• September 22, 2024

Kritik daur ulang melalui pertunjukan indah Kala Benoa

Kala Benoa mengetahui bahwa video dokumenter perlawanan masih bisa dihadirkan melalui gambar-gambar yang menarik.

DENPASAR, Indonesia — Film dokumenter Kala Benoa memberikan inspirasi bahwa kritik tidak harus disampaikan secara kasar. Penyajian keindahan laut biru dan tenang di Teluk Benoa dalam film tersebut menyampaikan pesan kepada para pendukung reklamasi teluk untuk tidak merusak keindahan alam tersebut.

Film ini dibuat oleh videografer dan fotografer, Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Parta, di Bali, Lombok, dan Pulau Bungin. Sejak diunggah ke YouTube pekan lalu, film dokumenter tersebut telah ditonton hampir 20.000 kali. Ini adalah salah satu karya mereka Inspirasi perlawanan warga Samin terhadap industri semen.

Saat Benoa bersuara yang tidak bisa didengar

Dandhy dan Ucok bercerita tentang penolakan rencana reklamasi di Teluk Benoa, dan sebenarnya mengawali film Kala Benoa dengan cerita Pulau Bungin, sebuah pulau sekitar 300 km sebelah timur Bali. Pulau kecil di NTB ini merupakan salah satu pulau terpadat di dunia. Dengan luas hanya 12 hektar, jumlah penduduk di pulau ini mencapai 3.120 jiwa.

Selama 200 tahun suku Bajo yang tinggal di Pulau Bungin memenuhi pulau yang tadinya hanya seluas 3 hektar menjadi 12 hektar seperti sekarang.

“Tidak ada investor real estate yang sabar seperti masyarakat Bajo. Apalagi jika ingin mereklamasi 700 hektar dengan pasir 23 juta meter kubik.” Kalimat pembukanya menghubungkan Pulau Bungin dengan lokasi utama film Kala Benoa, Teluk Benoa.

dari sana, Warna Benoa mulai menyuarakan suara-suara akar rumput yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Dandhy dan Ucok mewawancarai Nyoman, seorang nelayan paruh waktu yang masih mencari ikan di Teluk Benoa.

Ada pula Ketut Karya, Ketut Linggih, dan Made Raram. Mereka semua adalah masyarakat awam yang tak pernah bersuara di media soal kontroversi reklamasi Teluk Benoa.

“Teman-temanku semua tidak setuju. Satu desa tidak setuju. Alasannya? Jika aku menggalinya, aku bisa mati sebagai nelayan. “Di mana saya menaruh sampan saya bersama teman-teman,” kata Karya, salah seorang nelayan yang diwawancarai saat sedang membersihkan sampannya.

Raram yang juga seorang nelayan menolak karena khawatir akan terlantar sebagai warga sekitar setelah Teluk Benoa direklamasi. “Pulau Serang dulu seperti itu. “Saat warga dikubur, langsung diusir,” kata Raram. Ia mencontohkan kisah warga Pulau Serangan yang terusir dari tanahnya sendiri saat pulau tersebut mulai direklamasi pada tahun 1994.

Dari Teluk Benoa, Kala Benoa pun angkat bicara mengenai penolakan warga Lombok Timur. Pantai di sisi timur Lombok ini akan dikeruk untuk membangun pulau baru di Teluk Benoa, Bali.

“Orang-orang yang membangunnya memasak pantai kami yang hancur. Kalau bisa diperbaiki, tidak apa-apa. “Jangan dikeruk,” kata Muhammad Tohri, seorang nelayan di Labuhan Haji, Lombok Timur.

Jangan terjebak dalam pertandingan

Warga menolak keras rencana daur ulang yang dilakukan PT PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI). Perusahaan milik bos Artha Graha Tomy Winata ini akan melakukan reklamasi hingga 700 hektare di kawasan teluk seluas 1.300 hektare. Berbagai kelompok masyarakat telah menolak rencana daur ulang tersebut sejak tahun 2013.

Namun, film ini tak hanya mengungkapkan perlawanan, tapi juga memberi ruang bagi para pebisnis. Hendi Lukman, Direktur Utama PT TWBI, beberapa kali dikutip dalam video ini.

“Kita tidak mungkin menghancurkan ibu pertiwi dan bangsa ini dengan apapun. Percayalah,” kata Hendi Lukman pada Maret lalu saat Konsultasi Publik PT TWBI mengenai rencana daur ulang.

“Percayalah, saya tidak akan menghancurkan budaya Bali pak. Karena di situlah keunikan Bali. “Bodoh sekali kalau kita musnahkan,” lanjut Hendi.

Ekowisata adalah jawabannya

Dandhy dan Ucok, yang tidak mendukung wisata mahal dengan rencana reklamasi teluk, menawarkan wisata alternatif yang disebut ekowisata. Hal ini bukan hal baru, namun sudah dilakukan oleh Village Ecotourism Network (JED), sebuah usaha pariwisata yang dimiliki dan dijalankan oleh warga lima desa di Bali.

JED membuka ekowisata melalui Tenganan Pegeringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem. Tenganan merupakan desa Bali Aga atau Bali Kuno yang kepemilikan tanahnya masih bersifat komunal. Tidak ada kepemilikan pribadi. Lahan seluas 917 hektare di desa ini tidak bisa dijual karena merupakan milik bersama.

Setiap tahun 46.000 wisatawan mengunjungi desa ini. Namun pendapatan utama kota ini tetap berasal dari pertanian dan perkebunan. Warga tidak buta dengan gemerlapnya pariwisata yang terjadi di Bali saat ini.

“Pariwisata hanyalah bonus dari apa yang kami lakukan. “JED mengenalkan kami pada potensi lokal yang dimiliki,” kata Putu Wiadnyana, ketua koperasi JED.

Kala Benoa mengetahui bahwa video dokumenter perlawanan masih bisa dihadirkan melalui gambar-gambar yang menarik.— Rappler.com

Anton Muhajir adalah seorang jurnalis dan blogger di Bali. Kunjungi blognya di anton.nawalapatra.com dan ikuti Twitter-nya @antonemus.


daftar sbobet