Kisah bidan asma, membantu persalinan menyembuhkan duka
- keren989
- 0
“Ini anak bungsu saya, namanya Istiqomah. Wajahnya bernuansa India. Nikmati berdandan. Kalau kamu naik mobil, duduklah di sebelahku. Dia suka memainkan lagu-lagu India. “Wajahnya mirip wajah saya,” kata bidan Asma sambil menunjuk sebuah foto dalam bingkai berukuran besar, sekitar 80 sentimeter persegi, yang terpampang di salah satu dinding rumahnya, di kawasan Blang Oi, Banda Aceh. .
Ada lima gambar dengan ukuran yang sama di dinding. Foto kelima anaknya. Siska Majaz (20 tahun), Davina Majaz (17 tahun), Ihsan Majaz (14 tahun), Sadiq Majaz (12 tahun), dan Istiqomah Majaz (5,5 tahun). Majaz, merupakan singkatan dari nama Asma dan Marjuki, suami dari bidan Asma. Marjuki pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh.
Hanya Ihsan yang selamat dari bencana tsunami yang menyapu rumah dan klinik bidan asma tersebut 10 tahun lalu. Klinik Bersalin Permata Hati milik Bidan Asma terletak di kawasan Meuraksa, Ulee Lheue. Termasuk wilayah yang terkena dampak parah tsunami setinggi 15 meter pada 26 Desember 2004.
Saat tragedi itu terjadi, bidan Asma dan keluarganya tinggal di belakang klinik. Bangunannya tidak sebesar sekarang. Di sana, bidan asma menangani 30-40 kelahiran bayi setiap bulannya. “Setiap bayi yang lahir dengan selamat membawa kepuasan batin. Saya senang. “Saya ingat, Teteh, saya sering membantu memandikan bayi di klinik,” kata bidan Asma. Suaranya bergetar.
“Setiap bayi yang lahir dengan selamat membawa kepuasan batin. Saya senang. Aku ingat, Teteh, sering membantu memandikan bayi di klinik.”
Bidan Asma
Teteh, begitulah panggilan sayang untuk putri sulung bidan Asma, Siska. Mahasiswa Fakultas Kedokteran ini rupanya mengikuti jejak ibu dan ayahnya yang ingin terjun di bidang kesehatan hingga menjadi seorang dokter.
Nasib Allah SWT tidak bisa ditolak. Bencana gempa dan tsunami membuat Siska dan ketiga adiknya yang saat itu berada di rumah, kembali ke pangkuannya. Ihsan, satu-satunya anak yang masih hidup dari bidan Asma, bersekolah di sebuah pesantren di Jakarta.
Kepergian Siska dan ketiga adiknya bukan sekadar perasaan kehilangan buah hati. “Teteh dan anak kedua saya Davina sudah seperti sahabat. Mereka membantu saya menjaga adik-adiknya,” ujarnya.
“Kelima anak saya tidak pernah mengalami kesulitan. Mereka membuat hatiku sejuk. Bahkan yang terkecil pun bisa mencuci kaus kaki dan celana dalamnya sendiri. Mereka adalah anak-anak yang baik. “Allah SWT memanggil mereka terlalu cepat,” kata bidan Asma.
Klinik Permata Hati yang terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda saat ini sedang dibangun menjadi lebih besar. Bidan, suami, orang tua dan keluarga Asma tinggal di rumah besar di belakang klinik.
Saat saya dan teman-teman Forum Jurnalis Perempuan Aceh berkunjung ke sana pada November lalu, rumah itu terlihat sepi. Dari ruang tamu yang besar samar-samar terdengar suara gelak tawa anak-anak kecil dari ruang makan.
Bidan Asma tak tega melihat foto anak-anaknya yang sudah lama tiada. Di usianya yang kesepuluh, pada Agustus lalu, ia memberanikan diri mencetak foto-foto tersebut, membingkainya, dan menggantungnya di dinding rumahnya.
“Saat Anda melihat wajah mereka yang kini sudah hilang, terkadang Anda tidak percaya. Namun ayah saya selalu meminta saya untuk membaca doa, ayat Al Quran yang artinya, akan tiba saatnya orang tua tidak bisa membantu.
anak laki-lakinya Anak-anak tidak dapat membantu orang tuanya. “Laki-laki tidak bisa menolong istrinya,” kata bidan Asma.
Bidan Asma mendapat informasi adanya tsunami dari pesawat
Saat itu tak pernah datang dalam kehidupan bidan Asma. Ia selamat karena saat tsunami terjadi ia masih berada di Medan. Pada hari Sabtu tanggal 25 Desember 2004, Hari Natal, bidan Asma tiba di Medan setelah mengantar orang tuanya ke Penang, Malaysia untuk berobat. Suaminya pergi ke Jakarta.
Pada Minggu pagi, 26 Desember 2004, ia berencana terbang ke Banda Aceh. pulang ke rumah Pada Minggu pagi, dia dan tamu hotel merasakan gempa tersebut. Sempat berlari keluar. Namun kami tidak dapat menemukan informasi apapun tentang tsunami tersebut.
Bidan Asma berangkat ke bandara lalu terbang dengan pesawat Garuda Indonesia. Pesawat terbang selama satu jam tetapi tidak pernah mendarat. Pilot mengumumkan bahwa dia harus kembali ke Medan karena suatu alasan.
