Kisah Duka Pengungsi Rohingya Myanmar di Makassar
- keren989
- 0
Namanya Kabir Ahmad. Pria kelahiran Myanmar, 1 Januari 1971 ini terpisah dari keluarganya karena konflik etnis Rohingya. Menurut Kabir, etnis Rohingya tidak bisa berkembang di Myanmar karena perselisihan agama.
Di tanah kelahirannya, Kabir bekerja sebagai petani dan juga memelihara ikan di kolam. Kini ia mengungsi di Makassar, Sulawesi Selatan, sejak meninggalkan tanah air 25 tahun lalu.
Sekitar pertengahan tahun 2012, terjadi serangkaian konflik antara umat Buddha dan Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Hingga saat ini, ribuan warga Rohingya telah tewas dalam perseteruan berdarah ini.
Menurut laporan PBB, kelompok etnis Rohingya kelompok minoritas yang paling teraniaya di dunia saat ini. Pemerintah Myanmar tidak secara resmi mengakui keberadaan etnis Rohingya, sehingga mereka tidak mendapat perlakuan yang sama seperti kelompok etnis resmi Myanmar lainnya.
Tapi mata Kabir melihat ke depan. Dia melupakan masa lalunya yang kelam. Dia bercerita tentang kejadian tidak menyenangkan yang menimpa dirinya dan keluarganya.
Suatu hari seorang tentara datang untuk membeli ikan dari Kabir. Pasukan ini tiba untuk ketiga kalinya. Pada kunjungan pertama dan kedua, prajurit tersebut tetap membayar saat mengambil ikan.
Namun pada kunjungan ketiga, tentara tersebut ingin mengambil secara paksa tanpa membayar ikan Kabir. Kabir melawan. “Saya memukul kepala dan wajahnya,” katanya sambil menunjuk bagian atas kepalanya. Sejak itu Kabir membawa istri dan 3 anaknya dan melarikan diri dari desanya.
Tercatat berapa negara tujuan Kabir melarikan diri. Dia tinggal di Bangladesh selama 5 tahun, sebelum pindah ke India selama satu tahun, dan Thailand selama 2 tahun.
Beliau melanjutkan retretnya di Malaysia selama 15 tahun, sebelum menetap di Indonesia selama 2 tahun 9 bulan.
Kabir singgah di beberapa kota di Indonesia, seperti Sukabumi, Bandar Lampung, Pekanbaru, Medan, Tanjung Pinang, dan terakhir Makassar.
Di kota selain Makassar, ia mengaku menghabiskan hari-harinya di penjara. Nanti di Makassar saya bebas sekali, ujarnya.
Yang dimaksud Kabir dengan kebebasan adalah tinggal di wisma dan bisa beraktivitas. Selama 8 bulan di Makassar, Kabir tinggal di sebuah wisma di kawasan Kumala, Makassar. Guest house ini disediakan oleh Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani pengungsi juga membantu para pengungsi dengan uang bulanan sebesar Rp1.250.000 per bulan.
Kabir mengumpulkan uang tersebut untuk dikirimkan kepada keluarganya yang ditinggalkannya di daerah Messop, daerah pedalaman dekat perbatasan Thailand. Untuk membayar makanan, dia bekerja serabutan membantu tetangga di sekitar wisma melakukan apa pun yang mereka bisa.
“Saya bisa memperbaiki pintu, lemari, bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan memasak,” ujarnya.
Hal ini diamini oleh Hatib, tetangga Kabir di Makassar. “Pak Kabir serba bisa, dia bisa memperbaiki apa pun. Dia juga dengan cepat bersahabat dengan penduduk setempat. “Dia tidak malu menawarkan diri ketika melihat tetangganya sedang memperbaiki atau membangun sesuatu,” kata Hatib.
Ketika saya mengunjungi wisma tempat tinggalnya, Kabir sedang memasak kari ikan. “Di Myanmar namanya Shaloon,” katanya sambil menuangkan air ke dalam panci.
Ikan yang dimasaknya hari itu ia beli di pasar tradisional tak jauh dari wisma. Begitu pula dengan kebutuhan sehari-harinya, seperti beras dan pakaian, ia membeli dengan uang hasil kerja serabutan.
“Uang PBB itu haram, saya tidak mau memasukkannya ke dalam perut saya,” ujar pria yang pernah bekerja di salah satu bengkel tersebut. Saat itu, pemilik bengkel belum mengetahui status Kabir sebagai pengungsi sehingga ingin mempekerjakannya.
“Ketika dia mengetahui saya adalah seorang pengungsi, dia memecat saya. “Mungkin dia tidak ingin mendapat masalah dengan pemerintah,” kata Kabir yang juga bekerja sebagai chef di sebuah restoran di Malaysia.
Nasib yang membuatnya berpindah-pindah tempat membuatnya menguasai hampir seluruh bahasa lokal daerah tempat ia tinggal sebagai pengungsi. Selain bahasa Indonesia, ia mengaku bisa berbahasa Bangladesh, India, Thailand, dan Malaysia. “Belajar bahasa Indonesia tidak sulit karena hampir sama dengan bahasa Malaysia,” ujarnya.
Mata Kabir membelalak ketika saya bertanya tentang kemungkinan dia kembali ke Myanmar. “Tidak mungkin, umat Buddha itu akan membunuhku. Mereka membunuh 3 juta Muslim Rohingya. “Mereka tidak ingin melihat umat Islam berkembang,” katanya.
Terpisah sekian lama dari keluarganya membuatnya rindu. Saat ini, dia hanya ingin berkumpul kembali dengan keluarganya.
Kabir berharap, jika memungkinkan, keluarganya bisa pergi ke Makassar karena tidak mungkin kembali ke Myanmar.
Dia juga punya keinginan lain. “Kalau bisa, saya ingin buka restoran,” ucapnya sambil tertawa saat kami selesai makan siang dengan menu gulai ikan dan nasi yang baru saja dimasaknya. —Rappler.com
Mansyur Rahim adalah seorang penulis dan blogger di Makassar. Ikuti Twitter-nya @lelakibugis