• October 5, 2024

Jembatan Bacem mencatat tragedi 1965 di Solo

SOLO, Indonesia – Selain dua karya Joshua Oppenheimer, Tindakan pembunuhan (Tukang daging) Dan Tampilan Keheningan (Kesunyian), ada lagi film dokumenter yang tak kalah menarik untuk membangkitkan ingatan masyarakat tentang penghilangan paksa massal dan pelanggaran HAM di Indonesia 1965-1966, yaitu Jembatan Bacem.

Film dokumenter karya Yayan Wiludiharto yang diproduksi oleh Elsam Indonesia dan Pakorba ini sebenarnya merupakan visualisasi dari kisah viral yang berkembang di Solo dan sekitarnya.

Jembatan Bacem yang membentang di Sungai Besar (Bengawan) Solo ini dikenal sebagai tempat pembunuhan para tahanan yang diduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau organisasi yang terafiliasi dengan partai tersebut.

Film ini banyak menggunakan sketsa untuk menggambarkan kesaksian para penyintas (penyintas). Meski hanya berdurasi sekitar 30 menit, film ini membutuhkan waktu pembuatan sekitar 5 tahun. Salah satu penyebabnya adalah sulitnya menemukan orang-orang yang selamat dari upaya penghilangan paksa di jembatan Bacem dan dapat memberikan kesaksiannya secara runtut dan lengkap.

“Sangat sulit menemukan korban dan saksi yang masih hidup. “Sejak filmnya dibuat pada 2007, kita baru mendapatkan sosok seperti Barjo pada 2012,” kata Yayan beberapa waktu lalu.

‘Tidak terlalu mati’

Kesaksian Barjo menjadi bagian menarik dalam film ini. Meski sudah tua, ia masih memiliki kenangan segar tentang bagaimana ia dan orang-orang diangkut keluar dari kamp penahanan pada tengah malam. Masing-masing narapidana diikat dalam posisi tidur telentang di atas papan kayu seukuran tubuh, lalu ditumpuk di atas truk.

Barjo menggambarkan suasana orang yang akan mengundang kematian. Dia mendengar orang-orang berdoa, tetapi kebanyakan dari mereka mengerang kesakitan ketika piring dan orang-orang di atasnya hancur. Erangan mereka terdengar sangat mengerikan.

Begitu truk tiba di Jembatan Bacem, seluruh tahanan diturunkan dan disandarkan pada besi jembatan sebelum dieksekusi satu per satu. Namun, sebelum algojo mengarahkan senjatanya, Barjo berkali-kali membenturkan bagian belakang kepalanya ke papan, menyebabkan dia terjatuh dan jatuh ke air sebelum ditembak.

“Meski tidak mati, saya kemudian ditangkap kembali dan dikirim ke Nusakambangan dan Pulau Buru selama 13 tahun,” ujar kakek berusia 85 tahun yang kini tinggal di Purwodadi, Jawa Tengah itu.

Selain Barjo, ada Dwijo yang nyaris dieksekusi namun dibatalkan karena diselamatkan kakaknya, anggota Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang bertugas di Sukoharjo. Ia menceritakan bagaimana para tahanan mengikat tangan dan leher mereka lalu menembak dan mendorong mereka ke sungai.

Film ini juga menceritakan kesaksian Bibit, seorang anggota Pemuda Rakyat yang tinggal tak jauh dari jembatan dan kerap mendengar suara tembakan yang memecah kesunyian setiap tengah malam. Keesokan harinya, saat sedang mencari rumput untuk pakan kuda, ia diarahkan oleh seseorang yang bersenjatakan pistol untuk bersiap membasuh mayat-mayat yang tersangkut di tepian sungai. Dia harus mematuhi perintahnya daripada mati.

Saksi lain menceritakan narapidana dibawa keluar dari Rutan Sasono Mulyo di Keraton Surakarta setiap malam. Dari lokasi tersebut, tercatat 71 orang hilang setelah dibawa tentara pada malam hari.

