• November 25, 2024

Keluarga aktivis yang hilang itu masih berharap pada Jokowi

JAKARTA, Indonesia – Paian, orang tua Ucok Munandar, aktivis mahasiswa yang hilang pada 1998, mengaku tak bosan-bosannya mendatangi institusi pemerintah untuk meminta kejelasan status putranya. Ia pun masih menaruh harapan pada Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

“Saya pribadi masih percaya sama Pak Jokowi,” kata Ucok kepada Rappler, Senin, 24 Agustus. Ia yakin Jokowi akan tetap menepati janjinya saat kampanye Pilpres.

Salah satu janji Jokowi adalah akan menuntaskan kasus-kasus HAM di masa lalu, mulai dari kasus Talangsari, Wamena-Wasior, penghilangan paksa, penembakan misterius, G30S/PKI, hingga kerusuhan Mei 1998.

“Visi dan misi dalam Nawa Cita sudah jelas,” kata Ucok, bertepatan dengan Hari Orang Hilang Sedunia yang jatuh setiap tanggal 30 Agustus.

Hanya saja, kata Ucok, Jokowi tidak bisa mewujudkannya sendirian. “Perlu persetujuan DPR,” ujarnya.

Namun ia ragu apakah DPR akan memprioritaskan kasus orang hilang di Indonesia karena saat ini ada dua kubu yang berseberangan, yakni pendukung pemerintahan Jokowi, Koalisi Indonesia Raya (KIH), dan Koalisi Merah Putih. (KMP).

Akibatnya, menurut Ucok, pengadilan HAM ad hoc tidak pernah terwujud. Sebelumnya, DPR dan pemerintah Indonesia berencana membentuk pengadilan hak asasi manusia ad hoc atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC).

Ia pun meragukan apakah kasus pelanggaran HAM berat ini akan terselesaikan di bawah pemerintahan Jokowi, mengingat latar belakang Jokowi sebagai warga sipil.

Makanya saya pribadi yakin dia mau, tapi dia tidak punya kekuatan, mungkin dia tidak kuat, kata Ucok.

Klaim pada 4 piring

Lalu upaya apa yang dilakukan Paian untuk mengupayakan status hukum anaknya?

Dalam setahun terakhir, ia mengaku rutin mendatangi 4 lembaga, antara lain Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kementerian Luar Negeri.

Paian berharap dengan datang ke Watimpres hampir setiap tahun, ia bisa mengingatkan presiden akan janji-janjinya saat kampanye. “Wakil presiden dekat dengan presiden. “Beliau bisa memberi nasihat kepada Presiden dan meminta agar kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelumnya bisa diselesaikan,” ujarnya.

Di Komnas HAM, ia berharap lembaga ini bisa mendorong tim penyelesaian kasus penghilangan paksa yang dipimpin Kejaksaan Agung segera bekerja.

Selain Kejaksaan Agung, ada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kepolisian RI.

Menurut dia, lembaga-lembaga tersebut harus mengikuti rekomendasi DPR terkait 13 aktivis yang hilang tersebut.

Rekomendasi tersebut menyatakan agar pemerintah segera membentuk badan ad hoc untuk mencari 13 aktivis yang hilang, merehabilitasi keluarga dan menandatangani ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghilangan Paksa.

Ia lalu mengaku ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah bertemu dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasona Laoly.

“Maksud kedatangannya karena Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia merupakan lembaga yang diminta menyelesaikan masalah ini. “Kemudian kami jelaskan apa yang kami inginkan,” kata Ucok.

19 tahun gantung diri

Peristiwa penghilangan paksa dan penculikan periode 1997-1998 terjadi pada pemilu Presiden Republik Indonesia periode 1998-2003.

Kemudian, pada tanggal 1 Oktober 2005, pemerintah membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat dalam Penghilangan Paksa yang bertugas melakukan investigasi pro-yudisial berdasarkan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Akibatnya, Komnas HAM menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam penghilangan orang secara paksa pada tahun 1997-1998. Kesimpulan laporan investigasi Komnas HAM adalah sebagai berikut:

“Pihak yang diduga melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan akibat kedudukan dan perbuatannya pada tingkat tanggung jawab kendali dan komando terdiri dari 20 (dua puluh) orang TNI dan 2 (dua) orang anggota Polri, yaitu: Jenderal Mayjen TNI Prabowo Subianto merangkap Danjen Kopassus saat itu (Desember 1995 hingga 20 Maret 1998) bertanggung jawab atau setidaknya seharusnya mengetahui terjadinya penghilangan orang secara paksa, setidaknya yang dilakukan oleh tim Mawar.

Keterlibatan pihak-pihak yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, termasuk dalam bentuk pemberian perintah kepada pelaksana operasi yang kemudian membentuk tim Mawar atau paling tidak memfasilitasi penculikan dan penahanan di posko Cijantung yang diketahui dan diizinkan. dilakukan oleh pasukan di bawah kendali efektif. dari orang yang bersangkutan.”

Selanjutnya pada 21 November 2006, Komnas HAM menyerahkan berkas penyidikan ke Kejaksaan Agung dan merekomendasikan agar dilakukan penyidikan.

“Apa status hukum anak saya?”

Meski sudah 19 tahun berjuang mencari anaknya yang hilang, Paian mengaku belum menyerah. Dia ingin status putranya jelas.

“Sampai saat ini anak saya masih ada dalam daftar kartu keluarga. Dan hak-hak sipil mereka tidak jelas. “Apakah dia masih hidup atau sudah mati,” aku Paian.

Pada 2009, ia senang karena DPR merekomendasikan pembentukan tim ad hoc untuk mencari aktivis yang hilang. Namun hingga saat ini belum ada hasil yang menggembirakan.

“Sekarang bola ada di tangan pemerintah. “Pemerintah harus segera bekerja,” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA:

judi bola terpercaya