• September 16, 2024

Koruptor Indonesia: Sarjana Produk Penjara

Sedikitnya 23 narapidana korupsi mengikuti Program Magister di Lapas Sukamiskin, Bandung.

Enak sekali koruptor tinggal di Indonesia. Hukuman dari pengadilan pada umumnya ringan dan seringkali mendapatkan pengurangan hukuman atau pengampunan, jika beruntung mereka mendapatkan fasilitas pembebasan bersyarat menjelang akhir masa hukuman penjara. Tak berhenti sampai disitu, para koruptor di Indonesia rupanya masih bisa mengejar gelar akademik magister dengan mengikuti program dari dalam penjara. (BACA: 2014, Tahun Koruptor Divonis Ringan)

Belum lama ini, masyarakat dihebohkan dengan pemberitaan mengenai penyediaan fasilitas pendidikan di lapas. Sedikitnya 23 narapidana korupsi mengikuti Program Magister di Lapas Sukamiskin, Bandung. Meski mendapat pendidikan merupakan hak seluruh warga negara, namun mereka tetap menjalani hukuman. Bisakah ‘siswa’ mendapatkan gelar dari penjara?

Memang dalam UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan, narapidana berhak mendapat pendidikan. Namun pendidikan yang dimaksud adalah pemberian pendidikan dan bimbingan yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila, meliputi penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan spiritual dan kesempatan melaksanakan ibadah.

Dari aturan tersebut terlihat jelas bahwa pendidikan yang bisa diterima oleh narapidana tidak bersifat formal, seperti program magister yang saat ini diikuti oleh sejumlah narapidana di Lapas Sukamiskin.

Hambatan teknis

Mendapatkan gelar master tidak semudah mendapatkan ijazah SD, SMP, atau SMA. Ada sejumlah proses yang tidak bisa dilakukan begitu saja dari belakang meja. Saya membayangkannya seperti ketika saya masih kuliah. Harus “bolak-balik” ke perpustakaan. Anda harus bolak-balik melakukan wawancara. Harus keluar masuk instansi untuk melengkapi lampirannya.

Belum lagi, tata cara memperoleh gelar harus sesuai dengan kurikulum. Rasanya hampir mustahil menyelesaikan program magister di balik jeruji besi.

Ibarat melakukan penelitian, peneliti akan membutuhkan akses terhadap informasi yang luas. Misalnya memperoleh sejumlah literatur, melakukan wawancara dan melakukan studi lapangan. Tidak boleh dilupakan, yang terpenting, para koruptor membutuhkan teknologi seperti laptop dan akses internet.

Lalu muncul pertanyaan baru: Apakah penggunaan laptop dan internet diperbolehkan di penjara? Jangankan membawa laptop, dilarang membawa pakaian lebih dari 6 pasang.

Lebih lengkapnya dapat dibaca dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 6/2013. Ada larangan ketat terhadap penggunaan laptop. Tepatnya pada pasal 4. Bunyinya seperti ini, “Nahanan atau tahanan dilarang memiliki, membawa dan/atau menggunakan alat-alat elektronik, seperti laptop atau komputer, kamera, alat perekam, telepon genggam, pager, dan alat-alat elektronik lainnya. seperti.”

Koruptor tidak boleh dimanjakan

Masih ingatkah Anda dengan koruptor veteran Gayus Tambunan? Dalam statusnya sebagai tahanan pengadilan, ia pernah tertangkap kamera sedang menonton turnamen tenis Commonwealth Bank Tournament of Champions di Nusa Dua, Bali. Seru? Alami. Bagi koruptor, penjara bukanlah hal yang menakutkan, selama mereka masih mempunyai kekuatan uang.

Bayangkan saja, Rutan Brimob yang dijaga ketat petugas masih bisa dilewati Gayus. Saya membayangkan, jika program S2 dilanjutkan maka kesenjangannya akan semakin terbuka. Kebutuhan untuk mencari literatur, wawancara dan hal-hal lain yang saya bahas sebelumnya bisa menjadi peluang baru bagi narapidana untuk keluar masuk sel.

Di sisi lain, pemberian kemudahan penyelesaian program magister justru terkesan melanggar rasa keadilan. Pelaku kejahatan luar biasa sepertinya mendapat perlakuan istimewa dari negara. Jika terpidana kasus pencurian dan pencurian masih memiliki keterbatasan akses terhadap pendidikan dasar, maka pelarangan menyelenggarakan program magister bagi terpidana korupsi adalah suatu keharusan.

Perlu diingat bahwa tindakan korupsi juga dikenal sebagai Kejahatan kerah putihyaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang terpelajar dan mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat. Apakah para penjahat terpelajar ini masih perlu diajari lebih banyak? Oh, AyoPermasalahan mereka bukan kurangnya pendidikan namun perilaku serakah dan rusaknya mentalitas.

KELUAR

Perkembangan terakhir pemberitaan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang baru, Yasona Laoly, melarang sementara program magister yang sudah berjalan. Namun apakah cukup dengan melarangnya lewat pemberitaan saja?

Jika Menkum HAM serius, segera batalkan perjanjian tersebut dan keluarkan surat edaran yang melarang pelaksanaan program Magister bagi narapidana, agar fenomena yang terjadi di Lapas Sukamiskin tidak terulang kembali, dan perguruan tinggi dapat menghentikan komersialisasi pendidikan bagi narapidana. di Indonesia. —Rappler.com

Tama S. Langkun adalah Koordinator Departemen Investigasi dan Publikasi Indonesia Corruption Watch (ICW). Ikuti Twitter-nya @TamaSlangkun


Singapore Prize