• September 25, 2024

Ketika Forum Davos (bukan) untuk kita

Tahukah Anda Davos?

Kamu tahu. Kalau saya sakit, saya sering membeli obat-obatan produksi Davos.

Ya, itu Dankos, keleus.

Ya, percakapan singkat dan kering ini terjadi ketika saya mencoba mencari tahu acak kepada beberapa teman tentang Davos. Ya, di kota kecil yang terletak di Swiss ini, diadakan World Economic Forum (WEF).

Oh, WEF itu pakai logo Panda ya gan? Ini adalah WWF. WEF ini sangat berbeda.

WEF merupakan Forum Ekonomi Dunia yang membahas berbagai hal strategis terkait perekonomian. Berbagai hal dibahas. Mulai dari ketidakadilan ekonomi, kebijakan sektor keuangan, pangan, energi, dan terakhir, tetapi tidak kalah penting: munculnya risiko-risiko yang berpotensi mengganggu perekonomian global.

Saya mengunduh laporannya Laporan Risiko Global 2015. Hal ini mengandung berbagai risiko global yang mempengaruhi perekonomian global. Resikonya sangat beragam mulai dari negara gagal, perang saudara, perang antar negara, perubahan iklim, krisis pangan, pengangguran, serangan dunia mayadan juga ketimpangan pendapatan.

Menarik jika saya mengutip Kompas edisi 22 Januari karya Andreas Maryoto. Salah satu kategori krisis yang akan dihadapi dunia dalam 10 tahun ke depan adalah krisis air.

Kabar tersebut juga menjelaskan, beberapa waktu lalu krisis air masih berada di peringkat 120. Dengan demikian, posisi risiko-risiko tersebut dapat bergerak dinamis sesuai arahan negara-negara maju. Tidak, menurut penelitian yang dilakukan secara serius.

Memitigasi risiko-risiko tersebut merupakan pekerjaan rumah bagi para pelaku ekonomi dunia. Sehingga roda perekonomian tetap berputar. Setiap orang mendapat penghidupan yang layak. Betapa mulianya.

Saya perbesar cakupan analisis saya (yang jelas analisis saya mirip dengan analisis Cak Lontong – jangan bingung dengan level pengamat ekonomi) dari Davos hingga Indonesia. Mengenai risiko yang dihadapi dalam perekonomian.

Yang pertama adalah risiko makroekonomi. Jumlah terutang yang harus dibayar, defisit fiskal, utang luar negeri swasta, semuanya meningkat dalam dekade terakhir. Membaik? TIDAK! Kejengkelan.

Coba Google sendiri. Jangan malas. Kalau kujelaskan, membosankan juga.

Terakhir, risiko depresiasi nilai tukar akan terus mengancam rupiah. Risiko ini juga diperburuk oleh kondisi global. Perang dingin antar negara maju semakin intensif terlihat dari anjloknya harga minyak, gas, dan komoditas lainnya.

Saya tidak ingin membahas kondisi ini secara detail. Membosankan dan sulit dimengerti serta tidak berdampak banyak pada orang kecil seperti saya.

Setelah ekonomi, lalu politik. Semua permasalahan di Indonesia selalu ada solusinya kecuali permasalahan politik. Jika ada, biasanya bersifat sementara. Tetaplah dinamis. Jika ekonomi itu membosankan, maka politik akan lebih membosankan lagi. Mari kita lewati itu juga.

Berikutnya adalah ekonomi mikro. Denyut nadi perekonomian Indonesia sungguh dahsyat. Tidak tersedia kematiannya. Seperti kucing dengan sembilan nyawa. Seperti bangsa Galia yang sakti karena ramuan ajaib di komik Asterix.

Pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, kondisi perekonomian terpuruk. Kas negara kosong, utang banyak, sektor riil terhenti.

Eh, nggak lama lagi kamu dapat rejeki nomplok. Harga minyak melonjak. Mayoritas APBN bisa dipenuhi dari surplus minyak. Birokrasi berjalan, proyek-proyek strategis berjalan.

Era perminyakan berakhir, Indonesia bangkit dengan kayu lapis, era kayu lapis turun, mineral dan konsumsi masyarakat meningkat. Setelah itu batu bara dan kelapa sawit menjadi jagoannya. Ada hal-hal yang membuat republik berpenduduk lebih dari 240 juta jiwa ini terus maju.

Kekayaan alam yang luar biasa selalu menyelamatkan Indonesia. Meski itu menjadikannya sebuah kutukan juga. Ya, uang yang melimpah karena berkah alam yang begitu besar tiba-tiba menjadi kutukan ketika para penyelenggara pemerintahan berkolaborasi dengan politisi dan birokrat dalam urusan korupsi.

Risiko-risiko yang muncul ketika pendanaan publik muncul tidak pernah dapat diatasi. Biarkan itu berlarut-larut. Mari kita juga menghindari perdebatan mengenai masalah ini.

Apa sebenarnya tujuan saya menghindari pembahasan makro, politik, dan potensi ekonomi bangsa ini?

Saya hanya ingin menekankan bahwa Davos dan pemerintah mempunyai kesamaan. Keduanya berpikir untuk memecahkan masalah tetapi tidak tahu apa solusinya. Dan hasil nyata yang terjadi justru sebaliknya.

