• September 22, 2024

Jual Beli Bulan Ramadhan, Masalah Akhlak

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Bulan Ramadhan dan Idul Fitri dijadikan sebagai sarana berjualan barang dan jasa. Dimana etika bisnisnya?

Marhaban ya Ramadhan. Selamat datang bulan penuh berkah.

Tentu saja, saya tidak dapat berbicara tentang berkah yang terkait dengan terbukanya pintu latihan ini. Saya bukan seorang ahli. Sebagai seorang pemasar, saya lebih suka melihat ini sebagai keuntungan bagi para penggoda dompet.

Kombinasi ini mematikan. Meningkatnya daya beli karena adanya peraturan pemerintah mengenai tunjangan hari raya (THR), ditambah pentingnya Idul Fitri sebagai hari kemenangan. Ketika kami menang tentu harus ditunjukkan kepada orang lain untuk merayakannya. Melalui berbagai hal. Pintu masuk menuju konsumerisme ada di sana.

Ketika konsumen mempunyai lebih banyak uang dan keinginan untuk berbelanja, apa lagi masalahnya? Tentu saja ada banyak. Apakah mereka akan membeli barang kita dan bukan barang pesaing? Di sini kita membahas masalah umum strategi pemasaran. Apakah kita sebagai pemasar tega mengalihkan fokus ibadah ke pameran eksistensi? Ini adalah persoalan etika bisnis yang mungkin lebih menarik untuk dibahas.

(BACA: Bismillah, yuk kita mulai perjalanan Ramadhan tahun ini)

Etika bisnis, sederhananya, adalah prinsip-prinsip moral yang memandu perilaku bisnis. Definisi sederhana ini ternyata tidak sesederhana itu dalam penerapannya. Kalau bicara moral, tidak akan ada batasan yang pasti.

Jadi tentu saja artikel ini tidak bermaksud untuk menghakimi akhlak orang lain. Saya hanya mencoba memberi perspektif. Itu saja.

Secara normatif, Ramadhan yang ditutup dengan hari raya merupakan bulan untuk mengekang syahwat. Satu bulan dalam setahun, umat Islam diuji dengan kewajiban berpuasa. Keluaran Yang diharapkan dari puasa sebulan ini adalah penyucian batin. Artinya meningkatkan kualitas spiritual. Apakah itu terjadi?

Aku meragukan itu. Godaan yang diberikan para pemasar begitu besar. Jualan lebaran itu dimulai bahkan sebelum bulan Ramadhan tiba. Dari subuh, siang, hingga tengah malam, kita dibombardir dengan iklan. Semua itu agar kita mengosongkan dompet kita. Untuk menyambut hari kemenangan. Inilah janjinya.

Siapa pun yang memulai ini, saya harus angkat topi. Kemenangan adalah sesuatu yang diimpikan semua orang. Menjual Idul Fitri sebagai hari kemenangan adalah sebuah tindakan yang jenius. Masyarakat memang akan rela membayar mahal demi kemenangan. Seperti kata pepatah umum, “Menang dengan segala cara”. Apalagi jika kemenangan itu dikaitkan dengan agama. Kombinasi ganda.

Saya bukan ahli agama. Namun benarkah Idul Fitri hanya bisa dimaknai sebagai hari kemenangan? Ataukah hanya tafsir yang dipilih para marketer terhadap bulan Ramadhan sebagai gurauan? Karena kalau hanya sekedar umpan, celakalah kita.

Sebagai pemasar Ramadhan, kita tak lebih dari pemalsu kemenangan ini. Kami membuat mereka merasa menang dengan semua barang yang kami jual. Padahal jelas-jelas mereka sudah kehilangan keinginan untuk eksis. Bagi saya ini adalah masalah moral.

Saya harap ini tidak ada hubungannya. Namun saya menduga perlunya dihormati saat berpuasa juga disebabkan oleh cara para pemasar menjual Ramadhan. Ketika kemenangan adalah sebuah janji, maka puasa adalah sebuah perjuangan. Dan para pejuang harus dihormati, bukan? saya terganggu.

Jika saya harus menjual Hari Raya, saya akan mengambil jalur yang lebih lembut. Saya menjualnya sebagai hari syukuran. Perbedaan? Menang, itu adalah ekspresi lahiriah. Pameran keberadaan. Syukurlah, itu adalah ekspresi batin. Memalukan.

Namun dengan menjualnya sebagai hari syukur, mereka tetap bisa mengingat hal-hal yang penting bagi mereka. Seperti kekeluargaan, persaudaraan, kesehatan, kenikmatan makanan dan tema lainnya yang biasa diangkat dalam iklan di bulan Ramadhan.

Tentu saja, jalur ini tidak akan menawarkan godaan belanja sebanyak jalur pemenang. Namun benarkah kita hanya mementingkan keuntungan saja? Masyarakat ini sedang sakit, dan kita masih ingin mengakhirinya? Muram.

Ardi Wirdamulia adalah Doktor Ilmu Pemasaran dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang sedang belajar menulis artikel populer. Ikuti Twitter-nya @sangat banyak.

Artikel ini adalah bagian dari Cerita Ramadhan.


Data SGP