• September 22, 2024

Kenangan bulan Ramadhan sebagai umat Nasrani

Bulan Ramadhan akan selalu meninggalkan kesan tersendiri bagi saya. Ya, saya beragama Katolik dan puasa menjelang Idul Fitri mempunyai arti yang dalam bagi saya pribadi. Ini pertama kalinya saya menulis tentang perasaan dan pengalaman yang saya alami setiap bulan Ramadhan.

Dilahirkan dan dibesarkan di keluarga kecil Katolik, saya memiliki banyak kenangan tak terlupakan tentang keluarga besar kakek dan nenek saya, yang sebagian besar beragama Islam. Artikel ini bisa Anda simak sebagai jawaban saya atas ramainya perbincangan di media sosial mengenai boleh tidaknya warung makan saat berpuasa.

Tentu saja, Anda dapat melihat ini sebagai gambaran popularitasnya Pos Website-website radikal yang kerap menyebarkan kebencian dan mencaci-maki agama tertentu padahal tidak sesuai persepsi seseorang.

Tak pernah terpikir olehku untuk menulis seperti itu hingga suatu sore aku melihat nenekku di dapur sedang memegang penggorengan besar. Saat saya cek, ternyata isinya adalah opor ayam yang biasa dimakan bersama ketupat.

Lalu saya bertanya kepadanya: “Kenapa, kamu masak lagi? Bukankah kamu sudah menggoreng tempe dan membuat sambal bawang?” Ia hanya menjawab singkat: “Ini untuk puasa nanti. Saya mau kirim ke keluarga dan tetangga untuk berbuka puasa.”

(BACA: Menag: Hargai yang Tak Puasa, Toko Tak Perlu Tutup)

Sejak kecil saya tinggal dan dibesarkan oleh kakek dan nenek dari pihak ibu yang sudah lama meninggal. Kakek-nenek saya beragama Katolik, atau memutuskan menjadi Katolik ketika mereka berdua masih muda. Mereka berasal dari keluarga Jawa Timur yang kental dengan nuansa Islami. Kata nenek saya, keluarga kakek buyut saya adalah anggota Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat taat.

Saya heran bagaimana keluarga Jawa Timur yang terkenal tangguh bisa memiliki anggota keluarga pemberontak. seorang beragama Kristen Mungkinkah kakek dan nenek saya tidak lagi dianggap sebagai bagian dari keluarga kakek buyut saya? Apakah mereka dicap sebagai kafir oleh sebagian besar saudara mereka dan diusir dari rumah lalu pergi ke luar negeri?

Dulu, sebelum mengenal Gus Dur, saya mengira keluarga kakek buyut saya adalah orang-orang yang mempunyai pemikiran seperti Hafidz Ary atau Felix Siauw yang sikapnya terlalu mudah dipercaya oleh siapapun. Ternyata saya salah.

(BACA: Ibu dan Ramadhan)

Dulu, kakek saya sering mengantar saya pulang menjelang hari raya Idul Fitri. Kebiasaan mudik lebaran menjadi momen paling membahagiakan saat itu. Meski beragama Kristen, Kakek selalu memilih mudik saat Idul Fitri, bukan Natal atau Paskah. Biasanya seluruh anggota keluarga berkumpul di rumah kakek buyut saya di Jawa Timur. Kalau tidak salah nama desanya Tulakan Kabupaten Pacitan.

Kakek tidak pernah menganggap ritual mudik ini sebagai ajang untuk berlibur atau sekadar merayakan Idul Fitri. Oh tidak. Kakek dan nenek tidak cukup kaya untuk menghambur-hamburkan uang hanya karena ingin ikut kemacetan di sepanjang jalur Pantura. Ada kebiasaan yang tidak akan pernah bisa ditinggalkan oleh masyarakat Jawa. Bersikaplah yang baik.

(BACA: Jualan Bulan Ramadhan, Masalah Akhlak)

Dari seluruh keluarga besar kakek dan nenek, hanya keduanya yang memeluk agama Katolik. Saudara-saudari mereka semuanya adalah pengikut Islam yang ramah. Saya tidak pernah merasa dibeda-bedakan atau diperlakukan sebagai orang asing. Jangan pernah merasa terasing dengan perbedaan yang cukup mencolok.

Biasanya kami sampai di Pacitan beberapa hari menjelang Idul Fitri. Selama saya di sana sampai Idul Fitri, saya tidak pernah dilarang makan dan minum. Pakdhe dan Budhe-ku tidak pernah menunjukkan raut wajah gelisah saat melihatku makan dan minum di dapur. Hidup berjalan seperti biasa. Budhe, saya masih memasak nasi di dapur untuk berbuka puasa. Kakek buyutku masih hidup sayang rumput dan domba merumput.

Tidak pernah ada larangan makan dan minum di siang hari. Sebenarnya kakek dan nenek sayalah yang sering mengingatkan saya untuk tidak makan dan minum di luar rumah. Saat Idul Fitri saya diperlakukan seperti seorang Muslim. Sungkemansaling memaafkan, dan makan opor ayam.

Jika tak sedang mudik, rumah kakek dan nenek di Cilegon pun tak kalah ramai saat Lebaran. Bahkan, biasanya lebih sibuk dibandingkan Natal dan Paskah. Seringkali anak-anak kecil datang ke sekitar rumah untuk meminta uang untuk lebaran atau tetangga datang hanya untuk mencicipi sayur ketupat dan kue kering buatan sendiri.

Semua kenangan liburan ini saya alami semasa kecil, dan kini saya menyadari bahwa itu adalah proses mempelajari arti toleransi yang sebenarnya. Perasaan memanusiakan orang lain, tanpa ada kecenderungan menghakimi, tanpa mencari siapa yang benar, siapa yang salah dan siapa yang lebih berhak masuk surga.

Setelah saya cukup dewasa, tinggal di kota besar, saya menjadi tidak begitu polos lagi saat menyadari bahwa orang sering kali hidup dalam kompartementalisasi. Saya kesal melihat banyaknya konflik sosial yang terjadi karena perbedaan agama. Sudah lama rasanya saya tidak merasakan hal yang sama saat merayakan Idul Fitri di Pacitan.

Saya tidak lagi menemukan arti sebenarnya dari kata toleransi yang sering diputarbalikkan oleh banyak orang saat ini. Kita mudah teralihkan oleh hal-hal sepele seperti boleh atau tidaknya warung makan saat puasa, siapa yang harus menghormati siapa. Sama dangkalnya ketika orang meributkan apakah mereka boleh mengucapkan Selamat Natal atau tidak saat bulan Desember mendekat.

Awal bulan Ramadhan tahun ini memiliki arti tersendiri bagi saya sebagai umat Katolik. Kurang lebih saya juga merasa sedang merayakan suasana Idul Fitri. Tentu saja, saya memaknai Ramadhan berbeda dengan saudara-saudara Muslim saya. Saya tidak ikut salat tarawih berjamaah. Saya tidak berpuasa. Saya tidak ikut salat Ied.

Namun saya yakin momen ini adalah kesempatan saya untuk belajar kembali – setidaknya dari keluarga saya – menjadi pribadi yang humanis. Seseorang yang sesungguhnya tidak hidup dalam kotak yang berlabel SARA.

Pada bulan ini saya akan diingatkan kembali tentang bagaimana hidup berdampingan tanpa ada lembaga yang mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak. Tanpa diminta, saya akan menghormati siapa yang pantas saya hormati. Saat Lebaran, saya belajar menjadi orang yang toleran lagi.

“Ah, mungkin aku terlalu merindukan kenangan masa lalu,” kataku dalam hati. Usai menulis, aku menghampiri nenek itu dan mencium pipinya, menyapanya dengan telepon Sayang. Bagaimanapun. Saya hanya ingin melakukannya. —Rappler.com

Kristian Erdianto adalah seorang penulis di Majalah VOICE+. Dia bisa dihubungi di @Kristian_Er.

Artikel ini adalah bagian dari Cerita Ramadhan. Sebelumnya diterbitkan di blog pribadi penulis kristianerdianto.blogspot.com.


judi bola terpercaya