Film dokumenter ini juga merekam pawai tersebut tidur atau ziarah tahun 2005 yang dilakukan keluarga korban peristiwa Jembatan Bacem. Prosesi tabur bunga dilakukan di sungai tersebut untuk menggantikan makam para korban yang hilang, dilanjutkan dengan pelepasan puluhan ekor burung dan ikan lele sebagai simbol bahwa arwah para korban akan mendapat keadilan.

Fobia komunisme

Sama seperti film-film Joshua Oppenheimer, Jembatan Bacem juga tidak mudah untuk dimainkan dan diapresiasi di ruang publik. Beberapa kelompok dan organisasi masyarakat sangat tidak ramah terhadap hal-hal yang berkaitan dengan komunisme dan berusaha mencegah penayangan film dan diskusi mengenai topik tersebut.

“Film ini seharusnya ditayangkan dan didiskusikan di sini, namun pada akhirnya pihak produser membatalkannya karena khawatir akan ada ancaman pembubaran oleh kelompok tertentu berdasarkan kejadian sebelumnya di Yogyakarta,” ujar Yunanto Sutyastomo, kurator dan penyelenggara program. . di Balai Soedjatmoko Solo.

Namun film ini sebelumnya pernah diputar dan diedarkan di kampus Universitas Sebelas Maret menyapu kelompok fobia komunis, yang menganggap menonton film dan mengingat sejarah kelam bangsa otomatis membuat orang menjadi komunis.

Secara umum, Jembatan Bacem berhasil menggambarkan suasana Solo dan sekitarnya pada tahun 1965 yang merupakan zona merah atau basis dukungan terhadap PKI, partai peraih suara terbanyak ketiga sepanjang sejarah Indonesia. Walikota Solo tahun 1965, Oetomo Ramelan, dikenal sebagai pendukung partai ini. Ia diduga berperan dalam kaburnya Ketua Komite Sentral PKI DN Aidit yang kemudian ditangkap di Solo.

Pasca peristiwa 30 September, RPKAD menduduki Solo dan mendirikan banyak kamp penahanan yang tersebar di berbagai lokasi di kota. Setiap malam para tahanan menunggu giliran untuk “ditulang”, istilah militer yang berarti membawa tahanan keluar kamp untuk diinterogasi di balai kota, dipindahkan ke Pulau Buru, Plantungan, Nusakambangan atau dihilangkan secara paksa.

Film ini mendukung cerita yang berkembang selama ini di masyarakat bahwa Sungai Bengawan Solo pernah berubah menjadi “merah” karena banyaknya jenazah orang yang hilang nyawa karena dituduh PKI tanpa proses pengadilan. Kedung Kopi di seberang Bengawan Solo juga pernah menjadi tempat eksekusi, namun tidak sebanyak Jembatan Bacem.

“Dulu, kalau pagi-pagi ke sungai, saya sering menemukan mayat terapung di tepian sungai,” kata Joyo, seorang petani tua yang tinggal di Desa Pilang, Sragen, yang melewati Bengawan Solo.

Hingga saat ini belum diketahui berapa jumlah orang yang dihilangkan secara paksa di Bengawan Solo selama dua tahun tersebut. Namun diperkirakan jumlahnya mencapai ribuan hingga jutaan orang. Menurut data Komnas HAM, sekitar 500.000 hingga tiga juta orang di Indonesia menjadi korban penghilangan paksa akibat operasi militer yang dibantu oleh Pertahanan Rakyat (Hanra).

Terpisah, Pendiri Sekretariat Bersama ’65, Jasmono beberapa waktu lalu mengatakan, dirinya dan sebagian besar keluarga korban tidak menaruh dendam terhadap peristiwa berdarah tersebut. Mereka hanya menuntut pengakuan negara atas tragedi pelanggaran HAM dan pemulihan (rehabilitasi) nama-nama stigmatisasi.

“Kami hanya ingin memperjuangkan rekonsiliasi, itu saja,” kata Jasmono sebelum meninggal dunia pada 31 Agustus di Solo.

Jasmono menjadi korban fitnah aparat desa. Akibatnya, ia mengalami penyiksaan fisik dan mendekam di penjara Nusakambangan dan Pulau Buru selama 14 tahun. —Rappler.com

BACA JUGA: