Jonan dan pertaruhan keselamatan penerbangan
- keren989
- 0
Hari ini, Minggu (4/1), ramai diperbincangkan soal pemberitaan “Menteri Perhubungan Ignasius Jonan Marah” saat sidak di kantor AirAsia di Bandara Sukarno-Hatta, Jumat (2/1), semoga bisa menenangkan. . Surat terbuka sang pilot dijawab Jonan melalui humasnya. Saya mengutip tanggapan Jonan, “Tidak benar Menteri Perhubungan Ignasius Jonan marah karena laporan cuaca tidak diambil kantor Informasi tapi malah mengambilnya dari internet. Yang ditanyakan Menhub apakah ada sesi informasi langsung dari petugas operasi penerbangan (FOO) atau operator penerbangan kepada pilot mengenai informasi cuaca.” Detail selengkapnya dilaporkan di halaman Kompas selanjutnya.
Kini kita tinggal menunggu reaksi Kementerian Perhubungan, lembaga yang diketuai Jonan, terhadap siaran pers Otoritas Penerbangan Sipil Singapura yang menyebutkan, dari pihak Singapura, penerbangan AirAsia QZ8501 yang terbang pada Minggu pagi (28/12). ) sudah ) dari Surabaya ke Singapura, mendapat izin mendarat di Bandara Changi. Sayangnya, pesawat tersebut jatuh di Selat Karimata bersama 162 penumpang dan awak. Sekarang kami sedang menyaksikan proses evakuasi penumpang dan lambung kapal. Tautan ke informasi dari Otoritas Penerbangan Sipil Singapura ada disini.
Di media dan media sosial sejak kemarin, banyak kritik (dan tentunya dukungan) terhadap keputusan Menteri Perhubungan Jonan yang membekukan sementara penerbangan AirAsia QZ8501 rute Surabaya-Singapura dengan alasan pelanggaran jadwal rute. Sesuai surat edaran Kementerian Perhubungan, mereka tidak memiliki pesawat itu persetujuan penerbangan untuk terbang pada jam yang dilayani oleh pesawat yang kemudian mengalami tragedi. Apakah keputusan itu perlu? Apakah dasar atau alasan penangguhan itu benar? Bukankah Jonan harus membidik jajaran birokrasi Kemenhub, khususnya Ditjen Perhubungan Udara yang hingga saat ini vakum tanpa adanya pejabat tetap, ketimbang pihak lain, apalagi pilot, yang tidak bisa disalahkan? Ini adalah salah satu topik diskusi lainnya.
Di grup WhatsApp Editorial Editors Forum, kami berdiskusi panjang lebar sepanjang hari. Seorang teman menyarankan agar saya menulis dan mendorong Menteri Perhubungan Jonan untuk memanfaatkan momentum jatuhnya AirAsia QZ8501 untuk memperbaiki regulator, yaitu rumah Jonan sendiri: Kementerian Perhubungan.
Tepat saat saya sedang menonton siaran Metro TV yang menghadirkan pembicara Budhi Mulyawan Suyitno, mantan Dirjen Perhubungan Udara era Menteri Hatta Rajasa dan Jusman Syafii Djamal. Budhi Mulyawan juga pernah menjabat Menteri Perhubungan di era Presiden Abdurachman Wahid, meski hanya tiga bulan.
Wawancaranya menarik, Budhi Mulyawan mengatakan: “Setiap kecelakaan transportasi, termasuk kecelakaan pesawat, regulator, Kementerian Perhubungan, Dirjen Perhubungan Udara atas jurang tersebut harus diaudit terlebih dahulu. pengawasan, lalai dalam pengawasan? Karena ada jeda? Apakah tenaga kerja inspektur lapangan memenuhi kebutuhan industri penerbangan yang berkembang pesat?” kata Budhi.
Usulan Budhi sejalan dengan komentar mantan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal. Pada era Menteri Perhubungan Jusman, didirikan laboratorium untuk menyelidiki kotak hitam (kotak hitam), jadi tidak perlu membawanya ke negara lain.
Budhi yang menyandang gelar doktor di bidang teknik mesin ini juga menyoroti kapasitas dan integritas regulator. Ada dua hal penting dalam memantau keselamatan penerbangan. Mengutip angka pengawasan keselamatan ICAO, ia mengatakan data tahun 2014 adalah angka keamanan kepatuhan Penerbangan di Indonesia berada pada angka 61 persen, di bawah rata-rata global sebesar 73 persen.
