Kolom Agama di KTP, Pentingkah?
- keren989
- 0
Jakarta, Indonesia – “Oh, KTP Islam lihat!”
Ungkapan ini sering diucapkan oleh orang-orang yang dalam leluconnya merujuk pada orang lain yang menganut Islam tetapi tidak mengamalkan apa yang diwajibkan oleh agama tersebut. Para “KTP Islam” sepertinya mengamini bahwa agama yang tertera di kartu identitas tidak mewakili sesuatu yang substansial tentang kepribadian seseorang.
Belakangan ini, tekanan masyarakat untuk mengosongkan kolom agama di KTP semakin kuat. Ada yang mendukung, tentu ada juga yang menolak.
Kontroversi pencantuman agama di KTP awalnya muncul sejak disahkannya Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Aminduk) pada November tahun lalu. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia wajib memilih dan menyatakan agama yang diakui oleh pemerintah.
Seperti diketahui, enam agama yang diakui pemerintah Indonesia adalah Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Hal ini dipandang sebagai bentuk diskriminasi terhadap penganut agama dan/atau kepercayaan di luar enam agama yang diakui di atas.
Dalam Pasal 65 Ayat 5 UU Aminduk disebutkan bahwa “bagi penduduk yang agamanya tidak diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi yang beriman tidak diisi, tetapi tetap disajikan dan dicatat dalam basis data populasi.”
Penolakan kolom agama di KTP diungkapkan aktivis kebebasan beragama yang tergabung dalam Setara Institute. Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naispospos mengungkapkan keterkejutannya mengapa kolom agama masih dipertahankan di KTP.
Kolom agama di KTP muncul pada tahun 1967. Sejak kemerdekaan hingga tahun 1967, tidak ada kolom agama di KTP, kata Bonar usai bertemu Menag di kantornya, Selasa (10/11), seperti dilansir Antara. Liputan6.com.
“Tapi setelah ada kebijakan Orde Baru, harus ada kolom agama. “Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap orang beragama dan untuk menindas komunis pada saat itu,” tambahnya.
Ia mengungkapkan, pencantuman kolom agama saat ini tidak relevan dan bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan.
Kembalikan pilihan kepada individu
Menteri Agama Lukman Saifuddin sebelumnya menegaskan, Jumat (7/11), agar kolom agama di KTP tetap dipertahankan.
Identitas keagamaan yang dianut oleh setiap warga negara Indonesia merupakan hal yang penting, karena bagaimanapun agama merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari realitas kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan pemerintahan, kata Lukman.
Permasalahannya saat ini, menurut Lukman, adalah bagaimana pemerintah mengakomodir warga yang menganut keyakinan agama di luar enam agama yang diakui.
“Sedang disiapkan Kementerian Agama melalui penyusunan RUU Perlindungan Umat Beragama,” jelas politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
Ia menegaskan, Kementerian Agama tidak akan menghapus kolom agama, namun mengembalikan kewenangan masing-masing individu untuk mengisi kolom tersebut.
“Dari Kementerian Agama, kolom agama masih dipertahankan. “Cara pengisiannya tergantung warga,” ujarnya.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Senin (10/11), mengatakan, kolom agama di KTP diperlukan untuk pengelolaan administrasi negara.
Namun pihaknya memperbolehkan kolom agama dikosongkan bagi warga negara yang keyakinannya tidak diakomodasi oleh negara atau tidak diatur sesuai UUD 1945.
“Saya mendapat laporan warga di daerah itu menolak membuat KTP karena harus menyatakan Islam, Katolik, Kristen, Budha, Hindu, atau Konghucu,” kata Tjahjo.
“Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak mempunyai apa-apa dalam arti mukmin? Bagaimana mereka bisa mendapatkan KTP jika mereka tidak bisa menuliskan keyakinannya?” dia melanjutkan.
Salah satu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Hasyim Muzadi meminta pemerintah tidak menghapus kolom agama di KTP karena khawatir akan terjadi protes besar-besaran dari masyarakat.
“Negara tidak boleh menghapus agama dari KTP, karena rentan. Nanti banyak masalah, kata Hasyim, Senin (10/11), seperti diberitakan Detik.com.
Ia menawarkan solusi agar warga diberikan izin untuk tidak menyebutkan keyakinan atau keyakinannya saat mengajukan permohonan resmi.
“Jika ada masyarakat yang tidak mau menggunakan kolom agama, biarlah secara resmi meminta agar agamanya tidak dicantumkan. “Jangan menjadi negara yang menghilangkan identitas agama,” imbuhnya.
Diskriminasi minoritas
Lembaga Kajian Sosial dan Keagamaan (eLSA) Semarang menyebut pencantuman kolom agama di KTP telah menimbulkan permasalahan di masyarakat, terutama yang dirasakan oleh kelompok agama minoritas.
“Banyak permasalahan yang terjadi dalam kehidupan beragama di masyarakat justru karena identitas agama,” ujarnya Direktur eLSA, Ted Kholiludin.
Menurut Tedi, eLSA menemukan beberapa permasalahan terkait pendidikan, pencatatan perkawinan, pembuatan akta kelahiran, pembuatan tempat ibadah dan pemakaman. Dengan adanya identitas agama di KTP, lanjut Tedi, seringkali hak-hak warga negara terabaikan.
Sementara itu, menurut Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, sebaiknya kolom agama dihilangkan dari kartu identitas. Ia berpendapat, yang harus tertulis di KTP hanyalah nama, alamat, dan nomor asuransi kesehatan.
“Jangan berdebat soal agama,” kata Haris Tempo.co. “Jadi, kita perlu membicarakan fungsi kartu.” —Rappler.com