Joshua Oppenheimer mempertanyakan sikap Jokowi terhadap para korban tragedi 1965
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Harapan Joshua kepada Jokowi terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM 1965 pupus
JAKARTA, Indonesia—Joshua Oppenheimer, sutradara film Tukang daging Dan Kesunyian yang bertemakan pembantaian tahun 1965 ini mempertanyakan sikap Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang tidak segera meminta maaf kepada para korban pembantaian tersebut.
Ratusan ribu orang hilang dan dieksekusi dalam operasi pemusnahan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu.
Joshua melihat indikasi kurang seriusnya Jokowi dari dua ajudannya di kabinet. Pernyataan ajudan presiden itu dinilainya merupakan pengkhianatan terhadap janji kampanye Jokowi.
Siapa mereka?
Jaksa Agung HM Prasetyo: Pengadilan HAM itu sulit
“Mengapa Anda harus memaksakan pengadilan hak asasi manusia jika itu sulit? “Nanti hasilnya tidak maksimal, protes lagi,” kata Prasetyo.
Menurut Joshua, pernyataan tersebut menunjukkan kekurangseriusan dan erat kaitannya dengan jabatannya sebagai Jaksa Agung. Justru sebagai Jaksa Agung Prasetyo bisa memastikan upaya maksimalnya menghasilkan proses hukum yang optimal.
“Ini adalah masalah benar dan salah. “Apakah kekejaman seperti yang terjadi pada tahun 1965 merupakan tindakan heroik atau kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujarnya.
Peristiwa ini juga menjadi bukti apakah negara berniat melindungi pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan atau menghilangkan segala bentuk impunitas.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu: Mengapa meminta maaf?
Pernyataan kedua yang meresahkan Joshua datang dari Ryamizard.
“Pakai logika saja, siapa yang memberontak? Siapa yang membunuh lebih dulu? Siapa yang membunuh tentara kita? Ketika orang memberontak dan membunuh, kami malah meminta maaf. Itu sama dengan saya memukul atau memukul Saya minta maaf,” kata Ryamizard.
Menurut Joshua, pernyataan tersebut menggambarkan pemahaman yang simpang siur dan tidak berdasarkan fakta.
“Ini adalah perpindahan yang mengalihkan perhatian dari persoalan pokok dan mengaitkan seluruh korban kekerasan massal tahun 1965 dengan pelaku Gerakan 30 September,” ujarnya.
Joshua mengatakan, hal itu merupakan kelanjutan dari propaganda hitam Orde Baru yang membenarkan pembantaian massal sebagai upaya meredam pemberontakan atau pembalasan yang sah atas terbunuhnya seorang perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia dalam operasi G30S.
Padahal ratusan ribu korban lainnya – korban pembunuhan, perbudakan, penghilangan paksa, pengasingan, kekerasan seksual, perampasan harta benda dan penganiayaan – tidak pernah terbukti terlibat dalam operasi G30S yang menewaskan para petinggi. perwira militer berpangkat tinggi.
Joshua menyebut dua pernyataan ajudan presiden di atas merupakan pengkhianatan terhadap janji kampanye Jokowi.
Meminta maaf saja tidak cukup
Joshua kemudian mengingatkan Jokowi bahwa meminta maaf saja bukanlah tujuan rekonsiliasi. Rekonsiliasi harus dimulai dengan pengungkapan kebenaran, penegakan hukum dan hak asasi manusia, serta rehabilitasi dan penyembuhan.
“Mengatakan kebenaran adalah dengan mengungkap dan menjelaskan fakta tentang apa yang sebenarnya terjadi dari semua pihak, terutama korban dan penyintas,” ujarnya.
Sementara itu, upaya peredaan yang dilakukan pemerintah saat ini menutup mata terhadap kebenaran.
Ia berharap Prasetyo dan Ryamizard tidak terlalu mewakili Jokowi.
Apakah ini berarti masih ada harapan bagi Jokowi untuk meminta maaf?
Harapan ini semakin pupus karena tidak adanya penjelasan dari Presiden mengenai apa yang sudah dan akan dilakukan dalam rangka rekonsiliasi ini. Dan seperti apa rekonsiliasi dalam imajinasi Presiden Joko Widodo, ujarnya. —Rappler.com
BACA JUGA