ICAO, atau Organisasi Penerbangan Sipil Internasional yang berpusat di Montreal, Kanada, setiap tahunnya merilis survei mengenai perkembangan industri penerbangan, khususnya terkait keselamatan. Bila membaca hasil survei tahun 2014, rata-rata jumlah kecelakaan pesawat pada tahun 2013 (laporan yang dirilis tahun 2014) justru mengalami penurunan. Angka kecelakaan pesawat komersial pada tahun 2013 mengalami penurunan sebesar 13 persen dibandingkan tahun 2012. Karena ini data tahun 2013, tentu tidak termasuk tragedi MH370 dan MH17, serta QZ8501. Laporan selengkapnya ada di sini. Melihat laporan peta keselamatan penerbangan, Indonesia tergolong di atas rata-rata dunia sebesar 61 persen. Nah, mungkin Budhi Mulyawan punya data terbarunya.
Apapun data yang ingin digunakan, sulit dipungkiri bahwa industri penerbangan Indonesia sudah terpuruk ke titik terendah akibat tragedi jatuhnya QZ8501. Selain itu, kontroversi izin penerbangan juga terjadi, hal yang belum pernah terjadi pada kecelakaan pesawat sebelumnya di Tanah Air. Sambil menunggu proses investigasi dan evaluasi menyeluruh atas penyebab kecelakaan QZ8501, saya mendorong Menteri Perhubungan Jonan untuk mengambil tindakan tegas.
Rekomendasi untuk Jonan
Pertama, evaluasi seluruh jajaran di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, hingga staf. Jika ada personel yang bertanggung jawab memberikan izin terbang ke QZ8501, padahal pesawat tersebut tidak memiliki izin sesuai siaran pers resmi Kementerian Perhubungan, maka mereka layak dipecat. Transfer tidak cukup termasuk demo. Keselamatan nyawa manusia tidak boleh dibahayakan oleh regulator.
Memindahkan orang yang tidak kompeten sama saja dengan memindahkan masalah ke lokasi lain. Bila perlu libatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pejabat yang bersalah dan dikenakan sanksi harus diungkapkan kepada publik, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap keselamatan penerbangan dapat dipulihkan, kepada Kementerian Perhubungan. Termasuk petugas di Bandara Juanda.
Jika pernyataan Singapura itu benar, maka tak ada salahnya Menteri Perhubungan Jonan meminta maaf atas nama lembaga tersebut. Mungkin Jonan mendapat masukan yang tidak pantas dari bawahannya.
Lantaran Jonan belum genap 100 hari menjabat Menteri Perhubungan, persoalan lemahnya pengawasan di jajaran Ditjen Perhubungan Udara seperti yang dikecam banyak pihak, jelas belum menjadi tanggung jawabnya sepenuhnya. Ia tidak harus mundur seperti langkah yang dilakukan Perdana Menteri Korea Selatan Chung Hong-won.
Perdana Menteri Korea Selatan mengundurkan diri dari jabatannya pada Minggu (27/4) menyusul tragedi tenggelamnya kapal feri Sewol yang mengakibatkan ratusan penumpang meninggal dunia. “Saya minta maaf karena tidak dapat menghentikan terjadinya kecelakaan ini dan tidak dapat mengambil tanggung jawab yang semestinya setelah tragedi ini terjadi,” kata Hong-won. Saya yakin sebagai Perdana Menteri saya harus memikul tanggung jawab ini dan mengundurkan diri, tambahnya, seperti dikutip dari laman Kompas.
Kedua, Menteri Jonan segera melengkapi struktur organisasi di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, khususnya untuk menentukan pejabat mana yang bertanggung jawab tetap di sana. Terus terang, saya agak khawatir dengan maraknya kecelakaan transportasi lainnya mengingat cuaca yang semakin tidak menentu.
Tragedi Adam Air hilang 1 Januari 2007, berdekatan dengan hilangnya kapal penyeberangan Nusantara Senopati di perairan Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah, 30 Desember 2006. Sebanyak 128 korban selamat dan tiga orang meninggal dunia dari total 628 orang. penumpang. Sisanya tidak dapat ditemukan. Bulan yang sama seperti sekarang. Sebulan cuaca buruk dan rawan bencana. Semoga itu tidak terjadi. Amin.
