transporter. Karena tanah di desanya dijual sekitar 30 persen dari total luas lahan pertanian, warga berbondong-bondong membeli truk untuk transportasi. “Saya ganti profesi, (kiri) pertanian,” ujarnya.

Sementara itu, 35 meter dari Rembang di Desa Sukolilo, Pati, Jawa Tengah, pengikut Samin lainnya, Gunarti, menjelaskan alasannya harus terus mempertahankan tanah leluhurnya. Sebab ia takut kehilangan eksistensinya dan tidak bisa lagi hidup dari alam.

“Setiap bulan (biaya hidup) Rp 2 juta saja tidak cukup. “Rp 1,2 juta itu anugerah alam karena airnya gratis,” ujarnya.

Gunretno, yang juga merupakan pengikut Samin di Pati, mengaku tidak akan menjual tanahnya. “Sikap saudara Sudah selesai, dia hanya ingin menjadi petani. “Petani butuh lahan, untuk produktif butuh air,” ujarnya. Jadi dia memutuskan untuk bertarung.

Misi “Biru” di Samin vs Semen

Tangkapan layar dari YouTube.

Dandhy Laksono, sutradara dokumenter Samin vs Semen menuturkan, film ini merupakan bagian dari ekspedisi Indonesia Biru.

‘Biru’ merupakan sebuah konsep sosial yang diperkenalkan oleh seorang jenius bernama Gunter Pauli dari Belgia, namun sebenarnya sudah lama berkembang di nusantara.

Menurut dia, warna biru yang dimaksud adalah istilah untuk ekonomi hijau. Berdasarkan latar belakang, produk atau furnitur pertanian organik yang dianggap ‘hijau’ atau bersertifikat ramah lingkungan, ternyata harganya tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat.

Terlebih lagi, dalam beberapa kasus ‘ekonomi hijau’ justru menimbulkan permasalahan baru seperti konflik masyarakat dan kepentingan konservasi. Kisah nelayan yang ditembak di sekitar Taman Nasional Komodo atau dikriminalisasi karena mengambil kepiting di Taman Nasional Ujung Kulon adalah beberapa contohnya. Salah satunya adalah kisah warga Samin yang melakukan perlawanan terhadap pabrik semen di atas.

Pembuat video pun mendapat teror

Tak hanya warga Rembang yang mendapat teror, pembuat video ini pun banyak mendapat teror. Video yang dibuat Dandhy bersama rekannya Suparta Arz, seorang fotografer dan videografer asal Aceh, diproses selama 1 bulan.

Selama perjalanan, keduanya dilarang memasuki area pabrik dan tidak diperkenankan menemui manajemen di lokasi. “Kami bahkan tidak boleh mewawancarai ibu-ibu yang tinggal di tenda, dengan alasan tenda adalah objek penting nasional,” ujarnya kepada Rappler Indonesia, Rabu, 4 Maret.

Ibu-ibu aktivis yang menentang pembangunan pabrik semen di Rembang melakukan protes pada 27 November 2014 dengan tidur di tenda.

Dalam pembuatannya, Dandhy pun berusaha mendapatkan konfirmasi dari ahli semen. “Tapi tidak ada yang mau difilmkan,” katanya.

Selain itu, kata Dandhy, serangan dari akun tak dikenal yang mengatasnamakan masyarakat Rembang di media sosial. Penasaran? Tonton sendiri videonya sekarang. —Rappler.com


judi bola terpercaya