Laga Antikorupsi Ahok Vs DPRD DKI Jakarta (1)
- keren989
- 0
UPS. Catu daya tidak terputus. Sebuah kata yang menjadi buah bibir dalam tiga hari terakhir, beredar di pemberitaan media dan perbincangan di media sosial. UPS, sebuah perangkat penyedia tenaga listrik yang tidak pernah terputus, menarik perhatian karena diumumkan kepada publik melalui media oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.
Ahok membeberkan data penelusurannya, ada 49 sekolah di wilayah Jakarta yang menerima UPS yang dibeli dengan anggaran “hantu”. Nilainya kurang lebih Rp330 miliar dan masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2014.
(BACA: Ahok Laporkan Dugaan Korupsi APBD Tahun 2015 ke KPK)
Anggaran “Diam-diam”? Dilihat dari pernyataan Ahok di media, anggaran tersebut dimaksudkan bukan berasal dari usulan otoritas eksekutif, dalam hal ini kepala daerah. Istilah ini digunakan Ahok untuk menyebut anggaran sebesar Rp12,1 triliun dalam APBD tahun 2015. Menurut Ahok, anggaran tersebut muncul dari sisi legislatif, yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta yang dipantaunya melalui anggaran elektronik.
Ujung-ujungnya mereka (anggota DPRD) nekat, nekat membuat (program) dan mengetik programnya sendiri, lalu ketahuan (rencana beli) UPS dan lain-lain hingga Rp 12,1 triliun, kata Ahok. seperti yang dimuat di media.
Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Arie Budiman mengatakan, pihaknya tidak pernah mengusulkan pembelian UPS untuk APBD 2015.
Ahok dipuji karena menemukan dana tersembunyi sebesar Rp 12,1 triliun yang menurutnya lebih baik digunakan untuk rehabilitasi sekolah. Tahapan penyusunan APBD 2015 antara tim eksekutif di bawah kepemimpinan Ahok dan DPRD dapat dibaca di sini.
Lika-liku tersebut antara lain penolakan APBD 2015 yang disampaikan Ahok ke Kementerian Dalam Negeri. Menurut DPRD, APBD 2015 yang disampaikan Ahok tidak sesuai dengan yang disepakati dalam rapat paripurna DPRD DKI.
Padahal, menurut undang-undang dan peraturan pemerintah, apa yang disampaikan ke Kementerian Dalam Negeri haruslah yang disepakati dalam rapat paripurna, dan ditandatangani oleh kedua belah pihak, DPRD dan Gubernur selaku pimpinan eksekutif di daerah. tingkat.
“Pelaksana anggaran adalah otoritas eksekutif. Apabila otoritas eksekutif menemukan suatu anggaran tidak sesuai dengan prioritas yang ditetapkan dalam KUA-PPAS, otoritas eksekutif dapat meminta pergeseran atau perubahan alokasi anggaran melalui mekanisme pembahasan APBD Perubahan. Hal ini normal dan bisa dilakukan. “Kuncinya ada pada kewenangan eksekutif,” kata Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng, melalui telepon, Minggu malam, 1 Maret.
KUA atau Kebijakan Umum Anggaran dan PPAS yaitu Platform Penggunaan Anggaran Sementara, memuat rancangan prioritas program untuk tahun berikutnya, dan akan menjadi acuan dalam penyusunan RAPBD.
“Jika otoritas eksekutif menemukan bahwa anggaran tidak sesuai dengan prioritas, otoritas eksekutif dapat meminta pergeseran atau perubahan dalam alokasi anggaran.”
Misalnya, suatu daerah memutuskan untuk memprioritaskan program swasembada pangan. KUA-PPAS yang dibuat oleh eksekutif akan menentukan program apa yang harus dibuat, berapa alokasi anggarannya, proyeksi pendapatan, sumber dan penggunaan anggaran. Semua mendukung program swasembada pangan. Kalau ada yang tidak sesuai prioritas, dicoret. KUA-PPAS selanjutnya diserahkan kepada DPOD untuk mendapat persetujuan, karena DPOD mempunyai hak anggaran, selain hak penyidikan dan hak interpelasi.