Ketiga, bersama pejabat terkait segera meningkatkan pengendalian lalu lintas udara, memperbaharui peralatan, termasuk kapasitas dan ketersediaan personel. ATC pernah menjadi isu nasional di negara besar seperti Amerika. Beberapa disebabkan oleh masalah peralatan teknis, seperti dimuat di sini. Ini juga tentang ketersediaan orang untuk dikejar memuat tingkat pekerjaan yang semakin tinggi, termasuk mempersiapkan pengganti mereka yang berusia dua tahun menjelang usia pensiun. Sebab, seseorang yang pensiun tidak bisa digantikan oleh orang baru. Ini membutuhkan waktu. Ini adalah hasil survei di Amerika. Pada tahun 2011, terjadi diskusi tentang perlunya petugas ATC mendapatkan istirahat yang cukup di sela-sela penugasan. Sehingga ketika sedang bertugas, waspadalah menjaga ratusan penerbangan. Inilah pembahasannya.
Kalau ATC saya garis bawahi saja serinya menciak dan komentar mantan Kepala Staf TNI AU Chappy Hakim yang berkali-kali mengingatkan perlunya peningkatan ATC di setiap kecelakaan. Ini akan menjadi ide yang bagus untuk Tuan. Chappy Hakim untuk dilibatkan dalam tim perbaikan, bila perlu minimal Dirjen. Soalnya, dari tulisan dan komentarnya, dia menguasai sektor ini. Mantan pilot juga. Dari sumber di media massa pekan ini kami juga melihat banyak pihak yang bisa diajak untuk memajukan industri penerbangan.
Soal perlunya tambahan petugas operasi penerbangan (FOO) untuk memberikan penjelasan kepada pilot sebelum terbang terkait data BKMG, saya berbeda pendapat dengan Jonan. Setuju dengan prinsip “Lebih baik tidak terbang daripada tidak sampai di tujuan”, tapi menurut saya pilot saat ini mengikuti standar internasional. Mereka melacak perkembangan cuaca dari berbagai sumber. Mengikuti standar Indonesia dengan harus mendapatkan penjelasan FOO juga tidak salah. Jonan bertanggung jawab. Siapkan FOO secukupnya saja. Dengan cepat. Jam terus berdetak.
Keempat, dan ini yang terakhir, biar tidak terlalu panjang. Karena muncul fenomena “Pesawat Hantu” yakni pesawat tanpa izin rute pada kasus QZ8501 yang disebabkan oleh surat edaran pers Kementerian Perhubungan, Jonan mungkin harus meminta Kementerian Perhubungan melalui pejabatnya. website, untuk mengumumkan izin rute pesawat masing-masing maskapai. Sehingga masyarakat bisa mendapatkan akses dan mengecek apakah pesawat yang ditumpanginya memiliki izin dan rute laik terbang. Izin jalur juga tidak memperhitungkan “kepadatan” jalur pada waktu tertentu, dan hal ini berdampak besar pada aspek keselamatan.
Kenapa saya ceritakan ini, juga karena adanya pembatalan penerbangan Air Asia rute Melbourne-Denpasar, pada 26 Desember lalu. Rute ini dipromosikan secara gencar oleh maskapai yang induk perusahaannya berada di Malaysia dan dipimpin oleh Tony Fernandes. Sehari sebelum jadwal penerbangan, pihak maskapai mengirimkan pesan singkat kepada penumpang yang telah membeli tiket bahwa penerbangan dibatalkan karena dua otoritas penerbangan, di Australia dan Indonesia, tidak memberikan izin terbang. Kompensasi disediakan. Sekalipun itu membutuhkan waktu dan usaha. Yang tidak bisa tergantikan adalah momentum yang hilang. Ada acara pernikahan yang terganggu. Seseorang melewatkan koneksi penerbangannya. Beberapa kehilangan reservasi hotel dan sebagainya. Mengganggu.
Jadi, jangan tanggung-tanggung kalau mau transparan Pak Jonan. Mengumumkan seluruh proses perizinan dan di mana tahap perizinan telah dicapai. Jadikan seperti proses memindahkan pesawat terbang www.flightradar24.com. Hal ini merupakan bagian dari perlindungan konsumen.
Sebagai penutup, demi kepentingan sesama penumpang maskapai yang terpaksa memilih maskapai penerbangan yang tersedia sesuai kemampuan ekonomi, saya sertakan link hak konsumen penerbangan. Itu dari regulator di Filipina. Namun menurut saya berlaku di seluruh dunia, termasuk menjadi panduan bagi konsumen di Indonesia. Ini tautannya:http://www.gov.ph/summary-of-the-rights-of-air-passengers/ Di sana diatur soal kompensasi, kewajiban maskapai memberikan informasi kepada penumpang, serta pembatalan mendadak.
Selamat membaca, dan mendapatkan penerbangan yang aman. Semoga. —Rappler.com
Uni Lubis, mantan Pemimpin Redaksi ANTV, menulis blog tentang 100 hari pemerintahan Jokowi. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.