• September 8, 2024

Jokowi, siapa presidenmu, bukan orang lain

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa kali mengatakan bahwa dirinya selalu memiliki “konstitusi” di sakunya. Ini bukan kiasan, tapi faktual. SBY mengaku selalu membawa buku konstitusi di saku bajunya, UUD 1945. “Saya selalu membawanya, dan bisa saya baca kapan saja,” kata SBY dalam bukunya. Selalu ada pilihan: bagi pecinta demokrasi dan pemimpin masa depan Indonesia.

SBY membekali dirinya dengan buku konstitusi sehingga setiap kali mengambil keputusan, ia dapat mengacu pada acuan utama penugasannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dimana saja, kapan saja. SBY paham, salah satu hal yang bisa membuatnya mental keluar dari kursi presiden adalah jika ia melanggar konstitusi.

SBY memberi gambaran. Ketika ia hanya mencalonkan satu calon Panglima TNI atau Kapolri, selalu ada suara di DPR dan masyarakat bagi presiden untuk mengajukan minimal dua calon. Malah saya diancam kalau nama itu tidak ditambahkan, DPR tidak akan menyetujuinya, kata SBY. DPR juga mengancam tidak akan membahas usulan Presiden tersebut.

SBY tidak terpengaruh. Dia hanya mengajukan satu kandidat. Mengapa? Pasalnya, UU TNI dan UU Polri secara tegas mengatur bahwa Presiden mengajukan satu calon Panglima TNI atau satu calon Kapolri. Kalau Panglima TNI, sebelumnya pasti pernah menjabat sebagai Kepala Staf. Pada era Presiden Soeharto, dipilih dan diangkat Jenderal LB Moerdani yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Strategis ABRI dengan bintang tiga. Saat Feisal Tanjung diangkat menjadi Panglima, ia juga menjabat sebagai Kepala Staf Umum ABRI dan juga memiliki bintang tiga. Bukan Kepala Staf (KSAD, KSAU atau KSAL).

Secara hukum, presidenlah yang memilih calon Panglima TNI dan Kapolri, dengan menggunakan mekanisme yang ada. DPR tidak memilih, melainkan setuju atau tidak setuju. DPR menyatakan sikapnya usai uji coba tersebut dilakukan cocok dan cocok kepada kandidat. Jika tidak setuju, DPR wajib memberikan alasannya. Seperti yang saya tulis sebelumnya, tidak ada preseden DPR menolak calon Kapolri dan Panglima TNI yang diajukan presiden di era SBY.

Jadi, apa yang dilakukan DPR hari ini dengan menyetujui pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kapolri sebenarnya tidak berbeda dengan sikap DPR sebelumnya. Keputusan Jokowi yang hanya mengusung satu calon saja dari nama-nama yang diajukan Komisi Kepolisian Nasional juga sudah sesuai undang-undang, persis seperti yang dilakukan Presiden SBY.

Bedanya, SBY tidak pernah mengajukan calon yang dianggap oleh sebagian media dan publik sebagai masalah serius: ia diduga memiliki tabungan di rekening bank dalam jumlah yang dianggap tidak masuk akal jika kita hanya mengacu pada gaji yang bintang tiga. jenderal polisi.

Selain itu, keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkan Komjen Budi Gunawan status tersangka kasus dugaan korupsi dan gratifikasi juga dilakukan setelah Jokowi mengajukan namanya ke DPR. Dan ia membiarkannya hingga rapat paripurna DPR hari ini memutuskan Budi Gunawan layak dilantik menjadi Kapolri. Bola panas kembali ke tangan Jokowi.

Sebaliknya, pejabat publik yang ditetapkan tersangka oleh KPK langsung mengundurkan diri di era SBY. Di depan umum, hal itu tampak sukarela. Namun biasanya keputusan tersebut diumumkan setelah yang bersangkutan berkomunikasi dengan Presiden.

Ada Menteri ESDM, Menteri ESDM Jero Wacik, Menteri Olahraga Andi Mallarangeng, dan Menteri Agama Suryadharma Ali. Pasalnya, belum ada preseden status tersangka KPK tidak meluas kepada terdakwa. Semua berakhir dengan status terkutuk. Berapa lama prosesnya bisa berbeda-beda. Untuk kasus yang melibatkan nama Budi Gunawan, Ketua KPK Abraham Samad mengatakan kasusnya sederhana sehingga bisa cepat selesai.

