• September 8, 2024
Kementerian Komunikasi dan Informatika membentuk tim panel untuk mencegah situs-situs yang memuat konten negatif

Kementerian Komunikasi dan Informatika membentuk tim panel untuk mencegah situs-situs yang memuat konten negatif

Tim panel bertugas menilai situs-situs yang mengandung konten negatif seperti pembajakan, pornografi, SARA dan radikalisme.

BANDUNG, Indonesia – Menyusul protes tujuh situs yang diblokir karena dianggap menyebarkan paham radikal, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) membentuk tim panel yang terdiri dari tokoh masyarakat dan pakar di bidangnya pada Rabu 1 April.

Tim yang beranggotakan puluhan orang ini bertugas memberikan penilaian dan rekomendasi terhadap situs-situs yang dinilai mengandung konten negatif, seperti pembajakan musik dan film, pornografi, kekerasan terhadap anak, SARA, terorisme, dan radikalisme. Menurut Rudiantara, pembentukan tim panel juga terkait dengan pembenahan manajemen.

Beberapa anggotanya antara lain Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Arist Merdeka SIrait, tokoh HAM Salahuddin Wahid, Ketua Majelis Ulama Islam (MUI) Din Syamsudin, Ketua Dewan Pers Bagir Manan, dan musisi senior Sam Bimbo. .

Dasar hukum pembentukan tim panel adalah Keputusan Menteri.

(BACA: #RestoreIslamic Media: Protes media Islam memblokir situs-situs ‘radikal’)

“Saya menandatangani keputusan menteri pada panel yang akan melakukan penilaian dan memberikan rekomendasi terhadap pengaduan konten negatif,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di sela kunjungan ke Bandung, Rabu 1 April 2015.

Lebih lanjut Rudiantara mengungkapkan, dirinya secara pribadi menghubungi tokoh masyarakat untuk bergabung dalam tim panel.

Rudiantara menegaskan, tim panel akan bertugas menilai dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah terhadap situs-situs yang mengandung konten negatif. Selanjutnya, pemerintah akan menerapkan blokade.

Teknisnya tetap teknis, tanggung jawab tetap di pemerintah,” ujarnya.

Pemblokiran tersebut, lanjut Rudiantara, akan mengacu pada proses dan prosedur yang ada.

(BACA: Kementerian Komunikasi dan Informatika: Pemblokiran 19 situs radikal tidak bersifat permanen)

Pemblokiran 19 situs Islam yang dianggap menyebarkan paham radikal dipertanyakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam rilis yang diperoleh Rappler, AJI menyatakan prosedur pemblokiran berpotensi menekan kebebasan berekspresi warga negara yang merupakan hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28 UUD 1945.

“Penindasan terhadap hak-hak warga negara dalam negara hukum hanya dapat ditentukan dengan undang-undang atau dengan keputusan pengadilan,” tulis siaran pers AJI.

AJI juga mengatakan, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak disebutkan secara eksplisit mengenai pemblokiran suatu situs. Menurut AJI, UU ITE juga tidak mengatur kewenangan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir suatu situs.

Meski sudah ada peraturan menteri yang mengatur pemblokiran, namun AJI menilai hal tersebut merupakan penyalahgunaan kekuasaan.

(BACA: Mempertanyakan kewenangan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir situs)

Rudiantara menjawab tidak ada pilihan lain.

“Apa saja pilihan untuk pemulihan? pengelolaan?” tanya Rudiantara seraya menegaskan, proses pemblokiran tetap mengacu pada proses dan prosedur yang ada.

Jika ada situs yang dirasa tidak menyebarkan paham radikalisme, kata Rudiantara, masih bisa dibeberkan oleh panel. Proses pemblokiran, kata dia, tetap berdasarkan bukti-bukti yang ada.

“Kemarin ada tujuh (website) yang dirasa tidak mengandung konten radikal, nanti akan kami atasi. Misalnya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) punya buktinya apa, temannya apa, maka akan terlihat ada bukti– miliknya. “Kalau semua dan semua institusi bisa mengklaimnya, akan sulit bagi kami,” canda Rudiantara.

(BACA: Apa yang salah dengan UU ITE?)

Nanti kalau ternyata tidak ada isinya atau tadinya ada, tapi dihilangkan, kita normalkan lagi, tidak ada masalah, ujarnya.

Untuk menghindari kesalahpahaman, Rudiantara mengimbau pengguna internet untuk menggunakan domain tersebut. (dot)id dan bukan .(dot)com. Tujuannya adalah untuk diketahui.

“(dot)com, kami tidak tahu siapa itu. Coba ubah (titik)id. Kita tahu siapa (titik) ID itu. Mari kita saling memandang bersama-sama, katanya. —Rappler.com

sbobet88