Di dalam pesawat penumpang terdengar bisik-bisik kabar telah terjadi tsunami di Banda Aceh. “Saya pikir, rumah saya dekat pantai, apakah bisa terkena dampaknya juga?”
Komunikasi terputus. Bidan Asma gagal menghubungi anak-anaknya. Terakhir kali ia berhubungan dengan anak sulungnya adalah pada Sabtu saat tiba di Medan. “Saya bilang ke Teteh, tolong jemput saya di bandara, bawa mobil
yang besar. Soalnya Umi bawa belanjaan banyak. “Cinderamata,” kata bidan Asma. Putrinya menjawab, “Siap Bos.” Inilah julukan sayang dan akrab yang diberikan anak-anak kepada ibunya.
Bidan Asma sudah membayangkan dirinya mengandung anak kembar bersama putrinya. “Kami sudah membuat janji. Itu sebabnya saya membeli pakaian, bahkan pakaian dalam kembar. Sesuai pesan Teteh dan Davina, ujarnya.
Sehingga, saat akhirnya mendarat di Banda Aceh pada Senin sore, 27 Desember, ia kaget karena yang menjemputnya adalah kakak laki-lakinya. “Saya tidak mau naik mobil kakak saya. Saya sudah janjian dengan Teteh untuk dijemput mobil X-Trail. Mengapa mereka tidak datang?”
Bidan Asma teringat teriakannya, hampir pingsan, saat diberitahu keempat anaknya belum ditemukan. Klinik dan rumahnya tersapu tsunami. Butuh waktu enam bulan untuk membersihkan lumpur setinggi dua meter yang mengelilingi klinik dan rumahnya.
“Akan tiba saatnya orang tua tidak dapat membantu anak-anaknya. Anak-anak tidak dapat membantu orang tuanya. Laki-laki tidak bisa membantu istrinya.”
Berdoa, mengikuti pelatihan dari lembaga swadaya masyarakat asing dan arisan dengan tetangga yang senasib adalah agenda sehari-hari para bidan asma.
Setelah sembuh, pada bulan Juni 2005, ia membuka kliniknya kembali. Rawat pasien, bantu kelahiran. Sembuhkan kesedihan karena kehilangan anak tercinta. Ihsan, putranya, kini belajar perhotelan di Swiss.
“Yang menguatkan saya adalah keyakinan bahwa Allah SWT punya rencana terbaik untuk kita. Saya akui, saya sering merasa tidak percaya. Masih belum menerima kekalahannya. Saya minta maaf kepada Allah. Saya berkomunikasi dengan Allah melalui doa. “Bimbingan dari orang tua dan tengku,” ujarnya.
Klinik Kebidanan Asma, Tanda Kasih Sayang Terhadap Anak
Kini Klinik Permata Hati miliknya semakin berkembang. Selain sebagai rumah sakit bersalin, Bidan Asma memberikan pelayanan kepada pasien diabetes. “Semakin banyak pasien diabetes yang meninggal. Jadi saya terpanggil untuk membuka klinik dan juga memberikan pendidikan kesehatan.”
Dia bekerja dengan dokter ahli. Empat tahun lalu, ia juga memulai layanan unit kesehatan sekolah di sekolah dasar di kota Banda Aceh.
“Setelah tsunami, banyak anak yang kondisi kesehatannya buruk. “Jadi, saya coba menghubungi kenalan di Korea Selatan untuk membuka layanan UKS,” kata bidan Asma. Kerjasama layanan UKS berjalan lancar, sejak tiga tahun lalu.
Ribuan bayi telah lahir dengan bantuannya sejak saat itu
ia menjadi bidan pada tahun 1984. Banyak yang diberi nama sesuai namanya, Asma.
Pada tahun pertama, bidan penderita asma dan timnya melayani 10 sekolah dasar dan mengajarkan anak-anak cara hidup sehat. Mandi teratur, cuci tangan dan gosok gigi. Berikan asupan vitamin, obat cacing. Sasaran layanan adalah siswa kelas 1-3 sekolah dasar.
Pada tahun kedua ada 10 sekolah lagi. Saat ini sudah ada 30 sekolah yang menjadi mitra layanan. Korea Selatan merasa kerja sama harus dilanjutkan hingga tiga tahun ke depan. Wilayah pelayanan meliputi Aceh Besar.
Sekarang, 10 tahun setelah tsunami. Aceh telah berubah. Banyak perbaikan infrastruktur. Dengan baik. “Tetapi masih ada warga yang kondisinya lebih buruk. “Perlu perhatian khusus,” kata bidan Asma.
Saat bercerita tentang aktivitas sehari-hari, ia terlihat antusias. Ribuan bayi telah lahir berkat bantuannya sejak ia menjadi bidan pada tahun 1984. Banyak yang diberi nama menurut namanya, Asma.
“Tujuh tahun lalu saya membantu melahirkan anak kembar tiga. Ayahnya adalah korban tsunami. Mereka menamai bayi tertua dengan nama saya. Anak-anak sekarang sudah dewasa. “Semoga tetap sehat,” ucap bidan Asma sambil tersenyum.– Rappler.com
Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, melaporkan peringatan satu dekade tsunami Aceh. Ia mewawancarai 10 perempuan Indonesia yang berperan penting dalam rekonstruksi dan rehabilitasi bencana alam yang merenggut ratusan ribu nyawa. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.