Lampu colok, tradisi lebaran Bengkalis yang indah
- keren989
- 0
BENGKALIS, Riau – Bengkalis merupakan salah satu pulau terluar di Indonesia. Pulau di sisi timur Provinsi Riau ini berbatasan langsung dengan Malaysia. Pemandangannya menghadap Selat Malaka, salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia.
Pulau yang terletak di jalur internasional ini memiliki luas sekitar 700 hektar dan terdiri dari dua kecamatan, juga terbuka untuk berbagai etnis dan budaya. Masyarakat sehari-hari hidup berdampingan tanpa perpecahan meski berbeda suku atau agama.
Suku Melayu, Tionghoa, Jawa, Padang, Batak dan lainnya hidup rukun. Begitu pula Islam, Konghucu, Budha, dan Katolik. Jadi, masjid dan vihara berdiri berdekatan, sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelum saya mengunjungi pulau ini.
Kekayaan budaya etnik di Bengkalis turut mempengaruhi tradisi Idul Fitri. Salah satunya adalah tradisi lampu colok, lampu minyak tanah yang ditata rapi menyerupai masjid.
Gerbang cahaya
Miniatur masjid yang lebarnya puluhan meter ini menyambut saya dan keluarga saat kami menyusuri jalan raya sekitar pukul 22.00. Miniatur masjid ini terdiri dari ratusan bahkan ribuan lampu yang terbuat dari kaleng soda. Bahan bakarnya adalah minyak tanah. Setiap cahaya menjadi seperti sebuah titik yang saling terhubung dan membentuk gambaran dengan bentuk tertentu.
Kami berada di kawasan Kabupaten Siak, antara Pekanbaru, ibu kota Riau, dan Pak Ning, pelabuhan menuju Pulau Bengkalis tiga hari lalu.
Miniatur itu menjulang tinggi, berdiri seperti gerbang cahaya, dengan jalan raya besar di bawahnya. Suka atau tidak, kami melewatinya. Di malam yang gelap, yang sebagian besar tidak terdapat lampu jalan, lampu yang berkedip-kedip menarik perhatian. Sangat cantik.
“Tradisi lampu colok sebenarnya berasal dari Bengkalis,” kata Khusnul Wahid, kakak laki-laki saya yang sudah puluhan tahun tinggal di Bengkalis.
Itu benar. Begitu memasuki Pulau Bengkalis, semakin banyak jenis lampu penyangga yang bermunculan. Sayangnya karena kami tiba hampir tengah malam setelah kurang lebih 4 jam perjalanan dari Pekanbaru, beberapa lampu sudah padam. Akibatnya, gambar yang dihasilkan oleh plug-in highlight tidak lagi sempurna.
Sore harinya, dua hari menjelang Idul Fitri, kami berkeliling Bengkalis yang juga merupakan ibu kota Kabupaten Bengkalis. Puluhan lampu colokan tersebar di seluruh kota ini.
Salah satunya di RT 8 RW 4 Dusun 2, Desa Sungai Alam, Kabupaten Bengkalis. Sebuah kelompok pemuda setempat membuat lampu colokan raksasa. Tingginya mencapai 15 meter dengan lebar 20 meter. Terletak di pinggir atau bahkan di seberang jalan, lampu penyangga juga menarik perhatian orang yang lewat.
Para pembuat lampu colokan ini umumnya adalah anak-anak muda di desa. Novriandi, koordinator pesta lampu colok Dusun 2 mengatakan, lampu colok tersebut berjumlah 3.300 lampu. Bentuknya mirip dengan salah satu masjid di Malaysia. Satu bentuk masjid hanya dapat digunakan setiap lima tahun sekali.
“Kalau dipakai sekarang berarti lima tahun ke depan gambarannya tidak akan sama lagi,” kata mahasiswa akuntansi komputer itu.
Kreativitas
Menurut Novriandi, lampu colok kemungkinan besar berasal dari kata lampu colok. Untuk menyalakannya, anak muda menggunakan obor yang ditancapkan pada lampu.
