• November 24, 2024

Kapan pemerintah akan menganggap serius perumahan?

Angka menjadi masalah di Indonesia. Angka yang benar-benar jelas seringkali tidak benar dan bahkan membingungkan. Salah satunya adalah betapa terbatasnya pasokan perumahan (jaminan simpanan) bagi warga negara Indonesia. Ada yang bilang 15 juta, ada yang bilang 18 juta, bahkan ada yang bilang 20 juta unit.

Berapa pertumbuhan permintaan perumahan per tahun? Ada yang bilang 800 ribu, ada pula yang menyebut angka satu juta unit. Berapa banyak pasokan per tahun? Hal ini juga tidak jelas. Kisarannya 400-500 ribu unit.

Tidak ada yang bisa memastikan dengan pasti berapa banyak orang yang membutuhkan rumah. Yang pasti harga rumah akan terus naik. Ada yang naik 100% selama 3-4 tahun, ada yang naik 24-30% setiap tahun, bahkan ada yang dijual di hari Sabtu tapi di hari Senin naik. Harga rumah sangat fluktuatif, sama seperti kehidupan cinta Arman Dhani.

Saat ini sangat sulit mencari rumah dengan luas 100m2 ke bawah dengan harga Rp 300 juta per unit di Jakarta dan sekitarnya. Harga naik hingga hampir Rp 500 juta. Mendapatkan harga Rp 300 juta untuk rumah dengan luas tanah 70-80m2 di komplek perumahan sekitar Tangsel adalah level yang mendekati keajaiban.

Hal serupa juga terjadi di kota-kota besar dan satelitnya. Harga rumah tidak lagi naik, tetapi berubah setiap saat. Pasangan kelas menengah dengan total gaji bersih (pendapatan bersama) Rp 15-25 juta per bulan meski kesulitan mencari rumah idaman di Jakarta dan sekitarnya. Terutama mereka yang gajinya di bawah upah minimum regional (UMR). Berat.

Ya, aku sedang berbicara di rumah. Salah satu dari tiga kebutuhan primer manusia selain sandang dan pangan. Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia yang penting. Tempat bersembunyi, istirahat, bersilaturahmi dengan tetangga, dan lain sebagainya. Tak hanya berkaitan dengan perlindungan fisik, rumah juga penting untuk kesehatan mental. Dari apa bahasa Arabnya, Ayat surga alias rumahku surgaku. Belum ada penelitian, tapi saya yakin Ayat surga itu menginspirasi kalimat itu Timur, barat, rumah adalah yang terbaik dalam bahasa Inggris. Hehehe, @faktaagama sangat.

Apakah pemerintah melakukan privatisasi perumahan?

Sayangnya, rezim tidak pernah menyelesaikan masalah perumahan ini. Bandingkan dengan pakaian dan makanan. Atas nama persaingan dan pasar bebas, pakaian impor bebas masuk ke dalam negeri. Pasar merusak pakaian produksi lokal dan pakaian daerah yang merupakan warisan luhur bangsa ini. Yang terpenting, ada pasokan pakaian dengan harga terjangkau bagi masyarakat, kata pemerintah.

Begitu pula untuk makanan. Ketika harga beras mahal, harga cabai mahal, dan bawang merah naik, beberapa peraturan impor komoditas tiba-tiba dibuka. Pasalnya inflasi harus turun, kasihan masyarakat jika harga komoditas tinggi. Pada saat yang sama, penderitaan para petani mulai dilupakan.

Singkatnya, untuk sandang dan pangan, pemerintah benar-benar bermain-main dengan kebijakan penurunan harga. Sayangnya, pemerintah tidak melakukan hal tersebut pada rumah yang harganya tak kunjung turun. Mungkin sampai akhir dunia.