Ketika para pemain ekonomi besar berpikir untuk mengurangi kesenjangan ekonomi di Davos beberapa tahun lalu, kekayaan 1 persen orang terkaya di dunia melebihi 99 persen populasi dunia.

Bahkan 80 orang terkaya di dunia memiliki kekayaan lebih dari 3,5 miliar orang atau setengah dari populasi dunia. Ini adalah data yang dirilis Oxfam dan dipublikasikan di salah satu situs favorit saya, Katadata.

Menurut berita di kata datakondisi ketimpangan ini lebih buruk dibandingkan tahun 2010 dan akan terjadi tahun depan, 2016. Apa yang telah dilakukan orang-orang kaya ini di Davos selama bertahun-tahun?

Bagaimana dengan Indonesia? Saya ambil data laporan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Yang dimaksud dengan ‘menabung’ dalam LPS adalah dana masyarakat yang ada di bank. Jangan berpikir sesuatu yang aneh.

Data LPS per November 2014 terdapat 158.287.812 rekening bank. Total dana masyarakat dari seluruh rekening tersebut sebesar Rp 4.127.436 triliun. Terdapat 75.454 pemegang rekening dengan nominal lebih dari Rp5 miliar atau hanya 0,05 persen dari total rekening nasional.

Total simpanan di ‘rekening gemuk’ ini: Rp 1,911 triliun atau 46 persen dari total dana perbankan nasional. Penafian: Saya tidak termasuk dalam grup akun ini.

di mana kita Bisa dipastikan kebanyakan orang seperti kita adalah pemilik rekening yang isi rekeningnya kurang dari Rp 100 juta.

Jumlah rekeningnya sebanyak 154.758.574 atau 97,77 persen. Isi rekening mayoritas pemegang rekening negara ini hanya Rp 592 miliar. Bahkan tidak ada satu triliun rupiah pun.

Mirip dengan kondisi dunia, Indonesia juga sudah berbicara selama bertahun-tahun mempertaruhkan profil negara ini. Pemerintah, politisi, birokrat, konglomerat semuanya berupaya memastikan ketimpangan pendapatan di Indonesia tidak berubah menjadi krisis sosial.

Padahal hasilnya bisa diprediksi dari rasio rekening dan isinya menurut laporan LPS. Hal ini juga terlihat dari koefisien Gini (rasio gini). Merupakan rasio untuk menunjukkan ketimpangan kekayaan antara kelompok kaya dan miskin.

Kini Indonesia berada di level 0,41. Angka ini semakin buruk dalam 10 tahun terakhir. Hampir serupa dengan data dunia yang disimpan Oxfam. Baiklah, mari kita bahas cukup banyak tentang hubungan seperti ini sebelum saya diminta membahas hubungan seperti ini. Karena hubungan seperti itu tidak ada.

Ya, orang-orang akan menuduh saya pesimis, berpikir negatif, atau sesuatu yang lain. Yang terpenting, saya tidak dites positif menggunakan narkoba dan kemudian dites negatif keesokan harinya (#terchristopher).

Namun kondisi yang kita hadapi saat ini adalah seperti ini. Orang-orang kaya di sektor otomotif tentu tidak peduli dengan tiga nyawa yang hilang di jalan setiap jamnya. Mereka tak peduli 70 persen kecelakaan lalu lintas melibatkan sepeda motor.

Dan hampir 20 persen kecelakaan yang melibatkan sepeda motor disebabkan oleh pengendara sepeda motor berusia muda. Apakah negara maju yang memproduksi mobil di Indonesia akan mengurangi produksinya secara drastis? Mustahil.

Bagaimana dengan industri rokok? Coba dicek pengeluaran masyarakat miskin di Indonesia, konsumsi makanan dan rokok sangat tinggi.

Apakah perusahaan rokok terlibat aktif dalam menyelamatkan generasi yang lahir dari masyarakat miskin di Indonesia yang semakin miskin karena rokok yang mereka produksi? Kalau dibilang begitu, dikatakan Anda mendapat uang dari donatur asing, antek rokok putih.

Bagaimana dengan dunia? Uni Lubis pernah membahas hal ini terkait harga minyak yang tiba-tiba anjlok drastis. Saya sangat setuju dengannya (tetap aman kawan).

Selain itu, Eropa dan Amerika juga tidak mau menerima minyak sawit dari Indonesia dengan alasan merusak lingkungan. Padahal produksi kedelai transgenik mereka juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan.

Begitu pula dengan perang perebutan ladang minyak dan gas serta mineral. Korporasi negara kaya sangat aktif masuk, terutama di negara-negara yang sedang mengalami konflik.

Misalnya, Angola, yang produksi minyaknya dikuasai negara-negara maju, rata-rata memiliki populasi masyarakat miskin, namun putri presidennya merupakan wanita terkaya ketiga di Afrika. omong-omong, apa kabar impor minyak Angola ke Indonesia? Hehehe.

Jadi apa yang harus kita lakukan? Ya, itu saja. Saya juga tidak tahu jawabannya. Mungkin para pembaca yang budiman? –Rappler.com

Kokok Herdhianto Dirgantoro adalah mantan jurnalis, mantan pegawai bank, kini menjalankan kantor konsultan di bidang komunikasiyang strategis. Namun, ia sangat tertarik mempelajari masalah ekonomi. Gaya tulisannya lucu, namun penuh analisis. Ikuti Twitter-nya @kokokdirgantoro


link alternatif sbobet