• September 16, 2024
Kekerasan seksual terhadap anak tersebar luas, mulai dari pernikahan dini hingga prostitusi

Kekerasan seksual terhadap anak tersebar luas, mulai dari pernikahan dini hingga prostitusi

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui permasalahan anak terkait kekerasan seksual dan penelantaran yang sering terjadi di Bogor, Manggarai Timur, dan Medan Belawan.

JAKARTA, Indonesia – Penelitian menemukan praktik kekerasan seksual terhadap anak masih marak terjadi di berbagai tempat di Indonesia.

Penelitian bertajuk “Dari Pernikahan Dini Hingga Prostitusi: Potret Penelantaran dan Kekerasan Seksual Terhadap Anak” ini dirilis pada Kamis (27/11) oleh Yayasan Gugah Nurani Indonesia yang bergerak di bidang perlindungan anak.

Penelitian yang dilakukan pada tahun 2014 ini berlokasi di 3 wilayah yaitu di Desa Ciear (Bogor, Jawa Barat) yang merupakan daerah pedesaan pegunungan, Kecamatan Borong (Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur) yang merupakan daerah pedesaan pesisir, dan Desa Belawan ( Medan Belawan, Sumatera Utara) di kawasan perkotaan pesisir.

Fokus penelitian ini adalah mengkaji permasalahan anak terkait kekerasan seksual dan penelantaran yang sering terjadi di ketiga lokasi tersebut. (BACA: Indonesia darurat kejahatan seks anak)

Peneliti Yayasan Hati Nurani Gugah Indonesia Devi Roswita mengungkapkan penelitian ini menemukan praktik pernikahan anak usia dini di Bogor, kasus pemerkosaan di Borong, dan kasus prostitusi anak di Belawan.

“Pernikahan dini merupakan kekerasan seksual karena mengandung unsur pemaksaan,” ujarnya.

Devi menemukan di Bogor ada praktik pernikahan dini karena paksaan orang tua.

Selain itu, anak-anak di bawah umur ini juga dipaksa oleh orang tuanya untuk menggunakan alat kontrasepsi.

Jadi orang tua sadar anaknya belum siap, tapi mereka menganggap pernikahan pada akhirnya akan menjadi beban orang tua, kata Devi.

Usia anak yang dipaksa menikah adalah antara 13-17 tahun, padahal undang-undang menyebutkan usia minimal menikah adalah 18 tahun.

Jadi setiap hari ada kawin anak, kalaupun belum menikah jadi gunjingan, kata Devi.

Berbeda dengan di Borong yang penelitiannya menemukan kasus pemerkosaan.

“Saya mewawancarai korban kekerasan seksual secara langsung. Jadi kejadian pemerkosaan ini terjadi selama 2 tahun dan dilakukan oleh tetangganya sendiri, kata Devi.

Karena orang tua anak korban pemerkosaan sibuk bekerja di penggilingan padi, anak tersebut ditinggal sendirian di rumah, tambahnya.

“Mereka pikir asal tidak keluar rumah, tidak apa-apa. Lalu lihatlah perut anak itu, semakin membesar. Ketika dia di sekolah menengah, dia hamil. Ini adalah 7 bulan (kehamilannya) sebelum (orang tuanya) menyadarinya. “Anaknya kurang paham karena tidak ada konseling seks,” kata Devi.

Lalu yang terakhir di Belawan, prostitusi anak di bawah umur banyak terjadi di diskotik dan tempat karaoke.

“Anak-anak bekerja sama pela pela karena Belawan merupakan daerah pesisir yang banyak diskotik. “Pekerja tersebut sebagian besar berusia di bawah 18 tahun,” kata Devi.

Pela-pela adalah sebutan untuk diskotik yang ada di kawasan Belawan.

“Anak-anak ini bekerja sebagai pramusaji dan ketika ada tamu datang maka (mereka) harus melayani. Karena itu Pengelola tempat mereka bekerja adalah mucikari. Jadi, Anda harus bersedia melayani. Jika tidak, mereka akan dipecat atau mengalami kekerasan. “Ini pemaksaan,” kata Devi.

Menurutnya, praktik seperti ini sering terjadi karena sikap acuh tak acuh pemerintah dan masyarakat terhadap anak.

“Pemerintah tidak melakukan sosialisasi dan konseling seks di tingkat akar rumput,” kata Devi.

Oleh karena itu, Yayasan Gugah Nurani Indonesia akan membawa hasil penelitian advokasi hak anak ini kepada pemerintah. —Rappler.com

Pengeluaran Sydney