Aku sungguh senang, terkejut, dan bingung, perasaan apa ini? Tapi itu benar-benar terjadi. Pemerintah mencanangkan program sejuta rumah. Luar biasa. Jika satu juta rumah dibangun per tahun, maka pemerintah akan membangun 5 juta unit rumah dalam lima tahun. Akan terjadi penurunan jaminan simpanan di akhir masa kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo (tentunya jika tidak setengah jalanha ha).

Namun hingga saat ini hanya samar-samar terdengar mengenai program tersebut. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan terus “melakukan program ini dan itu” alih-alih menunjukkan kemajuan. Sejauh ini belum terlihat perincian berapa biaya satu juta rumah, di mana, dan apakah akan diintegrasikan dengan infrastruktur transportasi umum seperti apa.

Sebagai slogan, indah sekali: Program Sejuta Rumah. Rasanya menjalankan program ini seharusnya menjadi lebih sulit.

Persoalan membangun sejuta rumah memang rumit. Ada permasalahan pertanahan, permodalan, daya beli dan sistem yang mengatur siapa yang berhak memperoleh perumahan terjangkau dengan suku bunga relatif rendah. Jika setiap unit rumah murah dijual Rp 150 juta, diperlukan pembiayaan kepemilikan rumah sebesar Rp 150 triliun yang 30 persen uang mukanya ditanggung pembeli. Berapa lama seseorang yang berpenghasilan minimum dapat mempunyai tabungan sebesar 30% dari Rp 150 juta? Tidak apa-apa, itu urusan pemerintah.

Budaya bangga memiliki rumah mulai memudar

Saya mengesampingkan kasus Masyarakat Berpenghasilan Rendah (LMC) untuk mendapatkan rumah. Biarlah dipikirkan oleh pemerintah dan lulusan Harvard. Saya lebih suka fokus menggoda kelas menengah.

Bangga terhadap sebuah rumah adalah budaya orang tua saya dan banyak generasi yang lahir di tahun 70an, wah, saya tahu berapa umur saya. Menurut orang tua saya, mempunyai rumah harusnya menjadi tujuan utama keluarga, kalaupun perlu, harus jadi tujuan walaupun tidak punya pasangan. Tentu saja saya tidak sedang menyindir @rikatheo.

Dengan mempunyai rumah, lagi-lagi menurut orang tua saya, pasangan muda atau lajang memperoleh status independen. Dengan memiliki rumah, walaupun harus mencicil, hasilnya tetap ada dan harganya tidak pernah turun.

Situasi saat ini sungguh berbeda. Budaya bangga memiliki rumah kini berubah. Semakin banyak orang yang memilih bangga memiliki mobil, sepeda motor, dan berlibur ke luar negeri. Budaya totalitas dalam narsisme membuat kelas menengah semakin bangga penempatan ganti mobil 2-3 tahun sekali, pamer liburan dengan tiket murah ke negara-negara ASEAN, atau ganti motor hanya untuk pamer di depan orang tersayang.

Pengeluaran kelas menengah mulai bergeser karena biaya pemeliharaan gaya hidup untuk tidak mendapatkan predikat ndeso. Sekitar 30-40% pendapatan masyarakat kelas menengah di Jakarta dan sekitarnya dihabiskan untuk pangan. Secara nasional relatif rendah. Tapi belanja konsumen luar biasa. Wanita mudah melakukan kesalahan dengan tas, sepatu, dll bling Bling lainnya. Laki-laki mudah terbawa suasana ketika pergi ke bengkel, bertaruh sepak bola, billiard, dan lain sebagainya.

Dibutuhkan biaya 30-40 persen di luar biaya makanan untuk mendanai gaya hidup kelas menengah. Ini adalah sebuah kesalahan tidak bisa ditarik kembali seperti Perpres tentang cicilan mobil. Sisanya digunakan untuk transportasi dan biaya lainnya. Simpan sedikit saja, tapi tanya sana-sini asuransi apa yang bagus, saham apa yang prospek. Meski uangnya sedikit. Dalam kata-kata temanku @lennylips, BPJS adalah anggaran jiwa sosial. Setiap saat aku senang tapi aku kesal karena uangku tidak pernah cukup untuk membayar uang muka sebuah rumah. Aneh.

