• October 18, 2024
Komnas HAM menemukan sejumlah pelanggaran HAM dalam kasus Salim Kancil

Komnas HAM menemukan sejumlah pelanggaran HAM dalam kasus Salim Kancil

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Komnas HAM Nur Kholis menemukan adanya pelanggaran terhadap hak untuk hidup, hak untuk tidak mendapat perlakuan kejam, hak untuk tidak ditangkap secara sewenang-wenang, hak atas rasa aman dan hak anak.

LUMAJANG, Indonesia – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Senin, 5 Oktober menemukan sejumlah pelanggaran HAM berat terhadap korban penganiayaan yang dilakukan Salim alias Kancil dan Tosan di Desa Selok Awar-Awar, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Saat melakukan pengusutan kasus pembunuhan petani dan aktivis pertambangan Salim Kancil oleh kelompok pro pertambangan di pesisir selatan Desa Selok Awar-Awar, Ketua Komnas HAM Nur Kholis mengatakan, ditemukan beberapa pelanggaran terhadap hak hidup. hak untuk tidak diperlakukan secara kejam, hak untuk tidak ditangkap secara sewenang-wenang, hak atas keamanan, dan hak anak.

“Jadi Salim Kancil dan Tosan ingin hidup sebagai petani, namun adanya penambangan pasir ilegal mengganggu penghidupan mereka,” kata Nur Kholis.

Sebelumnya, Salim tewas setelah disiksa dan dibunuh oleh puluhan orang yang diduga mantan tim pendukung Kepala Desa Haryono pada Sabtu, 26 September 2015. Salim ditangkap di rumahnya sebelum disiksa di halaman Balai Desa yang bersebelahan dengan Balai Desa. Awal adalah. Gedung sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). dan TK.

Geng tersebut diketahui bernama Tim 12. Haryono sendiri dan 38 orang lainnya telah ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan dan penambangan liar.

Rekan Salim, Tosan, juga menjadi korban dan masih menjalani perawatan di rumah sakit.

Menurut Nur Kholis, Salim dan Tosan mendapat ancaman usai melakukan aksi damai terhadap kelompok pro pertambangan. Lalu ada janji dari polisi untuk melindungi mereka.

Namun ancaman semakin meluas terhadap kedua korban dan rekannya, yang puncaknya terjadi pada peristiwa 26 September 2015, sebelum aksi unjuk rasa digelar, ujarnya.

Terjadi pelanggaran hak untuk tidak mendapat perlakuan kejam terhadap Salim dan Tosan karena keduanya menjadi sasaran aksi kekerasan Tim 12.

Hak untuk tidak ditangkap atau dilanggar secara sewenang-wenang karena ditangkap oleh sekelompok orang yang bukan berada di bawah kewenangannya.

“Jadi dia ditangkap bukan oleh penegak hukum, tapi oleh kelompok masyarakat atas perintah pimpinan pemerintah kota. Ya, kepala desalah yang harus melindunginya, kata Nur Kholis.

Sementara itu, Nur Kholis mengatakan, hak atas rasa aman tidak dimiliki oleh Salim dan Tosan serta petani lainnya karena sering mendapat intimidasi atau ancaman, baik fisik maupun non fisik.

“Sampai saat ini, kelompok warga yang menentang pertambangan masih mengkhawatirkan rasa amannya. Begitu pula masyarakat sekitar, kata Nur Kholis.

Yang paling menyedihkan, katanya, adalah pelanggaran hak-hak anak. Putra Salim, Dio Eka Saputra (13 tahun), menyaksikan penculikan dan kekerasan terhadap ayahnya yang dilakukan Tim 12. Hal ini dikhawatirkan berdampak pada kesehatan psikis dan mentalnya.

“Saya turut prihatin dengan anak sekecil dia yang harus mengalami sesuatu yang tidak pantas untuk dilihat dan disaksikan, apalagi jika hal itu menimpa mendiang ayahnya,” kata Nur Kholis.

Komnas HAM juga meminta Bupati Lumajang segera mendamaikan warga yang pro penambangan liar dan yang menolak.

Selain itu, Pemerintah Kabupaten Lumajang juga merekomendasikan untuk melakukan sosialisasi dampak negatif penambangan liar, karena tidak jelasnya kepemilikan lokasi penambangan.

“Pada dasarnya rekomendasi ini harus ditindaklanjuti, agar permasalahan di Selok Awar-awar kondusif dan tenang,” ujarnya. —Rappler.com

BACA JUGA:

slot demo