Kata-kata badai Raja Sri Sultan
- keren989
- 0
YOGYAKARTA, Indonesia —Masyarakat Yogyakarta dihebohkan dengan pengumuman Sabda Raja di Bangsal Siti Hinggil, Keraton Yogyakarta, 30 April 2015.
Kata tersebut mengandung lima poin yaitu: Perubahan nama Sri Sultan Hamengku Buwono X menjadi Sri Sultan Hamengku Bawono sepuluh kali menjadi banyak sepuluh, perubahan isi perjanjian antara pendiri Mataram Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, serta penyempurnaan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Joko Pinurun.
Tak sampai disitu saja, pada tanggal 5 Mei 2015, Sri Sultan Dawuh Raja mengeluarkan surat di Bangsal Siti Hinggil Keraton Yogyakarta yang isinya tak kalah mengejutkan dengan Sabda Raja. Pada Dawuh Raja, Sri Sultan mengangkat putranya, GKR Pembayun, sebagai putri mahkota dan mengganti namanya menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram.
(BACA: Jalan Mulus Pembayun Gantikan Sri Sultan HB
Reaksi negatif dari keluarga istana
Perkataan Raja mendapat reaksi negatif dari adik-adiknya. Mereka sepakat untuk tidak menghadiri Sabda Raja dan Dawuh Raja meski diundang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono. Salah satu keluarga keraton, KRT Yudohadiningrat menjelaskan alasan ketidakhadiran mereka di Sabda Raja dan Dawuh Raja.
“Kalau yang laki-laki tidak (datang), hanya Gusti Hadi yang membenarkan tadi, mungkin tidak sempat masuk karena macet,” ujarnya usai membacakan Dawuh Raja.
Adik Sultan GBPH Prabukusumo mengaku tak mau datang karena sudah mempunyai rasa curiga terhadap Sabda Raja dan Dawuh Raja sehingga memutuskan untuk tidak datang ke dua acara tersebut.
“Pencopotan Khalifatuloh dan pergantian nama jelas berdampak pada Paugeran, sehingga saya dan adik-adik Sultan lainnya ingin berziarah ke makam pendiri Keraton Yogyakarta untuk meminta maaf atas kesalahan Ngarso Dalem,” ujarnya. saat ditemui wartawan di rumahnya, Rabu 6 Mei 2015.
Hal senada juga diungkapkan adik Sultan lainnya, KGPH Hadiwinoto dan GBPH Yudoningrat.
KGPH Hadiwinoto menilai Sabda Raja dan Dawuh Raja tidak sah karena dilakukan dengan prosesi dan protokol yang salah. Menurutnya, Sri Sultan sebaiknya mengenakan tanda kebesaran raja yang berwarna hitam berani dan mengenakan kuluk Kanigoro saat acara berlangsung. Namun, Sultan justru mengenakan pakaian putra mahkota dan kuluk berwarna biru.
“Tidak sesuai protokol, jadi batal. Sebaiknya memakai ageman (baju) yang kebesaran, bukan baju putra mahkota yang berpita biru. “Ini orang tua yang dipakai Sultan saat jumenengan (pelantikan menjadi raja),” ujarnya saat berziarah ke makam raja Mataram di Imogiri, Rabu, 6 Mei 2015.
Sementara itu, GBPH Yudoningrat berkomentar tak kalah tajam. Dia bertanya apakah Sri Sultan mendesak menggunakan nama baru, ia harus membuat pemerintahan baru.
“Kalau mau, ciptakan saja kerajaan sendiri, jadilah Sri Sultan Hamengku Bawono I, bukan X,” ujarnya.
Soal pengangkatan putri mahkota dan pergantian nama dari GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi dinilainya merupakan mimpi buruk bagi Keraton Yogyakarta. Ia pun meminta Sultan mencabut Sabda Raja dan Dawuh Raja yang telah dikeluarkannya.
“Kami tidak mengenal GKR Mangkubumi dan tidak pernah menyangka, ini mimpi buruk bagi kami. Saya berharap Sultan menarik kembali Sabda Raja dan Dawuh Raja karena jelas-jelas salah. “Tidak perlu malu untuk mengambilnya kembali,” ujarnya.
Pertemuan darurat keluarga kerajaan
Menyikapi Sabda Raja dan Dawuh Raja, 10 Adik Sri Sultan Hamengku Bawono Pertemuan digelar pada Rabu 6 Mei di GBPH kediaman Prabukusumo. Sebelum menggelar pertemuan, mereka terlebih dahulu berziarah ke makam raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul untuk memohon keberkahan dan permohonan maaf atas kesalahan Sri Sultan Hamengku Bawono X.
Sepuluh adik Sultan yang hadir adalah KGPH Hadiwinoto, GBPH Pakuningrat, GBPH Yudoningrat, GBPH Conndroningrat, GBPH Suryodiningrat, GBPH Suryomentaraman, GBPH Hadinegoro, GBPH Suryonegoro dan dirinya. Sementara adiknya yang lain, GBPH Hadisuryo, tidak bisa hadir karena sakit di Jakarta.