Agar lampu tetap menyala, ada juga anak-anak yang bertugas menjaganya. Begitu lampu padam, misalnya karena hembusan angin, penjaga harus menyalakannya dengan api lain agar bisa menyala kembali.
“Kami membagi tugas. “Ada masyarakat yang tugasnya mengisi lampu, menyalakannya, dan menjaga lampu penyangga tetap menyala,” kata Maulana, pemuda di Dusun 1, desa yang sama.
Bagi anak muda seperti Novriandi dan Maulana, lampu penyangga merupakan wujud kreativitas masyarakat menjelang Idul Fitri.
Untuk mempersiapkannya, mereka rela mengeluarkan waktu, tenaga, dan uang jutaan. Novriandi mengatakan, biaya pembuatan lampu colokan bisa mencapai sekitar Rp 20 juta, sudah termasuk pembelian minyak tanah dan rangka kayu.
Total biaya tersebut belum termasuk biaya makan selama persiapan dan menunggu lampu dicolokkan dalam keadaan menyala.
Pembuatan lampu colokan meliputi beberapa tahapan. Pertama, pembuatnya akan mencari referensi masjid yang akan ditiru. “Biasanya kami mencari di internet,” kata Novri. Semakin indah dan rumit gambar mininya, maka akan dianggap semakin bergengsi.
Setelah gambar acuan sudah terurut, tahap berikutnya pabrikan akan membuat bingkai. Bahannya kayu dari hutan. Bengkalis masih mempunyai hutan yang relatif luas. Alhasil, bahan baku kayu mudah didapat dari hutan.
Rangka miniatur raksasa ini kemudian dipasang sebagai pengganti lampu colokan. Umumnya lokasinya berada di pinggir jalan sehingga mudah dilihat oleh orang yang lewat.
Pada tahap ketiga, pembangun akan memasang lampu plug-in. Umumnya lampu ini terbuat dari kaleng bekas soda. Isinya minyak tanah dengan sumbu kain. Kaleng bekas ini jumlahnya mencapai ribuan. Jika Dusun 2 mengonsumsi 3.300 kaleng, maka di dusun tetangganya, Dusun 1, “hanya” 1.300 kaleng.
Tahap terakhir, menyalakan lampu penyangga. Mereka biasanya menyalakan lampu penyangga pada tiga hari sebelum dan sesudah Idul Fitri. Begitu Maghrib selesai, mereka akan menyalakan lampu satu per satu.
Oleh karena itu, waktu terbaik untuk menikmati lampu colokan adalah setelah Maghrib hingga sekitar 2 jam kemudian. Saat itu semua lampu colokan masih menyala sehingga gambar masih sempurna.
Balapan
Lampu penyangga tidak hanya sekedar memamerkan keindahan miniatur masjid dan kebersamaan warga, namun menjadi media gengsi dan kegembiraan.
Lampu colok dilombakan oleh pemerintah Kabupaten Bengkalis. Penilaian biasanya meliputi keindahan bentuk dan kekuatan lampu ketika dinyalakan. Hadiah utama sebesar Rp 10 juta untuk pemenang pertama.
Namun bagi generasi muda di Bengkalis, persaingan bukanlah tujuan utama. Yang terpenting bagi mereka adalah kebahagiaan bersama. “Jika dibuatkan lampu penyangga menjelang hari raya akan terasa lebih meriah,” kata Maulana.
Saat warga kota dan orang yang lewat seperti saya menikmati indahnya kerlap-kerlip lampu di Pulau Bengkalis, anak-anak SD hingga remaja asyik bermain api.
Ada yang meminum minyak tanah dan menyemprotkannya ke api obor. Semburan api yang mirip dengan semburan naga juga disemprotkan di depan mereka. Di tempat lain juga terdapat anak-anak yang sedang bermain bola api.
Bagi anak-anak ini, lampu penyangga adalah kegembiraan dan keberanian. —Rappler.com