• September 20, 2024

Kota ramah anak, kota untuk semua orang

Pada suatu kesempatan saya cukup beruntung bisa menghadiri makan malam bersama Enrique Penalosa. Penalosa merupakan mantan walikota Bogota, Kolombia, yang dalam masa pemerintahannya hanya 3 tahun cukup berhasil mentransformasi kotanya.

Dulunya Bogota dikenal sebagai kota yang berbahaya, namun kini menjadi kota yang nyaman untuk ditinggali. Beberapa keberhasilannya mencakup sistem angkutan cepat bus TransMilenio, pembangunan jalur sepeda sepanjang 300 kilometer yang menghubungkan daerah miskin dengan pusat kota, serta penerapan hari bebas mobil di seluruh kota.

Saat itu, kata Penalosa, jika seorang wali kota ingin kotanya nyaman untuk ditinggali, maka ia perlu melihat kota itu dari sudut pandang anak-anak, orang lanjut usia, dan pengguna kursi roda. Misalnya, apa yang dilihat oleh seorang anak yang tingginya hanya 1,2 meter, seberapa cepat atau lambat orang lanjut usia berjalan, dan betapa mudahnya kursi roda berpindah antar gedung.

Banyak kebijakan yang diterapkan Penalosa berfokus pada kesejahteraan anak. Menurutnya, arah pembangunan kota bukan untuk kepentingan bisnis dan mobil, melainkan untuk kepentingan anak-anak.

Untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak, ia mengurangi akses terhadap kendaraan bermotor, misalnya dengan berinvestasi pada pembangunan trotoar, taman, jalur sepeda, dan perpustakaan. Bagi Penalosa, penting untuk menciptakan kota dimana semua anak bisa merasa bahagia.

Kebijakan Penalosa lainnya terkait anak adalah pembangunan ratusan taman kanak-kanak dan tempat penitipan anak di bawah 5 tahun, serta memastikan mekanisme pembiayaan. Ia juga membangun 50 sekolah baru dan meningkatkan kualitas perpustakaan dan teknologi informasi di sekolah. Dalam waktu 4 tahun terjadi lonjakan jumlah sekolah sebesar 34%.

Trotoar yang baik merupakan bukti kerja demokrasi, kata Penalosa. Begitu pula dengan Jane Jacobs, seorang urbanis yang karyanya mempengaruhi pemikiran para arsitek dan perencana kota di seluruh dunia, yang manifestonya adalah bahwa trotoar yang baik adalah trotoar yang “sibuk” dengan lalu lalang orang.

Kegiatan ini mempunyai nilai positif yaitu memberikan rasa aman. Dan rasa aman ini berbeda dengan rasa aman palsu yang diberikan oleh CCTV dan kehadiran polisi. Menurut Jacobs, trotoar aktif merupakan tempat bertemunya berbagai macam orang, sekaligus mengenalkan anak pada kehidupan sosial.

Kota-kota di Indonesia seperti Jakarta dan Bandung berlomba-lomba menambah taman yang diusung oleh kepala daerah masing-masing sebagai taman yang ramah anak. Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama berambisi membangun 56 ruang publik terpadu ramah anak, dan setidaknya 4 ruang ini telah disucikan. Namun sayang, perhatian warga Jakarta terhadap trotoar sangat minim. Hanya perkerasan jalan protokol yang mendapat perhatian dan peningkatan kualitas.

Meski akan ada 56 taman baru yang tersebar di seluruh Jakarta, taman-taman tersebut tidak ada artinya tanpa trotoar. Anak-anak tidak mempunyai sayap untuk terbang, sehingga begitu ia meninggalkan pintu halaman rumahnya, ia harus berjalan menuju taman. Anak-anak terpaksa berjalan kaki dari rumah menuju taman melalui jalan beraspal, menyatu dengan sepeda motor dan mobil.

Trotoar tidak hanya berperan penting sebagai penghubung anak dari rumah ke dunia lain, trotoar dapat menjadi sekolah informal pertama bagi anak. Di trotoar, anak-anak belajar berjalan dan berperilaku di ruang publik. Anak yang lebih besar bertanggung jawab untuk melindungi anak yang lebih kecil, terutama saat menyeberang jalan. Sejak dini, anak-anak diajarkan bagaimana menjadi warga negara.

Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mencanangkan program di tingkat nasional sejak tahun 2008. Kota Ramah Anak. Salah satu program Kota Layak Anak adalah memastikan trotoar dan jalan menuju sekolah dalam kondisi baik.

Trotoar dan jalan yang tidak ramah lingkungan di kota-kota di Indonesia semakin meningkatkan ketergantungan terhadap kendaraan bermotor. Ujung-ujungnya ibarat lingkaran setan, anak-anak dan keluarga yang ingin jalan-jalan terisolasi dan tanpa jaminan keselamatan. (BACA: Tuna Netra di Bali: Jangan Hilangkan Hak Kami Menikmati Trotoar)

Bukan hanya infrastruktur dan fasilitas umum saja yang harus diperhatikan demi kepentingan anak, namun bagaimana kehidupan sehari-hari di kota tersebut. Istilah populer lainnya dari Jane Jacobs adalah Mata tertuju ke jalanyang sayangnya sering disalahartikan sebagai observasi (pengawasan).

Yang dimaksud Jane Jacobs adalah rasa saling peduli yang timbul dari interaksi harmonis antar tetangga. Perasaan ini pula yang membuat para orang tua merasa aman membiarkan anaknya bermain dan berjalan-jalan di trotoar, karena mereka tahu ada tetangga yang ngobrol nyaman di pinggir trotoar, atau menikmati sore hari di teras.

Tentu saja syarat minimal untuk mencapai keadaan tersebut adalah ketersediaan fasilitas umum. Prasyarat lainnya adalah memastikan bahwa kabupaten tersebut merupakan kabupaten campuran (penggunaan campuran), terdiri dari residensial dan komersial yang dapat mengaktifkan berbagai aktivitas siang dan malam.

Sebagai orang tua bekerja yang tinggal di lingkungan perumahan, permasalahan yang saya hadapi merupakan permasalahan klasik yang dihadapi oleh banyak orang tua bekerja lainnya, yaitu siapakah yang dapat membantu menjaga anak saya? Ada pepatah klasik yang berbunyi: “Dibutuhkan sebuah desa untuk membesarkan seorang anak”, dan lambat laun saya semakin setuju dengan pepatah itu.

Saya beruntung memilikinya sistem pendukung bulat. Ada keluarga yang ingin mengasuh anak saya yang berumur 4 tahun, ada sepupu yang mengajaknya bermain, ada ibu paruh baya yang ingin membantu merawatnya pagi dan sore, disana adalah ibu-ibu di sekitar rumah yang ingin berbicara dengannya sambil bermain-main dari rumah ke rumah.

Anak saya sedang bertumbuh dan mengenal serta berhubungan dengan berbagai macam orang dari latar belakang yang berbeda-beda. Sore harinya bersama sepupu-sepupunya bisa dihabiskan di taman, meski ia harus berkendara untuk sampai ke taman karena trotoar yang tersedia tidak mencukupi.

Namun, tidak semua keluarga muda seberuntung keluarga saya, tidak semua orang sistem pendukung memadai. Tidak semua orang mampu mengasuh anak, atau tidak semua orang tua mampu membayar gaji babysitter terpercaya.

Salah jika menempatkan kelangsungan hidup seorang anak hanya pada orangtuanya. Negara-negara harus memastikan bahwa mereka menyediakan infrastruktur publik yang menjamin keselamatan dan kesehatan anak-anak, yang menjamin interaksi antar manusia. Sehingga negara, lembaga, dan seluruh masyarakat mempunyai tanggung jawab masing-masing untuk menjamin masa depan generasi penerus. —Rappler.com

Elisa Sutanudjaja adalah Eisenhower Fellow, editor Jakarta Facts, dan salah satu pendiri rujak.org. Dia juga aktivis sosial, reporter data terbuka dan warga Jakarta. Ikuti Twitter-nya @elisa_jkt


slot online pragmatic