“Kami mendiskusikan Firman Raja bersama-sama. Namun saat ini belum bisa kami sampaikan karena nantinya 6 adik Sultan asal Jakarta akan dipanggil ke Istana oleh Sultan. Karena tidak mendengarkan Sabda Raja, Sultan ingin menjelaskan terlebih dahulu. “Setelah itu kita tandingkan, baru kita bertindak,” jelas GBPH Prabukusumo di kediaman GBPH Yudoningrat, Kamis 7 Mei 2015.
Selain mengadakan pertemuan, mereka juga mengadakan Sabda Palon yang bertujuan untuk menerima aspirasi masyarakat Yogyakarta tentang Sabda Raja. Berbagai tokoh yang hadir dalam acara tersebut antara lain Tokoh Islam Kyai Muhaimin, mantan Wakil Wali Kota Yogyakarta Sukri Fadholi, Anggota DPRD Kota Yogyakarta Emanuel Prasetyo, Ketua Persatuan Dukuh DIY Semar Sembogo, Sukiman dan sejumlah ormas dan abdi dalem Yogyakarta. Istana.
Kyai Muhaimin berpendapat, pencopotan gelar Khalifatuloh menandai berakhirnya kerajaan Mataram Islam. Sebab khilafah merupakan jalinan kerajaan Mataram Islam.
“Keraton Yogyakarta atau Mataram Islam merupakan satu-satunya kerajaan Islam di nusantara yang masih utuh. “Kalau Khalifatuloh dihapuskan sama saja dengan berakhirnya Keraton Yogyakarta,” ujarnya kepada wartawan saat menghadiri Sabda Palon di kediaman GBPH Yudoningrat, Kamis, 7 Mei 2015.
Sementara terkait pengangkatan Putri Mahkota GKR Mangkubumi yang digadang-gadang menjadi raja, menurutnya bukan karena persoalan kesetaraan gender, melainkan suksesi dan kekuasaan.
“Itu bukan sebuah pertanyaan jenis kelaminSaya seorang mentor jenis kelamin di pesantren, jadi saya tahu. “Kami ingin mendapatkan pemimpin yang terbaik dan perempuan bisa mendapatkan peran yang sangat baik, tidak harus menjadi pemimpin dan pendeta,” tegasnya.
Masa depan Keraton Yogyakarta setelah Sabda Raja
Guru Besar Sejarah Universitas Gajah Mada (UGM) Prof. Djoko Suryo mengatakan, perubahan di lingkungan Keraton Yogyakarta merupakan hal yang wajar.
“Zaman dan kondisi sudah berubah, jadi wajar kalau Keraton juga ikut berubah. Misalnya dulu raja punya banyak istri, tapi sekarang zaman sudah berubah, sekarang Sultan hanya punya satu istri,” ujarnya saat ditanya, Selasa Mei. 5, 2015.
Ia yakin perubahan tersebut pasti bisa dilakukan oleh Sultan sebagai raja, termasuk pengangkatan seorang putri mahkota yang digadang-gadang menjadi raja wanita pertama di Keraton Yogyakarta.
“Dalam sejarah ada kerajaan di nusantara yang rajanya perempuan, seperti di Aceh ada sultannya perempuan, di tempat lain juga ada. Jadi perubahan ini pasti bisa terjadi dan mungkin terjadi karena ini negara monarki dan sultan berhak menentukan siapa penerusnya, ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar Antropologi UGM Heddy Shri Ahimsa meyakini perubahan ini akan berdampak besar terhadap budaya Keraton Yogyakarta dan masyarakat.
“Saya belum tahu secara konkrit dampaknya, tapi secara ideologis menghilangkan konsep Manunggaling Kawulo Gusti, tugu putih kehilangan makna,” ujarnya.
Ia menduga perubahan signifikan pada Sabda Raja itu mungkin ada kaitannya dengan gagasan Sultan tentang Jogja Renaissance yang telah ia rencanakan jauh-jauh hari. Pada masa Jogja Renaissance, Sultan memberikan visi Yogyakarta modern masa depan dalam berbagai aspek.
Bisa jadi ini keinginan Sultan, Sultan ingin melakukan perubahan, namun langkahnya sangat jauh dan di luar ekspektasi masyarakat, tambahnya.
Apa jawaban Sultan?
Tampaknya Sultan tidak khawatir dengan penolakan adik-adiknya. Sebagai seorang kakak, ia mengajak adik-adiknya untuk mendengarkan dan menjelaskan Sabda Raja dan Dawuh Raja, sayangnya adik-adiknya tidak datang.
“Saudaraku, ya, saya butuh undang-undang. Dua kali aku mengundangnya tapi dia tak kunjung datang ya sudah, tidak ada ayah pula,” ujarnya Rabu, 5 Mei 2015.
Saat ini, ia memilih diam dan membiarkan adik-adiknya yang berbeda pendapat mengutarakan pendapatnya terlebih dahulu. Namun, ia meminta adik-adiknya tidak hanya menggunakan pikirannya dalam menyikapi Sabda Raja, namun juga menggunakan hati.
“Kak, jangan asal pakai (tunjuk kepala) tapi pakai (pegang dada). Kalau hanya pakai (tunjuk kepala) pasti salah, maka harus dipakai (tunjuk dada) ),” ujarnya kepada wartawan di Gunungkidul, Kamis, 7 Mei 2015. —Rappler.com