• September 21, 2024

Konferensi Asia-Afrika bukanlah konferensi kemanusiaan

Apakah Konferensi Asia Afrika masih relevan? Tidak relevan jika warga peserta masih belum sejahtera. Setidaknya begitulah pendapat blogger ini.

Ketika dunia terpecah menjadi kubu komunis dan non-komunis, Indonesia mengambil sikap berani: Indonesia tidak akan memihak Amerika Serikat atau Uni Soviet.

Saat itu, Indonesia sedang berada di tengah dua kepentingan besar Perang Dingin, dan lebih dari itu, rasa ketidakmurnian terhadap kolonialisme yang baru saja mereka tinggalkan.

Kini setelah kelompok sayap kanan dan kiri menyatu menjadi satu narasi besar mengenai globalisasi, apakah KTT Asia-Afrika masih relevan? Terlebih lagi, apakah penting diadakan kembali?

Terlalu banyak alasan untuk menentang KAA, serta terlalu banyak pembelaan yang diberikan pemerintah. Namun perayaan ini akan sia-sia jika tidak menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan setiap warga negara peserta konferensi. Akan menjadi relatif dan sia-sia, ketika kita berbicara tentang kedaulatan dan lain sebagainya, jika kesejahteraan warganya jauh dari kata cukup.

Tapi tunggu dulu, Indonesia adalah negara yang bahagia. Setidaknya demikian menurut Badan Pusat Statistik (BPS). BPS menilai masyarakat Indonesia sangat bahagia. Pernyataan tersebut berdasarkan hasil Indeks Kebahagiaan Indonesia tahun 2013 yang dikeluarkan BPS dengan skala kebahagiaan masyarakat sebesar 65,11 poin. Entahlah angka itu, tapi sekali lagi angka itu tidak ada artinya jika kebahagiaan hanya diukur dengan angka rupiah.

Tapi pertama-tama lupakan kebahagiaan. Ada yang perlu kita pahami bersama mengapa Konferensi Asia Afrika itu penting. Pertemuan tingkat tinggi ini merupakan upaya untuk menunjukkan pamor yang masih dimiliki Indonesia dan patut diperhitungkan oleh negara-negara Asia dan Afrika.

Mengapa ini penting? Sehingga beberapa waktu lalu seorang warga negara Indonesia (WNI) bernama Siti Zainab, seorang pekerja migran, dieksekusi di Madinah. Eksekusi Zainab dilakukan secara tertutup, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada keluarganya atau pemerintah Indonesia.

Dalam etika kenegaraan, jika warga negara asing dieksekusi, maka negara asal narapidana harus diberitahukan. Lalu mengapa Indonesia tidak diberitahu mengenai eksekusi Zainab? Mungkin Arab Saudi menganggap Indonesia sebagai teman dalam menjalankan hukuman mati.

Seperti kita ketahui, Indonesia masih menerima hukuman mati. Mungkin Arab Saudi tidak perlu diberitahu. “Oh, sama saja dengan negara pembunuh ini, kenapa kamu membicarakannya?”

Meninggalnya Siti Zainab bukanlah yang pertama dan terakhir. Beberapa hari setelah Siti Zaenab dieksekusi, pemerintah Arab Saudi kembali mengeksekusi warga Indonesia lainnya, Karni binti Medi Tarsim, seorang TKI asal Brebes, Jawa Tengah.

Ini luar biasa. Indonesia dan Arab Saudi sepertinya ingin menemui jalan buntu. Seperti diketahui, menurut Jaksa Agung HM Prasetyo, Indonesia masih memiliki cadangan 60 orang yang akan dijatuhi hukuman mati.

Kasus Zainab mendapat perhatian publik ketika Wahyu Susilo, salah satu aktivis Migrant Care, menginformasikan melalui akun media sosialnya bahwa Siti Zainab telah dieksekusi tanpa pemberitahuan di Arab Saudi. Siti Zainab dikabarkan terpaksa membunuh majikan perempuannya karena membela diri dari penganiayaan yang diterimanya saat memasuki tahun kedua bekerja di rumah majikannya. Siti Zainab menyampaikan cerita penyiksaan tersebut kepada keluarganya melalui surat.

