• September 20, 2024
Legislator tuan rumah yang mengecewakan temannya

Legislator tuan rumah yang mengecewakan temannya

Kita harus menghormati mereka yang datang dari jauh, apalagi jika mereka meninggalkan berbagai kegiatan untuk dilakukan di negaranya sendiri.

Itulah yang saya katakan pada diri saya sendiri sekitar pukul 10:30. WIB, puluhan anggota Volksraad (RI) meninggalkan ruang sidang acara parlemen Asia-Afrika pekan lalu.

Hal ini lebih dari sekedar mengoptimalkan anggaran negara yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan acara ini. Lebih lanjut, saya khawatir kebiasaan tidak sabar mendengarkan dan mendengar akan membuat bangsa kita diremehkan di luar negeri.

Untuk mendapatkan gambaran lebih dalam, saya akan menceritakan semuanya dari awal.

Malam sebelumnya

Bagi saya, acara Parlemen Asia-Afrika (AAP) yang merupakan salah satu agenda peringatan 60 tahun Konferensi Asia-Afrika (AAC) ini menarik dan patut diliput.

Merujuk pada momen pelantikan anggota DPR periode 2014-2019, begitu banyak pengamanan yang hampir tidak bisa saya liput karena pengamanannya sangat ketat.

Saya kemudian berpikir hal serupa akan terjadi di PAA. Hadir pula delegasi parlemen negara sahabat dan tentunya Presiden Joko “Jokowi” Widodo beserta para menterinya. Selain itu, jangan lupakan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Saya pun memilih tidak tidur agar bisa benar-benar datang ke DPR dini hari, Kamis, 22 April 2015. Saya berasumsi bahwa keamanan tidak akan terlalu ketat sebelum jam 7:30 pagi.

Pada kenyataannya

Lalu hari itu tiba. Acara seremonial ini sebenarnya tidak membosankan sama sekali. Meski tidak melontarkan kalimat-kalimat konfrontatif seperti saat membuka KAA, namun pidato Jokowi di PAA mengulangi apa yang diucapkannya saat pembukaan KAA tanpa menimbulkan kesan ia mengulanginya. Namun kekecewaan mulai datang ketika Jokowi menyelesaikan pidatonya dan keluar dari PAA.

Wajar jika Jokowi meninggalkan acara tersebut karena masih harus mengurus KAA (dan tentu saja negara ini), sehingga usai berpidato ia langsung meninggalkan kompleks DPR. Namun anggota parlemen yang “berpartai sama” juga tidak perlu mengundurkan diri.

Apalagi sejak acara dimulai (bisa saja salah hitung karena ngantuk), anggota DPR (belum termasuk Dewan Perwakilan Daerah atau DPD) yang hadir jumlahnya di bawah 300. Sehingga setelah Jokowi menyelesaikan pidatonya, membuat ruang PAA semakin terasa. kosong karena hampir seluruh anggota legislatif PDI-Perjuangan sudah keluar. .

Jangan berhenti di situ, lalu bangun efek bola salju karena faksi lain juga ikut bergerak. Hanya Partai Demokrat yang tak berkutik, mungkin karena (terpaksa) menunggu SBY berpidato.

Dan memang benar, setelah pidato SBY, Fraksi Demokrat mulai meninggalkan tempat itu. Hanya satu anggota Demokrat yang tak berkutik, yakni Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) Nurhayati Ali Assegaf sendiri yang tentu saja tak mungkin meninggalkan tempat tersebut.

Bahkan, kelima pimpinan DPR itu tak berusaha berlama-lama di ruang utama karena ikut meninggalkan tempat tersebut. Saya tahu pimpinan DPR adalah “tuan rumah”, mungkin ada beberapa hal yang harus mereka periksa, tapi menurut saya (dan secara etis) kelima pimpinan itu harusnya tetap hadir di sidang paripurna meski hanya mendengarkan pidato dalam berbagai bahasa dari berbagai negara. perwakilan legislator dari negara sahabat.

Pimpinan DPR harus bisa menunjuk siapa pun untuk memeriksa persiapan sidang berikutnya, tidak harus dirinya sendiri, untuk menghormati kehadiran tamu undangan.

Pukul 11.30 siang suasana sangat sepi dari anggota DPR. Saya khawatir para legislator negara sahabat yang hadir akan berpikir, “Kenapa sepi sekali, dimana legislator tuan rumahnya?”

