• September 16, 2024

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?

Jika pembela HAM Yap Thiam Hien masih hidup, apa yang akan dia lakukan terhadap Nenek Asyani yang diduga mencuri kayu bakarnya?

Siapakah saat ini yang masih menusuk sampai ke sumsum tulang peribahasa Fiat Justisia Et Pareat Mundus?

Kata-kata di Indonesia ini selalu mengingatkan saya pada sosok tegas Yap Thiam Hien. Beliau mungkin hingga saat ini masih menjadi sosok paling sakral dalam sistem hukum dan sistem peradilan di Indonesia.

Pembicaraan ini tentunya bukan sekedar asal-asalan. Arief Budiman pernah menyebut Yap sebagai “tiga minoritas” di Indonesia yaitu Tionghoa, Kristen dan Jujur.

Beberapa pekan terakhir, rasa keadilan masyarakat tengah diuji. Kita diajak melihat panggung besar dimana aparat hukum kita mengadili seorang nenek yang dituduh mencuri kayu.

Nenek itu bernama Asyani. Dia didakwa mencuri tujuh potong kayu jati dan dijerat dengan Pasal 12 juncto Pasal 83 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ancaman hukumannya adalah 5 tahun penjara.

Tak sendirian Ouma Asyani, sebelumnya ada juga Mbah Harso yang terancam hukuman dua bulan penjara karena melanggar UU No. 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati Bagi Ekosistem, dan UU No.

Ia baru mendapat surat bebas dari Pengadilan Negeri Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta, Selasa 17 Maret.

Kakek yang berprofesi sebagai petani ini dituduh menggergaji dan mencuri kayu di hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Paliyan. Harso kalau begitu dinyatakan tidak bersalah setelah fakta-fakta persidangan tidak dapat membuktikan dakwaan terhadap dirinya.

Menariknya, kedua kasus pencurian kayu ini terjadi di Pulau Jawa dan berdampak pada kelompok lansia rentan. Sementara itu, pembalakan liar secara besar-besaran dalam skala besar di pulau-pulau di luar Jawa hampir tidak pernah terdengar.

Sebenarnya, apa itu keadilan? Kita mungkin kehabisan tenaga saat mencoba mendefinisikan kata tersebut dari sudut pandang filosofis, namun keadilan pasti bisa dirasakan.

Apakah adil jika sistem yang menjerat dan memukul keras masyarakat miskin justru begitu blak-blakan dan tampak tidak berdaya di mata masyarakat kaya? Di sini, intervensi dipandang sebagai tindakan heroik, meskipun itu merupakan bukti bahwa sistem kita tidak bekerja dengan baik.

Kasus ini menarik perhatian publik hingga terciptanya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya meminta agar nenek Asyani diberikan penangguhan penahanan.

Namun apakah hal itu akan terus dilakukan? Setiap kali terjadi ketidakadilan, akan ada tokoh lain yang turun tangan sehingga kasus tersebut ditangguhkan atau dihentikan. Jika hal ini terus terjadi, apa gunanya aparat hukum dan sistem hukum di negeri ini?

Saya teringat kembali sosok Yap yang tak kenal kompromi membela kelompok minoritas. Saat menjadi pengacara, Yap pernah membela seorang pedagang di Pasar Senen yang tempat usahanya digusur pemilik gedung. Yap juga merupakan salah satu pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Dari laman Wikipedia-nya tertulis, pada era Soekarno, Yap menulis artikel yang menyerukan agar presiden melepaskan sejumlah tahanan politik seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Subadio, Syahrir dan Princen.

Keadilan yang Yap gambarkan adalah keadilan yang berbasis kemanusiaan, ketika keluar dari Baperki karena organ tersebut cenderung lebih dekat dengan kelompok kiri, Yap justru menjadi pembela kelompok tersebut ketika dihina.

Yap menjadi pembela para tersangka G30S (Gerakan 30 September yang sering dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia) seperti Abdul Latief, Asep Suryawan dan Oei Tjoe Tat. Tentu saja, ini bukan soal Yap pro-komunis atau tidak, tapi soal kemanusiaan.

Yap membela hanya karena dia seorang pengacara dan pengacara profesional harus memberikan keadilan setinggi-tingginya di hadapan hukum.

Kini kita diberikan pilihan yang mudah, Nenek Asyani dan Mbah Harso menjadi gambaran samar betapa sebenarnya sistem peradilan kita perlu dibenahi. Ketika Joko Widodo terpilih, ia menjanjikan perbaikan sistem hukum di Indonesia.

Bukannya menepati janjinya, ia malah diam dan tak berkomentar saat Polikarpus dibebaskan. Padahal inti penyelesaian kasus Munir merupakan salah satu janji kampanyenya.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah pemerintah masih berkomitmen untuk menegakkan hukum yang adil tanpa diskriminasi, atau apakah pemerintah akan bersikap keras terhadap pihak yang lemah namun lunak terhadap pihak yang kuat.

Kita tentu ingat caranya Putra mantan menteri yang membunuh beberapa orang dan seorang balita ini dihukum sangat ringan dan mengganggu rasa keadilan.

Kalau kita bandingkan cara aparat memperlakukan anak menteri dengan cara aparat memperlakukan nenek Asyani dan Mbah Harso, menurut saya orang yang paling lemah pun bisa menilai mana yang adil dan mana yang tidak.

Kini kredo hukum “Fiat Justisia Et Pareat Mundus” mungkin perlu dikaji ulang maknanya. Kalimat yang bermakna keadilan harus ditegakkan, meski dunia harus binasa, terlalu menggelikan untuk diterapkan di negeri ini. —Rappler.com

judi bola