• October 6, 2024

Jokowi bukanlah pahlawan super

Jokowi tidak bisa berkomitmen penuh untuk memenuhi janji kampanyenya karena pada akhirnya dia hanyalah seorang politikus

Terkejut dan kecewa. Mungkin dua kata ini paling tepat menggambarkan perasaan banyak orang saat Presiden terpilih Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan susunan kabinet di pemerintahannya ke depan. Jokowi menjelaskan di hadapan wartawan, Senin (15/9) lalu, akan mempertahankan komposisi 34 kementerian yang saat ini dimiliki Kabinet Indonesia Bersatu jilid II pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jabatan wakil menteri akan dihapuskan, kecuali Kementerian Luar Negeri.

Yang paling mengejutkan, Jokowi mengatakan kabinetnya akan terdiri dari 18 orang profesional non-partai dan 16 orang “profesional” partai.

Pengumuman ini langsung mendapat respon keras dari banyak pihak. Harapan agar kabinet di bawah Jokowi hanya diisi orang-orang yang benar-benar ahli, tanpa ada kesepakatan politik, tiba-tiba pupus. Tentu saja masyarakat tidak bisa menerima begitu saja alasan seorang profesional bisa berasal dari partai politik.

Jokowi dianggap pembohong, tidak sesuai dengan janjinya saat kampanye Pilpres lalu. Reformasi birokrasi merupakan salah satu program andalan Jokowi saat itu.

Ketika Jokowi muncul ke permukaan politik nasional, ia dipuji sebagai pahlawan. Sosoknya yang sederhana dan kedekatannya dengan masyarakat, melalui cara blusukan yang akhirnya menjadi tren di kalangan pemimpin daerah, merupakan kebalikan dari model kepemimpinan yang biasa kita temukan selama ini.

Ketika begitu banyak pegawai negeri dan politisi yang tersangkut kasus korupsi, dan ketika masyarakat mulai bosan berharap, kemunculan Jokowi ibarat oase di gurun pasir yang begitu panas dan kering. Dukungan akhirnya mengalir tanpa henti. Hanya dalam waktu kurang dari tiga tahun, seorang Wali Kota Solo bisa menjadi presiden negeri ini.

Namun sayangnya dukungan ini kebanyakan bersifat buta. Kebanyakan orang, terutama yang awam dengan politik, lupa bahwa Jokowi bukanlah superhero, apalagi bidadari. Pada akhirnya, Jokowi adalah seorang politisi.

Sebagai seorang politikus, Jokowi tidak akan pernah bisa lepas dari segala macam kesepakatan dan tekanan politik. Hal ini tidak dapat dihindari apapun yang terjadi. Apalagi di Indonesia yang sistem demokrasinya masih jauh dari kata matang.

Buku berjudul “The Prince” yang ditulis oleh Niccolo Machiavelli pada abad ke-15 menjelaskan hal ini dengan gamblang. Dalam buku kontroversial yang menjadi rujukan para pemimpin dan politisi besar dunia ini, Machiavelli mengatakan bahwa untuk menjadi politisi yang andal dan sukses, seseorang tidak bisa berkomitmen penuh terhadap semua janji yang pernah dibuatnya.

Jadi ketika Jokowi dan Jusuf Kalla berjanji di masa kampanye bahwa kabinetnya akan benar-benar bebas dari kesepakatan politik, tentu kita tidak bisa percaya begitu saja. Kita harus sadar bahwa hal ini tidak boleh terjadi.

Namun bukan berarti Jokowi salah. Hanya saja itu politik.

Jokowi dan timnya jelas mempertimbangkan banyak hal saat merumuskan bentuk kabinet apa yang cocok di masa depan. Pengalaman Presiden SBY tentu menjadi salah satu referensi yang digunakan.

Era SBY memberikan indikasi jelas bahwa meskipun Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, namun kekuasaan anggota legislatif yang begitu kuat sejak era reformasi tidak bisa diabaikan.

Sebagaimana kita ketahui, salah satu kendala besar yang dihadapi pemerintahan SBY selama sepuluh tahun adalah banyaknya serangan yang dilancarkan oleh wakil rakyat. Meski SBY mengakomodir kepentingan partai pengusung melalui beberapa kursi di kabinet pemerintahannya, namun SBY tidak bisa menjamin dukungan penuh di DPR. Akibatnya, banyak peraturan dan kebijakan pemerintah yang terhambat.

Jelas, Jokowi tak ingin mengulangi hal serupa. Koalisi Merah Putih pimpinan Partai Gerindra menguasai 63 persen kursi DPR periode 2014-2019, unggul jauh atas PDI Perjuangan dan partai pengusungnya. Masih terlalu dini untuk mengatakan koalisi Merah Putih bisa menjadi ancaman jangka panjang, namun jelas tidak bisa dianggap remeh.

Munculnya wacana penghapusan pilkada langsung melalui RUU Pilkada menjadi salah satu bukti nyata ancaman tersebut, meski kecil kemungkinannya akan terjadi setelah Partai Demokrat menyatakan dukungannya terhadap pilkada langsung.

Jokowi harus mencari cara agar pemerintahannya tetap stabil, tanpa tekanan politik yang tidak perlu. Mau tidak mau, ia harus merebut hati berbagai pihak di Koalisi Merah Putih agar berbagai kebijakan pemerintahannya mendapat dukungan di DPR. Logika sederhananya, SBY yang Partai Demokratnya menguasai koalisi DPR kerap mendapat serangan, apalagi koalisi PDI Perjuangan yang masih menjadi kekuatan politik minoritas.

Yang perlu dilakukan Jokowi saat ini adalah memastikan meski ada berbagai jabatan menteri yang diisi oleh orang-orang partai, namun harus benar-benar diawasi dengan ketat agar kepentingan partai tidak didahulukan. Sementara itu, Jokowi harus bisa menempatkan orang-orang yang benar-benar ahli di berbagai posisi menteri yang sangat strategis, misalnya menteri di bidang perekonomian.

Kinerja kabinet sangat penting bagi Jokowi ke depan. Dari situ kita bisa menilai kinerjanya sebagai pemimpin negeri ini. Sehingga dia tidak bisa main-main memilih siapa yang akan membantu kinerja pemerintahannya. Karena tentunya ia ingin dikenang bukan hanya sebagai presiden “negara”, tapi juga presiden yang berhasil memajukan bangsa ini. —Rappler.com

Tasa Nugraza Barley adalah konsultan komunikasi yang pernah menjadi jurnalis di sebuah surat kabar berbahasa Inggris di Jakarta selama dua tahun. Dia suka membaca buku dan bertualang, dan dia sangat menikmati rasa kopi yang diseduh. Ikuti Twitter-nya @garsbanget


uni togel