KPU didesak mencabut surat edaran pemegang jabatan
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Surat ini dianggap menciptakan politik dinasti.
JAKARTA, Indonesia – Sejumlah organisasi masyarakat mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencabut surat edaran KPU yang mengatur tentang pengertian pemegang jabatan, atau petahana, kaitannya dengan pemilihan umum kepala daerah (pilkada).
Dalam Surat Edaran (SE) KPU No. 302/KPU/VI/2015 disebutkan beberapa poin yang dapat mendiskualifikasi seorang kepala daerah untuk menduduki jabatan.
“Terbitnya surat edaran ini berpeluang besar untuk memberantas praktik dinasti politik dalam penyelenggaraan pilkada,” kata Donal Fariz, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) yang tergabung dalam koalisi pengawal pilkada langsung.
Sebab, UU Pilkada mengatur bahwa seorang kepala daerah tidak boleh mempunyai konflik kepentingan dengan petahana untuk mencegah terjadinya dinasti politik dan nepotisme.
Dalam surat tersebut, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, atau wakil walikota tidak termasuk dalam pengertian petahana apabila masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran.
“Jika melihat tahapan pilkada yang dilakukan KPU, pendaftaran pasangan calon kepala daerah akan dilakukan pada 26-28 Juli 2015. Artinya, kepala daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum 26 Juli 2015 tidak bisa dihubungi. Asalkan tidak ada konflik kepentingan dengan petahana,” kata Donald.
(BACA: KPU siapkan sistem data pemilih untuk Pilkada Serentak)
Menurut dia, ada 22 daerah yang dipastikan terbebas dari keharusan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Selain itu, apabila seorang kepala daerah mengundurkan diri sebelum masa pendaftaran (26 Juli 2015), maka ia tidak termasuk dalam pengertian petahana.
“Poin ini jelas sangat berbahaya. “Kalau kita asumsikan secara sederhana, kepala daerah penyelenggara Pilkada Desember 2015 bisa mengundurkan diri sebelum tanggal 26 Juli 2015, untuk menghindari keharusan keluarganya tidak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana,” kata Donal.
Menurut dia, ada empat kepala daerah yang mengajukan pengunduran diri dengan ketentuan tersebut.
“Mereka antara lain Wali Kota Pekalongan, Bupati Ogan Ilir, Bupati Kutai Timur, dan Wakil Wali Kota Sibolga. Meski ketentuannya mengharuskan pengunduran diri harus mendapat persetujuan pejabat yang berwenang, namun semangat pengaturan untuk menghindari dinasti politik di daerah nyaris kasar, kata Donal.
(BACA: Mengapa Pilkada Serentak Harus Ditunda)
Oleh karena itu, KPU disarankan untuk mencabut SE tersebut sambil menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengujian konstitusionalitas Pasal 7 r, UU No. 8/2015 yang salah satu syaratnya, calon kepala daerah tidak boleh mempunyai kepentingan dengan petahana.
“Kami lebih mendorong KPU untuk tidak terburu-buru menafsirkan definisi petahana. Lalu bagaimana definisi petahana bisa diperjelas dalam undang-undang? Bisa jadi Mahkamah Konstitusi memberikan definisi lebih lanjut. “Kami juga mengakui bahwa ketentuan dalam Pasal 7 masih belum jelas,” kata peneliti Luludem, Fadli Ramadanhil, yang juga anggota koalisi. —Rappler.com