Politisi selalu bersedia mengambil keputusan yang tidak populer, selama keputusan tersebut tidak menjadikannya tidak populer. Nuansa ini pula yang terlihat sejak Jokowi mengusulkan nama Budi Gunawan. Ada upaya untuk memberikan kesan bahwa keputusan Jokowi merupakan hasil tekanan pihak lain.

Media menyebut peran Ketua Umum PDI-P Megawati Sukarnoputri dan kemudian pendiri Partai Nasional Demokrat Surya Paloh. Dua tokoh yang dianggap berpengaruh dalam beberapa pengambilan keputusan Jokowi. Sesaat sebelum pengumuman Jaksa Agung, Surya Paloh sempat menemui Jokowi. Dari kemarin hingga hari ini hal serupa terjadi. Jokowi memberi kesan bahwa dirinya “tertekan”. Kesan ini untuk mempertahankan popularitasnya.

Seperti yang saya katakan, saya yakin Budi Gunawan adalah pilihan pribadi Jokowi. Dukungan Mega (dan Surya Paloh) adalah sebuah bonus. Berkah bagi Jokowi karena kedua partai menjadi pemain lapangan di DPR untuk memuluskan jalan Budi Gunawan dalam proses persidangan di parlemen. Lebih lanjut, sebagaimana diingatkan SBY dalam bukunya, Jadilah presiden Anda sendiri, bukan presiden orang lain.

Jadi, saya yakin Jokowi menganggap Budi Gunawan sebagai kandidat terbaik untuk pemerintahannya. Jokowi memutuskan untuk menggunakan hak prerogratifnya secara mandiri. Masukan bisa datang dari berbagai departemen, termasuk Kompolnas yang notabene (ex officio) diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Laksamana (Purn) Tedjo Edhi Purdijanto. Akankah Jokowi kini menggunakan hak prerogratif dan prinsipnya: “Saya bukan orang lain yang akan menjadi presiden saya”?

Jokowi dalam posisi maju lalu mundur, mirip dengan judul filmnya Kedai kopi diperankan oleh trio komedian Dono, Kasino, Indro. Mendorong penunjukan Budi Gunawan yang disetujui DPR justru membuat dirinya berselisih dengan keputusan KPK dan sebagian masyarakat, termasuk relawan Jokowi yang hari ini (15/1) menyatakan dukungannya terhadap demonstrasi KPK. , dan mencoba menemui Jokowi di Istana Kepresidenan, namun gagal. Budi tidak dilantik melawan Megawati dan PDI-P, Surya Paloh dan Nasdem, serta parpol lain kecuali Partai Demokrat yang mendukung pencalonan Budi.

Jika mengikuti logika akal sehat masyarakat dan vetsun konstitusi bahwa yang terbaik adalah tidak menunjuk pejabat publik di bidang penegakan hukum (dan bidang apa pun) yang memiliki masalah hukum, maka sebaiknya Jokowi segera mencalonkan calon penggantinya. Budi. atau melanjutkan kepemimpinan Kapolri Jenderal Sutarman yang akan berakhir pada Oktober 2015.

Sedikit terlambat? Ya karena jika pilihan itu diambil, maka Jokowi harus mengajukan nama baru sebelum Komisi III DPR RI melanjutkan prosesnya uji kelayakan dan kepatutan kepada Budi Gunawan. Nasinya menjadi lembek. Makannya juga tidak enak. Pahit.

Jangankan masyarakat, khususnya pemilih. Jokowi mungkin tidak menyangka bahwa dirinya tidak akan menghadapi situasi rumit seperti itu bahkan setelah 100 hari masa pemerintahannya. Sekali lagi saya merujuk pada pengalaman Presiden SBY yang dimuat dalam bukunya. Kali ini dari bab berjudul, Siap-siap mengalami apa yang saya sampaikan, asal tahu, beginilah jadi presiden. SBY membuat daftar 33 hal yang harus diwaspadai oleh siapa pun yang mencalonkan diri sebagai presiden.