Rasanya kampanye bangga memiliki rumah bagi kelas menengah perlu kembali dijalankan. Sangat penting untuk mengajak kelas menengah untuk mengekang konsumerisme mereka yang selalu bergelut setiap kali ada pengumuman menjual akhir tahun.

Pemerintah harus bergerak cepat. Misalnya saja dengan mengurangi aturan uang muka 30% menjadi 10-15% untuk pembelian pertama rumah kelas menengah ke atas. Bahkan jika memungkinkan, uang muka 1-5% bagi MBR yang membeli rumah sangat sederhana (RSS) pertamanya. Kemudian dilakukan cicilan hingga 30 tahun.

Melalui budaya bangga memiliki rumah, kelas menengah menjadi lebih membumi dalam menjalani kehidupan. Tak ada lagi belanja tak perlu untuk mendapat pujian seperti tasmu keren banget, sepatumu lucu banget, atau mobil gilamu keren banget buat diajak jalan-jalan, beli velgnya dimana? Percayalah, pujian itu hanya pura-pura. kata orang jawa bibir merah. Lebih baik mempunyai rumah dan hidup sederhana daripada tidak mempunyai rumah tetapi bergaya mewah.

Dampaknya terhadap perekonomian makro sangat besar. Pusat Kajian Properti Indonesia (PSPI) mengklaim terdapat kurang lebih 135 industri terkait pembangunan perumahan di Indonesia. Panangian Simangukalit, Direktur PSPI, menjelaskan, ketika pembangunan perumahan terjadi di kawasan perkotaan misalnya, maka tidak kurang dari 135 industri terkait di sekitarnya akan menikmati perputaran uang yang terjadi akibat pembangunan perumahan tersebut. Dampaknya sungguh besar.

Selain dampak ekonomi yang sangat besar, pemerintah juga berpotensi bertahan dengan mengembalikan budaya bangga memiliki rumah. jebakan pendapatan menengah. Kelas menengah mengurangi konsumsi yang sifatnya tidak nyata (hura-hura untuk gaya hidup tadi) karena 30% penghasilannya dihabiskan untuk membayar cicilan rumah.

Tentu saja, 30% dari pendapatan Anda untuk membayar hipotek jauh lebih baik daripada 30% dari pendapatan Anda untuk membayar pembayaran kartu kredit Anda untuk a Gawai sialnya harga sepeda motor. Perekonomian menjadi lebih nyata. Produk yang mempunyai biaya produksi rendah namun dijual ekstra mahal demi kepentingannya gaya hidup, lambat laun akan kehilangan pasar karena masyarakat memilih untuk mencicil rumahnya. Ya, mungkin mall akan lebih sepi. Baguslah, biar konsumsi listrik mall turun dan dialokasikan ke daerah yang krisis listrik hahaha.

Tentu saja, jika masyarakat kelas menengah mulai beralih kembali ke budaya bangga memiliki rumah, maka pemerintah perlu segera membangun infrastruktur bernama transportasi umum. Jangan sampai masyarakat kelas menengah mengeluh biaya transportasi menghabiskan 15-20% pendapatannya. Budaya pulang ke rumah orang tua atau menyewa dekat kantor akan kembali terjadi.

Jadi, apakah kamu sudah punya rumah? Sudah mengikuti? Anda bangga. Kapan lunasnya? 15 tahun lagi hiks…hiks. —Rappler.com

Kokok Herdhianto Dirgantoro adalah mantan jurnalis, mantan pegawai bank. Kini beliau menjalankan kantor konsultasi di bidang komunikasi strategis. Namun Kokok sangat tertarik mempelajari masalah ekonomi. Gaya tulisannya lucu, namun penuh analisis. Ikuti Twitter-nya @kokokdirgantoro.


slot online gratis