• September 20, 2024

Korban tragedi 1965 menunggu pengakuan negara

SOLO, Indonesia – Bronto terkulai lemas di kursi panjang di teras rumahnya. Badannya terlihat kurus dan tangannya yang mulai keriput selalu gemetar akibat gangguan saraf.

“Maaf, aku tidak bisa duduk lama, aku mengobrol “Berbaring saja,” kata lelaki tua itu dan memulai percakapan dengan Rappler.

Selama sebulan dia terbaring sakit. Namun, belum ada bantuan pelayanan kesehatan dari negara untuk korban pelanggaran HAM tahun 1965 yang sebagian besar adalah lansia. Meski beberapa waktu lalu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sempat ingin memberikan bantuan kesehatan melalui jaminan kesehatan nasional, namun program tersebut belum terlaksana.

Lima puluh tahun lalu, Bronto merupakan sosok gagah dengan seragam dinasnya sebagai anggota Brigade Infanteri VI Surakarta. Hanya karena mendukung Presiden Sukarno, ia ditangkap dalam operasi pembersihan komunis, dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), dipenjara tanpa diadili, dan sebagai mantan tahanan politik (tapol) ditahan

Ia merupakan salah satu dari sekian banyak prajurit yang menjadi tawanan karena mendukung kebijakan Orde Lama atau dianggap dekat dan setia kepada Sukarno. Mereka dengan mudah dicap sebagai pengkhianat tanpa bukti hukum.

Akibatnya banyak orang tak bersalah yang ditangkap, disiksa, dan dicap sebagai PKI, kata Bronto.

Bronto menceritakan kesaksian beberapa anggota TNI AU di Pangkalan Udara Panasan (sekarang Adisoemarmo) yang akhirnya ditangkap karena menolak melakukan operasi pembersihan yang dilakukan Soeharto dan orang-orang penting yang menjadi sasaran operasi di markas tersembunyi mereka. . Keamanan sasaran khusus tersebut tersembunyi dalam kode “batik halus” yang artinya orang penting yang perlu diselamatkan.

Bronto masih aktif di masa tuanya sebagai Ketua Persatuan Korban Orde Baru (Pakorba) Solo, sebuah organisasi yang menampung korban pelanggaran HAM pada tahun 1965-1966. Melalui organisasi ini mereka berjuang membuktikan kebenaran sejarah, antara lain dengan meneliti peristiwa tahun 1965.

Bronto merekomendasikan agar majelis nasional korban di Yogyakarta, November mendatang, mengulangi desakan rekonsiliasi. Sebab, banyak korban yang meninggal, sedangkan sisanya semakin tua dan jumlahnya sedikit.

Harapannya sederhana, yakni pengakuan negara dan pengungkapan kebenaran, meski ia sadar proses itu tidak akan mudah meski Orde Baru tumbang hampir dua dekade lalu. Ia memahami siapa pun yang berkuasa, tekanan untuk mengabaikan rekonsiliasi akan selalu ada.

Beban sejarah

Tidak ada rasa dendam di benak para korban, mereka hanya ingin mati tanpa beban sejarah dan dicap sebagai pengkhianat bangsa sendiri. Hingga saat ini, stigma masih melekat pada keluarga beserta anak cucunya yang mewarisi “dosa” masa lalu yang tidak dilakukannya.

“Saya perkirakan korban dan saksi sejarah peristiwa 1965 akan hilang dalam dua tahun. “Rekonsiliasi sangat dibutuhkan, setidaknya ada pengakuan negara atas pelanggaran HAM.”

“Kami merindukan orang-orang seperti Gus Dur yang memanusiakan para korban,” kata Bronto mengenang mantan Presiden Abdurrahman Wahid, kiai NU progresif yang peduli pada isu kemanusiaan dan pertama kali membuka jalan rekonsiliasi.

“Kami ingin mengoreksi sejarah. Jika kita mati, generasi mendatang bisa membaca sejarah sebenarnya.”

Di tempat lain, Martono, seorang pekerja teknik mesin dan elektro yang menjadi korban peristiwa 1965, ingin terus memperjuangkan rekonsiliasi meski menurutnya hampir tidak ada kemajuan berarti selama setengah abad.

Kakek yang berusia di atas 80 tahun ini menjadi korban salah penangkapan dan ditahan selama lima tahun. Pada tahun 2008, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyelidikinya dan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai korban.

Martono menginginkan rekonsiliasi yang adil dan memberikan kompensasi kepada korban pelanggaran HAM, khususnya korban salah tangkap. Sebab, sebagian besar korban telah kehilangan pekerjaan dan penghidupan yang layak sejak menjadi narapidana.

“Orang-orang seperti saya (yang ditangkap secara tidak sah) seharusnya mempunyai hak untuk menuntut kompensasi,” katanya.