“Setelah KUA-PPAS disetujui DPRD, menjadi dasar bagi komisi DPRD dan pejabat di lembaga eksekutif untuk membahas RKA-SKPD. Hasilnya adalah rancangan peraturan daerah tentang APBD yang kemudian dibawa ke rapat paripurna, kata Nurdin.
RKA merupakan Rencana Kerja dan Anggaran, sedangkan SKPD merupakan Satuan Kerja Daerah. SKPD merupakan pengguna anggaran. Kepala dinas dan pangkat kedua masuk ke sini.
Proses penyusunan APBD diatur dalam PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Saya bertanya kepada Nurdin karena rekam jejaknya dalam membangun Kabupaten Bantaeng. Bupati yang kini menjalani masa jabatan kedua ini telah banyak menerima penghargaan bisa disimak di sini.
Nurdin mengatakan, pengalamannya di Bantaeng, anggota DPRD bahkan melakukan pengawasan terhadap proses penyusunan rencana program mulai dari musyawarah rencana pembangunan di tingkat desa. “DPRD punya hak anggaran. Jadi wajar jika mereka memiliki ketertarikan terhadap proses perencanaan sejak awal. “Tapi pelaksanaan anggarannya terserah eksekutif,” kata Nurdin. Di Bantaeng, pihaknya menerbitkan Perda tentang transparansi anggaran.
Gubernur menandatangani APBD 2015?
Mengingat kewenangan penggunaan anggaran, termasuk penentuan spesifikasi produk, berada di tangan eksekutif, maka patut dipertanyakan mengapa Ahok memilih curhat ke publik soal dugaan anggaran “hantu” sebesar Rp 12,1 triliun, padahal APBD sudah menyetujuinya. pada rapat pleno. Juga ditandatangani oleh Gubernur. Jika Ahok tidak setuju, ia bisa menolak anggaran tersebut saat berdiskusi dengan DPRD.
Informasi persetujuan Ahok mengenai kronologi itu saya peroleh dari Triwisaksana, Wakil Ketua DPRD DKI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Pada Jumat 27 Februari, lewat akun Twitternya, Bang Sani, sapaan akrab Triwisaksana, membalas @elisa_jkt: “Bahas RAPBD DPRD dengan TAPD/SKPD Pemprov ya kak?” Saat paripurna, bahkan gubernur pun ikut menandatangani persetujuannya. “
Puncak kisruh APBD DKI Jakarta 2015 adalah hak penyidikan (hak penyidikan). Sebanyak 106 anggota DPRD DKI sepakat menggunakan Hak Angket untuk mengusut kisruh APBD 2015. Dasar penolakannya adalah tindakan Ahok yang mengirimkan APBD versinya sendiri, bukan yang disepakati dalam rapat paripurna. pertemuan dengan DPRD, sebagaimana disyaratkan dalam UU dan PP.
Ahok menanggapinya dengan membeberkan data anggaran “hantu” pengadaan UPS pada APBD 2014, dan rencana serupa dari DPRD pada APBD 2015. Ahok juga melaporkan dugaan penyimpangan APBD DKI periode 2012-2015 ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). . Perbincangan antara Ahok dan DPRD bisa disimak di sini.
Untuk APBD 2015 yang jadi pemicu kisruh, menurut saya, yang harus dilakukan kedua belah pihak, baik Ahok maupun DPRD, adalah membuka APBD kedua versi tersebut. Versi disahkan dalam rapat paripurna 27 Januari 2015. Jumlahnya Rp73,08 triliun.
Ahok mengatakan, APBD 2015 yang diserahkannya ke Kementerian Dalam Negeri disusun melalui sistem anggaran elektronikdimaksudkan untuk transparansi dan mencegah penyelewengan, termasuk melalui modus “berpikir” atau pokok-pokok pikiran yang biasa muncul atas inisiatif DPRD. —Rappler.com
Klik di sini untuk membaca bagian kedua dari opini ini
Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.