• November 23, 2024

Kebangkitan kembali lagu-lagu terlarang yang terhapus dari sejarah

Lagu-lagu yang terhapus dari sejarah dikenang dan dinyanyikan kembali


Deon Nike adalah orang yang baik. Karena bebannya sudah hilang. De je uyut mesogsag mengundang pemimpin. Bersatu namun tegas, masyarakat buruh tani adalah musuh yang menjadi tikus ekonomi yang ganas. Si menguu pencoleng berpakaian gagah berani. Jalan jani luh muani, cerik kelih kelih bajang bajang bersatu namun kokoh, bergabung dengan nasakom sebagai inti.

(Pesan diaken yang baik. Jalan menuju kesejahteraan adalah dengan menghilangkan penderitaan. Jangan berdebat dengan teman. Bersatulah untuk kuat, para buruh tani, musuh kita masih merajalela, tikus-tikus ekonomi. Jangan percaya pada penghasutnya. dengan pakaian gagah berani. Ayo sekarang, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, tua dan muda bersatu mengikuti nasakom dengan kokoh sebagai inti)

Lagu ini berjudul Dekon, karya Ketut Putu. Liriknya tajam, kritis dan kasar pada saat bersamaan. membuat Dekon merenung dan membuatnya malu setengah mati. Malu sendiri karena masih menstigmatisasi Ketut Putu dan korban pembantaiannya yang dicap komunis.

Kisah Ketut Putu sungguh menyayat hati. Ketut Putu adalah seniman Bali yang berasal dari kota Singaraja, di utara Pulau Bali. Pada tahun 1965, Ketut Putu masih berusia 30-an. Namun kemampuannya dalam mengadaptasi lagu pidato Soekarno dengan realitas sosial yang ada di masyarakat membuat namanya terkenal saat itu. Tidak hanya lagu “Dekon” yang lahir darinya, namun ada juga beberapa lagu lainnya, seperti: “Genta Suri”, “Nasakom Bersatu”, “Prapat Agung”, dan lain-lain.

Kepiawaiannya menciptakan lagu-lagu bertema perjuangan kala itu membuatnya dikenal masyarakat sebagai pencipta lagu-lagu revolusioner berbahasa Bali. Selain sebagai pencipta lagu, Ketut Putu juga merupakan seorang penyair ulung di Bali. Sebagai orang yang aktif di dunia sastra dan seni, Ketut Putu juga merupakan anggota aktif Lekra, sebuah organisasi progresif yang terdiri dari tokoh budaya, sastrawan, dan seniman yang menolak imperialisme dan feodalisme di Indonesia.

Saat itu, Lekra menjadi tempat berkumpulnya para seniman dan sastrawan yang berkomitmen memperjuangkan rakyat tertindas. Menurut catatan Roro Sawita, peneliti muda korban 65 peristiwadi Bali sekitar tahun 60an, lagu “Dekon” menjadi lagu wajib dalam pertunjukan-pertunjukan yang diselenggarakan oleh Lekra di desa-desa, hampir di seluruh Bali.

Dengan lirik yang pendek dan ringkas ditambah bahasa Bali memudahkan pendengar memahami maknanya. Lirik lagu “Dekon” yang ditulis oleh Ketut Putu sebenarnya diambil dari kutipan pidato Presiden Soekarno pada tanggal 28 Maret 1963 di Jakarta yang berjudul “Deklarasi Ekonomi”.

Ketut Putu disebut meninggal dunia akibat tragedi kemanusiaan tahun 1965/66 di Bali.

Saksi hidup hanya bisa menjelaskan bahwa Ketut Putu adalah adik dari Putu Shanty, seorang penulis Lekra asal Singaraja. Putu Shanty juga menjadi korban barbarisme yang disponsori tentara. Jenazahnya diseret mobil dan dilihat banyak orang.


“Bagaimana mungkin orang populer, penyair berbakat, dan jenius musik dibunuh dan dihilangkan secara tragis,” kata Roro dalam artikelnya. Jangankan Ketut Putu yang sudah tenar, yang hanya mendengar dan menyanyikan lagunya saja sudah bisa dituduh PKI.

Lagu Ketut Putu Terlupakan. Community65 sebaiknya bertanya kepada saksi sejarah yang masih hidup. Para penyintas diminta mengingat lirik dan nada saat itu. Made Mawut dari Community65 mulai mencocokkan kunci gitarnya. “Setelah mereka sepakat, saya bernyanyi di depan mereka,” kata Made Mawut.

Made mengatakan, salah satu perempuan penyintas, Bu Pasek, yang memberikan lirik dan notasinya. Namun dia tidak bisa lagi menyanyi karena sudah pikun dan pendengarannya buruk. Namun dari catatan-catatan itu, Mawut mencoba mengarang lagu tersebut. Proses ini telah berlangsung sejak tahun 2012.

Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KPKK) dan Taman 65 meluncurkan full album dan buku berjudul Prison Song: Silenced Songs pada Agustus lalu. Selain Made Mawut dan Kupit, ada pula Jerinx-Superman Is Dead yang menyanyikan Di Kala Sepi Mendamba dengan gaya rockabilly. Lirik oleh Ni Ketut Kariasih, arranger Pak Atjit.

Kariasih juga kisahnya tragis. Dia ditangkap pada akhir tahun 1965 saat dia masih menyusui bayinya. Suaminya ditangkap sebelumnya dan tidak mengenal hutan. Rumahnya dibakar massa. Ia beberapa kali ditangkap dan diinterogasi, terakhir ditahan di Lapas Pekambingan, tempat penyiksaan para penyintas di Bali (sekarang menjadi toko di Jl Diponegoro Denpasar). Tak terbayang betapa tabahnya dia hingga lirik lagu itu tercipta.

Ada pula penggalan kenangan karya Amirudin Tjiptaprawira alias Pak Atjit. Dalam beberapa barisnya, Pak Atjit dengan jelas mengungkap jejak kebrutalan penguasa kehidupan ini.

“Kamu di sini, Buyung, kesakitan. Tangisanmu, ayah tidak mendengarnya. Hanya diiringi air mata suci ibu. Kamu jungkir balik, hidup ini penuh luka. Namun saudaraku adalah orang yang kupercayai pada Sang Hyang Widi dan menyayangimu. Tumbuh, dewasalah ibu, doakanlah ibu agar selalu menjadi pejuang bangsa.”

Pak Atjit dan Ida Bagus Santosa di Tini dan Yanti secara halus bisa mendorong generasi sekarang (termasuk Jokowi-JK) untuk merobohkan buku sejarah sekolah yang secara brilian mengkriminalisasi para korban dan penyintas 65.

“Tini dan Yanti, keberangkatanku demi pagi yang mulia. Jangan kecewa, meski penderitaan itu menantang, namun itu mulia. Tidak ada hadiah, hanya cinta akan kebebasan yang akan datang. La historia me abssolvera, La historia me abssolvera.”

Gde Putra menulis puisi “La Historia Me Absolvera” yang dikutip dari perkataan Fidel Castro saat memberikan pidato pembelaan di pengadilan pada tahun 1953. Pemimpin revolusioner Kuba ini diadili karena menyerang Moncada Barack, markas besar tentara pemerintah. Serangan ini menjadi tonggak sejarah revolusi di Kuba.

Puisi berbahasa Indonesia ini memiliki makna bahwa sejarah akan memerdekakan kita semua. Salah satunya adalah jejak sejarah Lagu Penjara. – Rappler.com

BACA JUGA

Result SGP