• October 8, 2024
Jutaan anak Indonesia belum mandiri

Jutaan anak Indonesia belum mandiri

JAKARTA, Indonesia – Hari ini, Senin, 17 Agustus 2015, Indonesia merayakan 70 tahun lepas dari cengkeraman kolonialisme. Namun, apakah bangsa Indonesia benar-benar merdeka?

Tampaknya, menurut Sekretaris Jenderal Gerakan Indonesia Pintar (GIP) Alpha Amirrachman, masih banyak masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak, yang belum menikmati kemerdekaan. Hal ini ditandai dengan masih belum meratanya akses penduduk usia sekolah untuk memperoleh pendidikan yang layak.

“Sekitar 2,5 juta anak tidak dapat melanjutkan sekolah, 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia sekolah menengah (SMP), kata Alpha, Senin.

Sementara itu, masih terdapat 54% guru yang masih belum memenuhi standar kualifikasi dan 13,19% gedung sekolah dalam kondisi kurang memadai.

Menurutnya, ada dua faktor utama penyebab anak-anak tersebut tidak bersekolah, yaitu bekerja untuk membantu menunjang perekonomian keluarga dan kedua, adanya pernikahan dini juga tidak terlepas dari peran keluarga yang kolot.

Pernikahan dini dikaitkan dengan timbulnya beberapa permasalahan di Indonesia, seperti tingginya angka kematian ibu dan anak karena perempuan yang melahirkan pada usia dini lebih rentan mengalami gangguan kesehatan saat hamil dan melahirkan.

Sayangnya, karena usia sah menikah di Indonesia adalah 16 tahun bagi perempuan, jumlah pernikahan dini di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia, dan tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Kamboja.

Jumlah anak perempuan yang menikah pada usia 10-14 tahun mencapai lebih dari 22.000 atau 0,2% penduduk Indonesia, sedangkan usia 15-19 tahun mencapai 11,7%.

Terbatasnya akses terhadap pendidikan

Selain permasalahan putus sekolah, anak-anak di Indonesia juga masih menghadapi keterbatasan akses terhadap pendidikan akibat minimnya sekolah, khususnya bagi anak berkebutuhan khusus (SEN).

Akses pendidikan bagi ABK memang mengalami peningkatan, dimana jumlah ABK yang bersekolah sekitar 75.000 pada tahun 2011, dan pada tahun 2014 meningkat menjadi 125.000.

Saat ini sudah 7 provinsi dan 34 kabupaten/kota yang mendeklarasikan diri sebagai daerah inklusif.

Namun hal itu masih belum cukup, karena dari 354.707 awak kapal pada jenjang pendidikan dasar, hanya 2.430 orang yang ditampung di sekolah inklusi dan 1.774 orang di sekolah luar biasa (SLB).

“Penyelenggaraan sekolah inklusif masih banyak menghadapi kendala, karena masih kurangnya ketersediaan guru pendamping khusus dan juga pendanaan dari pemerintah yang dinilai tidak mencukupi untuk menjadikan sekolah tidak adil. terbuka untuk diperiksa (dapat dikunjungi) tetapi juga ramah Benar-benar (ramah) kepada para kru, kata Alpha.

Selain masalah kurangnya sekolah, menurut ketua GIP yang juga Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau, dr. Kampsol, Distribusi guru juga masih belum merata.

“Dua puluh satu persen sekolah di perkotaan kekurangan guru, di pedesaan 37%, di daerah terpencil 66%, padahal di banyak daerah terjadi surplus guru,” tuturnya.

Kamsol mengatakan, buruknya akses terhadap pendidikan tidak hanya dialami di daerah pedesaan dan terpencil, namun juga di perkotaan karena belum meratanya pemerataan sekolah berkualitas.

“Ketika di daerah tempat tinggal Anda ada sekolah yang berkualitas, biayanya mahal sehingga terpaksa harus pergi jauh ke sekolah, sehingga harus menambah biaya transportasi, belum lagi waktu dan tenaga yang dikeluarkan,” ujarnya.

Selain itu, persyaratan administratif seringkali menghambat akses terhadap pendidikan.

“Misalnya KK dan akta kelahiran menjadi syarat masuk SD, karena banyak keluarga pendatang dan kurang mampu secara ekonomi belum tentu memiliki KK atau anak yang tidak punya akta kelahiran,” Kamsol mencontohkan masih rendahnya kualitas sistem kependudukan dan kekakuan persyaratan penerimaan sekolah.

“Pendidikan itu gratis, namun biaya non-pendidikan seperti seragam, perlengkapan sekolah, transportasi masih mahal, bahkan lebih mahal dari biaya operasional pendidikan. “Tekanan ekonomi kapitalis membuat ketimpangan menjadi terlalu tinggi, yang pada akhirnya justru menggusur masyarakat miskin dibandingkan mengangkat mereka keluar dari kemiskinan,” lanjutnya.

Kamsol mengingatkan, Indonesia hanya menempati peringkat 108 dari 185 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan angka 0,684. Dua negara tetangga ASEAN, yakni Malaysia (peringkat 62) dan Singapura (peringkat 9), jauh mengungguli Indonesia.

Faktanya, tahun ini Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang menghilangkan hambatan negara untuk bersaing mengisi lapangan kerja.

“Indonesia harus bergegas meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, ini sebenarnya pekerjaan rumah yang besar bagi bangsa ini untuk mewujudkan kemandiriannya,” pungkas Kamsol.

Rappler.com

slot online