Saya berusaha dengan rasa bersalah dan malu untuk mencoba mendengarkan setiap pidato perwakilan negara lain.

Ngomong-ngomong, beberapa negara menggunakan bahasa Arab saat berpidato. Dengan dibatalkannya pelajaran bahasa Arab di sekolah agama ketika saya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya berusaha memahami semaksimal mungkin apa yang sebenarnya dibicarakan oleh masing-masing perwakilan parlemen negara-negara Arab tersebut.

Hingga akhirnya acara berakhir sekitar jam 1 siang dan saya langsung bergegas menuju ruang komisi untuk meliput setiap pernyataan yang disampaikan dalam rapat tersebut.

Malu dan ironi

Selama ini anggota DPR mengeluhkan dilema. Di satu sisi, mereka diharapkan lebih sering mendatangi daerah pemilihan (dapil) sehingga reses kini lima kali, bukan empat lagi.

Namun di sisi lain, dengan semakin banyaknya reses, waktu untuk membahas legislasi secara “murni” pun semakin berkurang. Padahal, target program legislasi nasional (prolegnas) tahun ini sangat kecil yakni 37 undang-undang.

Namun hingga tulisan ini dibuat (Jumat 24 April, hari terakhir sidang sebelum kembali reses hingga pertengahan Mei 2015), baru satu Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dibahas dan benar-benar diketahui publik: RUU tentang Larangan minuman beralkohol.

Memang benar ada RUU BUMN, RUU Penanggulangan Bencana, RUU JPSK, Review UU Migas, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Namun signifikansi pembahasannya tidak sekuat dan seintensif (dan kontroversial) RUU Pelarangan Minuman Beralkohol.

Boleh jadi RUU Larangan Minuman Beralkohol ramai dibahas karena bertepatan dengan hadirnya aturan serupa di tingkat Peraturan Menteri.

Memang tidak semua negara Asia Afrika datang ke Jakarta-Bandung untuk merayakan KAA. Faktanya, lebih sedikit lagi negara yang memiliki legislator yang ikut serta dalam PAA. Namun mereka juga mengorbankan waktunya untuk tidak membahas proses legislasi mereka sendiri untuk menghadiri PAA.

DPR kita sering mengeluhkan terbatasnya waktu untuk membuat undang-undang. Namun mereka sendiri tidak terlalu menghormati parlemen negara lain.

Seandainya para legislator kita dengan sabar tetap (walaupun mungkin terpaksa) duduk di kursinya hingga pukul 13.00, mungkin para undangan akan lebih menghormati Indonesia.

Saya tidak bisa membayangkan ketika seorang wakil suatu negara naik ke podium sekitar pukul 11.30, ia terus naik ke podium untuk membacakan teks pidato yang telah ia persiapkan, namun sejauh mata memandang, ruangan itu sangat ramai. kosong.

Mereka mungkin (prihatin) merasa tidak dihargai karena datang jauh-jauh ke Senayan. Ketua DPR membayangkan “Parlemen Selatan-Selatan” dengan Parlemen Indonesia di tengahnya. Namun bagaimana niat tersebut bisa terwujud jika Anda bahkan tidak bisa duduk dan mendengarkan pertemuan tersebut?

Kurangnya cakupan parlemen Asia dan Afrika bisa saya bahas di situs resmi DPR, tapi apakah saya benar-benar perlu melakukannya?

Atau mungkin karena animo pemberitaan resmi DPR yang kurang maksimal dalam pemberitaan PAA (dan justru lebih maksimal diberitakan WikiDPR), maka para legislator kurang antusias untuk benar-benar mengapresiasi kehadiran legislator yang ramah terhadap rakyat. negara?

Bahkan, saya menilai PAA bisa menjadi tonggak untuk menunjukkan kinerja maksimal DPR RI di parlemen. Saya ingin DPR dibantu untuk memperbaiki citranya dengan mendukung pemberitaan kita.

Adi Mulia Pradana adalah kurator berita dan reporter lapangan WikiDPR, sebuah organisasi pemuda yang memantau parlemen. Dia bisa dihubungi di @adimuliapradana. Pendapat yang diungkapkan dalam opini ini adalah milik penulis, dan tidak mewakili WikiDPR sebagai sebuah organisasi.


situs judi bola online