Kandidat boneka versus hak kandidat siap pakai
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Upaya menjadikan peraturan KPU untuk mencari jalan keluar kurang optimal dan kurang efektif
JAKARTA, Indonesia — Pemilihan kepala daerah (pilkada) di 15 kabupaten/kota terancam ditunda hingga 2017. Sebab, banyak bakal pasangan calon yang mendaftar sebagai peserta Pilkada Serentak 2015 di daerah tersebut tidak mencapai kuota minimal dua pasangan.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (GEC), Hadar Nafis Gumay mengakui, jika hal itu terjadi, pasangan calon yang mendaftar di beberapa kabupaten/kota tersebut akan dirugikan.
“Ini akan merugikan pasangan calon yang sudah siap dan berusaha keras untuk mengikuti pemilu,” kata Hadar, Rabu, 29 Juli.
Namun, memaksakan agar pilkada tetap digelar di tengah kekurangan pasangan calon juga berbahaya karena berpotensi melahirkan “calon boneka”, seperti diungkapkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Calon dalang, menurut Titi, adalah pasangan calon yang sengaja didorong untuk maju oleh pasangan calon tunggal yang sudah terlebih dahulu mendaftar. Tujuannya semata-mata untuk memenuhi kuota agar pilkada tidak tertunda dan membuka jalan bagi satu-satunya pasangan calon yang bisa berkuasa.
“Calon tunggal tidak boleh menghasilkan calon boneka karena ini adalah manipulasi dan rekayasa demokrasi yang luar biasa,” kata Titi kepada Rappler, Rabu.
Yakni Kabupaten Blitar, Purbalingga, Tasikmalaya, Minahasa Selatan, Timur Tengah Utara, Asahan, Pacitan, dan Serang, serta Kota Surabaya, Mataram, dan Samarinda.
Sementara di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, belum ada satu pun pasangan calon yang mendaftar.
Oleh karena itu, KPU memperpanjang masa pendaftaran calon kepala daerah hingga 3 Agustus 2015.
Bagaimana jika situasinya tidak berubah? Oleh karena itu, pilkada di daerah terkait harus ditunda hingga putaran berikutnya pada pilkada serentak tahun 2017.
Solusi kandidat tunggal
Menyikapi fenomena calon tunggal, Hadar menilai undang-undang (UU) yang ada saat ini harus diubah.
“Upaya pembuatan peraturan (KPU) untuk mencari jalan keluar kurang optimal dan kurang efisien. “Yang diperlukan hanyalah perubahan minimal pada sistem pemilu di tingkat undang-undang,” kata Hadar.
Sementara itu dari Surabaya, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Didik Prasetiyono menyarankan agar pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) agar pilkada tetap bisa digelar dengan calon yang sedikit.