Nama-nama mereka masuk daftar hitam yang tidak memperbolehkan anak cucunya bekerja di sektor publik, seperti PNS dan pegawai BUMN. Status eks tapol juga menjadi kendala bagi mereka untuk memulai usaha dan bergaul dengan masyarakat umum.

Sementara korban lainnya, Sutriman, mantan petugas pekerjaan umum yang ditangkap dan ditahan selama tiga tahun, menginginkan rekonsiliasi mengacu pada pengungkapan kebenaran dan pengakuan negara. Selain itu, negara harus memastikan kejadian serupa tidak terulang kembali.

Sayangnya, rekonsiliasi bukannya tanpa hambatan. Berbagai organisasi masyarakat (ormas) menganggap korban pelanggaran HAM berat pada peristiwa 1965 identik dengan komunis. Alih-alih rekonsiliasi, yang muncul justru respons reaktif terhadap kabar permintaan maaf Presiden Joko Widodo kepada para korban.

Di Kota Solo, banyak spanduk bertebaran di jalan yang menolak rencana meminta maaf kepada PKI – korban pelanggaran HAM selalu disamakan dengan PKI. Selain itu, bermunculan pamflet dan buletin propaganda yang membuat takut masyarakat dengan maraknya “momok” komunisme.

Kelompok radikal ini sangat sensitif terhadap segala persoalan yang melibatkan kata kunci “korban 1965”. Misalnya, mereka menghadiri seminar pelayanan kesehatan bagi korban 1965 di Taman Budaya Jawa Tengah pada Februari lalu dan memaksa panitia membatalkan acara tersebut karena menurut mereka seminar tersebut berbau komunisme dan dianggap sebagai upaya untuk menghidupkan kembali masyarakat. partai terlarang di Indonesia.

Sikap ormas ini kontras dengan beberapa tokoh NU di Solo yang meniru Gus Dur dengan membuka pintu rekonsiliasi demi alasan kemanusiaan dan integritas bangsa.

“Tidak ada salahnya negara meminta maaf kepada korban pelanggaran HAM berat, itu justru membuktikan kita bangsa yang berhati besar,” kata Zaenal Abidin, Ketua NU Kabupaten Serengan.

Zaenal menegaskan, dalam agama apa pun tidak boleh menyimpan dendam dan kebencian terhadap orang lain, apalagi menularkannya kepada anak cucu. Karena itulah dia sebenarnya mendesak negara untuk segera memulai rekonsiliasi, karena sudah terlalu lama bangsa ini terpecah belah karena stigma dan kebencian terhadap masyarakat.

“Jika tidak ada rekonsiliasi, saya yakin bangsa ini akan terus terikat oleh beban sejarah masa lalu,” kata Zaenal.

Tiga syarat untuk rekonsiliasi

Lembaga Pelayanan Hukum (LPH) YAPHI Solo yang tergabung dalam Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) berupaya agar UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC) segera dibahas DPR, setidaknya pada tahun 2016.

“Kunci rekonsiliasi nasional ada pada UU KKR sebagai payung hukumnya,” kata Heri Hendro, anggota tim advokasi HAM LPH YAPHI untuk 65 korban.

Dijelaskannya, rekonsiliasi yang digagas CPPCC tidak hanya sebatas persoalan permintaan maaf saja, namun setidaknya mencakup tiga hal penting, yakni pengakuan negara atas pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 65 tahun tersebut, rehabilitasi dan pemulihan hak-hak masyarakat. korban, serta pemberian kompensasi yang besarnya tergantung kondisi keuangan negara. Setelah itu, harus ada jaminan dari negara bahwa tragedi kemanusiaan serupa tidak akan terulang kembali.

Menurut Heri, tidak boleh ada impunitas atau impunitas dalam setiap pelanggaran HAM berat. Namun khusus kasus 65, perdamaian tidak bisa dibarengi dengan proses peradilan di pengadilan.

“Karena perkaranya sudah terlalu lama, pelaku di tingkat komando sudah meninggal dunia dan tidak mungkin dibawa ke pengadilan. Pelakunya adalah manusia, dan kami tidak bisa menuntut institusi, kata Heri.

Menurut Heri, sebenarnya ada kemajuan dalam upaya rekonsiliasi, meski UU KKR No. 27/2004 dibatalkan pada tahun 2006 oleh Mahkamah Konstitusi. Setidaknya ada niat pemerintah untuk membuka jalan bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM.

Sementara itu, Koordinator Sekretariat Gabungan ke-65 Winarso mengatakan, para korban memerlukan kepastian hukum agar bisa lepas dari belenggu masa lalu, baik meninggal sebagai korban tragedi kemanusiaan maupun mantan pemberontak.

Namun pemerintah saat ini dinilai enggan memulai proses sedini mungkin dengan mengakui peristiwa 65 sebagai kasus pelanggaran HAM berat.

Presiden tidak harus meminta maaf kepada PKI atas nama negara, tapi kepada para korban penculikan, penghilangan paksa, dan penyiksaan, kata Winarso. — Rappler.com

BACA JUGA:

rtp live