“Mengapa Indonesia tidak diberitahu mengenai eksekusi Zainab? “Mungkin Arab Saudi menganggap Indonesia sebagai teman dalam melaksanakan hukuman mati.”

Dari petisi Change.org yang dibuat oleh Migrant Care dan putri almarhum, Ruyati, yang dieksekusi tertutup oleh pemerintah Arab Saudi, diketahui pada 7 Maret 1998, Siti Zainab mendatangi PT Banyu Ajisakti melalui PT Saudi Arab pergi. Siti Zainab bekerja sebagai pembantu rumah tangga di majikan Abdullah Muhsin Al-Ahmadi.

Ia dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Medina pada 8 Januari 2001 atas tuduhan membunuh majikan perempuannya, Nauroh Bt Abdullah. Siti Zainab ditahan di Penjara Umum Madinah selama hampir 16 tahun, terhitung 5 Oktober 1999 hingga 13 April 2015.

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, Siti Zainab berhasil menunda pelaksanaan lobi Gus Dur dengan Raja Arab hingga ahli waris majikannya mencapai pubertas, atau mencapai usia dewasa.

Saat ini setidaknya terdapat 290 pekerja migran yang menghadapi hukuman mati di Malaysia, Arab Saudi, Singapura, Tiongkok dan Qatar, 59 di antaranya telah menerima hukuman mati permanen.

Wah, kok Gus Dur bisa lobi? Padahal Gus Dur saat itu tidak mengadakan konferensi Asia Afrika? Apa kesaktian Gus Dur? Mungkinkah karena Gus Dur lebih menarik dibandingkan Wali Kota Bandung?

Gus Dur adalah seorang presiden yang membenarkan, alih-alih menjalankan kebijakan yang keras, ia malah menjalankan diplomasi damai. Tentu saja diplomasi ini dibarengi dengan kebijakan yang tepat, dan tidak hanya menyerukan penangguhan hukuman mati, namun pemerintah Indonesia sendiri masih menerapkan kebijakan brutal tersebut.

Menurut Direktur Migrant Care, Anis Hidayah, yang turut serta dalam pembuatan petisi tersebut, persoalan hukuman mati yang dihadapi ratusan pekerja migran Indonesia di luar negeri memang menjadi tantangan serius bagi pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Permasalahan ini harusnya menjadi salah satu prioritas pemerintah. Isu keselamatan pekerja migran di luar negeri harus menjadi salah satu strategi hubungan internasional dan perburuhan. Penguatan diplomasi untuk melindungi pekerja migran Indonesia melalui diplomasi tingkat tinggi (diplomasi tingkat tinggi) dipimpin langsung oleh Presiden Jokowi.

Kematian Siti Zainab pun menarik perhatian Amnesty International yang menilai eksekusinya dilakukan secara tidak adil. Amnesty International mengatakan setidaknya 778 eksekusi dilakukan di seluruh dunia pada tahun 2013. Angka ini lebih tinggi dibandingkan 682 eksekusi yang dilakukan pada tahun 2012.

Pada Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia yang diperingati pada 10 Oktober 2014, Amnesty International merilis beberapa data terkait protes terhadap hukuman mati. Setidaknya ada tiga negara yang dinilai melanggar kode etik dan pelanggaran HAM berat dengan menerapkan hukuman mati terhadap orang yang menurut mereka tidak pantas dihukum.

Sayangnya, pembahasan hukuman mati kali ini tidak menjadi isu utama dalam Konferensi Asia Afrika. Faktanya, konferensi ini akan dihadiri oleh 400 CEO dari seluruh Asia dan Afrika. Ini merupakan indikasi bahwa konferensi ini kurang lebih sama toko tender bisnis perusahaan, bukan konferensi negara. Saya sendiri masih menunggu apakah masalah seperti Boko Haram, hukuman mati, dan masalah kemanusiaan lainnya akan dibahas. —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.


akun demo slot