Saya sertakan beberapa hal yang agak sesuai dengan situasi yang dialami Jokowi saat ini dan ke depan, yaitu terkait isu:

  • kehormatan Presiden
  • Kehidupan baru yang sangat berbeda dan bulan madu yang berakhir dengan cepat
  • Kehidupan sehari-hari seorang presiden dan ketika waktu sangat berharga
  • Tiada hari tanpa kritik dan kritik
  • Hujan fitnah terus menerus
  • Musuh menjadi semakin banyak
  • Kemarahan para kandidat yang tidak lolos
  • Tidak selalu mudah untuk bersyukur
  • Kecurigaan yang tak ada habisnya
  • Pengunduran diri, diturunkan jabatan atau “digulingkan” oleh rakyat?
  • Jika semuanya dianggap buruk atau gagal
  • Seharusnya presiden bisa melakukan itu, kenapa dia “tidak tegas”?
  • Harga yang harus dibayar oleh pemenang pemilu presiden
  • Kalau semuanya dianggap janji kampanye
  • Pembentukan kabinet: media bermasalah, presiden bermasalah
  • Presiden Dipilih Rakyat Lebih dari 60 Persen, Kenapa ‘Takut’ ke DPR dan Koalisi? — Ini kasus SBY, Jokowi menang dengan selisih 8 persen melawan Prabowo Subianto
  • Keputusan dan pilihan kebijakan tidak selalu mudah
  • Kata-kata bisa sangat kasar dan kejam
  • Pers bisa jadi sangat kritis dan picik, tapi itu bagus juga
  • Apa yang dikatakan presiden sering kali dikritik dan disalahartikan
  • Keluarga dan teman pun menjadi korban
  • Yang lain di luar negeri, yang lain di dalam negeri
  • Seorang presiden seringkali merasa sendirian
  • Memimpin di era demokrasi sangat berbeda dengan di era otoriter
  • Resep untuk bertahan hidup haruslah ketenangan dan kesabaran

Ini perasaan Pak SBY. Kita mungkin setuju, mungkin juga tidak. Namun, ia berhasil bertahan 10 tahun menjabat presiden, dengan segala prestasi dan kelemahannya. Saya kira ada baiknya Pak SBY banyak menulis tentang pengalamannya selama menjadi presiden. Semacam memori kantor. Hal itu tidak ia dapatkan saat pertama kali menjabat, karena hubungan dengan presiden sebelumnya, Megawati Soekarnoputri, memburuk. Hubungan tersebut belum terselesaikan hingga saat ini.

Dari buku seperti ini kita bisa belajar tentang perjuangan pengambilan keputusan yang harus dilakukan seorang presiden.

Saya termasuk orang yang tidak menyangka Jokowi akan menghadapi situasi ini secepat itu, yang akan melemahkan popularitasnya jika ia mengambil keputusan yang salah. Jokowi mengaku tidak memperdulikan popularitas saat mengambil keputusan. Hal itu ia sampaikan saat menaikkan harga BBM. Bisa saja, apalagi ia masih punya waktu lebih dari empat tahun untuk meningkatkan performa dan citranya. Harga BBM juga disesuaikan dengan harga pasar ekonomi dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ini tidak aktif untuk saat ini.

Meski demikian, keputusan terkait Kapolri tidak bisa dianggap enteng. Hal ini menjadi barometer keseriusan Jokowi dalam komitmennya dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Dunia juga menyaksikan hal ini, dan hal ini bisa menjadi sebuah skandal. Bintik hitam.

KPK bukanlah malaikat. Salah satu pemimpinnya, Antasari Azhar, kini dipenjara. Ketua saat ini, Samad, pernah “diadili” karena pelanggaran etika di depan umum, yang disiarkan di dua stasiun berita televisi. Hidup. Namun persepsi masyarakat lebih percaya pada KPK dibandingkan DPR yang mendukung Budi Gunawan. KPK juga lebih dipercaya dibandingkan kepolisian. Jika Jokowi menempatkan dirinya di DPR dan polisi, ia berisiko berhadapan dengan masyarakat pemilih.

Jokowi pun tidak peduli dan memilih untuk membangun reputasinya melalui kinerja pembangunan ekonomi. Dengan konsep visi maritim dan lain sebagainya. Dimulainya sejumlah proyek infrastruktur. Proyek besar. Selain berguna, ada juga banyak kendala dalam ratusan triliun pekerjaan. KPK yang kali ini diabaikan tentu tidak akan tinggal diam. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan Pemimpin Redaksi ANTV, menulis blog tentang 100 hari pemerintahan Jokowi. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com

Pengeluaran SDY