• November 29, 2024
Jaksa Agung: Kasus Trisakti harus diselesaikan

Jaksa Agung: Kasus Trisakti harus diselesaikan

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Jaksa Agung M. Prasetyo menegaskan, pihaknya akan menyelesaikan kasus penembakan pelajar dalam tragedi Trisakti 1998 agar tidak menjadi beban sejarah yang menimpa bangsa Indonesia.

JAKARTA, Indonesia – Jaksa Agung M. Prasetyo menegaskan pihaknya akan menyelesaikan kasus penembakan pelajar Tragedi Trisakti 1998.

Pada hari-hari ini 17 tahun yang lalu, Ibukota berada dalam keadaan tegang. Krisis ekonomi yang melambungkan harga-harga kebutuhan pokok menyadarkan berbagai elemen bangsa bahwa Indonesia membutuhkan perubahan setelah 32 tahun berada di bawah rezim Orde Baru.

Yang paling terdepan dalam perubahan suara adalah mahasiswa, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.

(BACA: Tragedi Mei 98, hari-hari menuju reformasi)

Tragedi 12 Mei

Hari itu, ribuan mahasiswa berkumpul dalam aksi damai di halaman parkir depan Gedung M (Gedung Syarif Thayeb) Kampus Universitas Trisakti.

Akibat provokasi oknum tak dikenal, aksi yang awalnya damai berubah menjadi kekerasan dan berakhir bentrok antara pengunjuk rasa dan polisi.

Dalam bentrokan tersebut, aparat melepaskan tembakan yang akhirnya memakan korban jiwa 4 mahasiswa Trisakti: Hendriawan, Elang Mulya Lesmana, Hery Hertanto, dan Hafidin Royan.

Jaksa Agung: Jadi beban sejarah, kasus Trisakti harus diselesaikan

Menurut Jaksa Agung M. Prasetyo, tragedi ini merupakan pelanggaran HAM berat. Menurut Prasetyo, Kejaksaan Agung telah membahas penyelesaian kasus tersebut dengan berbagai pihak terkait.

Jadi begini, kemarin kita usulkan, kita bersama Komnas HAM duduk bersama Menkum HAM, Polri termasuk TNI untuk bekerja sama bagaimana menyelesaikan masalah ini, kata Prasetyo, Selasa 12 kata . Mei 2015.

Lebih lanjut Prasetyo mengungkapkan, membiarkan suatu kasus tidak terselesaikan selama 17 tahun akan menjadi beban sejarah bagi bangsa ini. Ia juga menilai, tidak ada batas waktu bagi kasus pelanggaran HAM berat.

“Namun jika hal ini dibiarkan maka akan menjadi beban sejarah bagi bangsa ini. Kasus pelanggaran HAM berat tidak ada batas waktunya. “Jadi kalau tidak diselesaikan sekarang, kapan lagi,” ujarnya.

Bentuk penyelesaiannya tergantung pada situasi dan kondisi kejadian. Jika saat ini masih memungkinkan untuk ditangani, pihaknya akan menyelesaikannya dengan pendekatan hukum. Namun, untuk kasus-kasus yang tidak mungkin diselesaikan dengan pendekatan yudisial, menurut Jaksa Agung, bisa ditempuh melalui jalur non-yudisial.

“Tetapi ada juga perangkat-perangkat lama yang membuat kita sulit, bahkan tidak mungkin, untuk mencari alat bukti, saksi, termasuk tersangka sendiri. Jadi, kami menawarkannya dengan solusi non-yudisial. “Karena UU Pengadilan HAM membolehkan kasus lama seperti ini diselesaikan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC).”

Hambatan pada saluran non-yudisial

Sayangnya, penyelesaian kasus Tragedi Mei 1998 melalui pendekatan non-yudisial masih sulit dilakukan karena terkendala belum adanya undang-undang yang menjadi landasan hukum pembentukan KKR.

“Nah, masalahnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi harus dibentuk dengan undang-undang. Kami belum memiliki undang-undang untuk itu.

“Setelah itu (UU) ada, baru kita bisa membicarakan tawaran penyelesaian non-yudisial,” ujarnya.

Rencana pembentukan KKR ini sudah dibahas sejak akhir April lalu. Komisi tersebut akan terdiri dari perwakilan Kejaksaan Agung, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kepolisian Republik Indonesia, TNI, Badan Intelijen Negara, dan Komnas HAM.

Tujuan dibentuknya KKR adalah untuk menyelesaikan beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang selama ini belum terungkap. — Rappler.com

agen sbobet