• November 23, 2024

Makan singkong untuk menghemat bujet? Nuansa gambar yang kuat

Hampir setiap minggu saya mampir ke Pasar Tebet, Jakarta Selatan. Di area lobi banyak terdapat penjual kue basah. Sepotong kue lapis legit harganya Rp 1.500-2.000,- Pangsit isi ayam harganya Rp 2.000,- Kue bolu kukus harganya Rp 1.500 per potong. Puluhan macam kuenya, rasanya cukup enak. Tak kalah dengan kue basah yang dijual di toko kue di mall-mall mewah. Saya juga membelinya secara rutin. Harga bisa naik empat kali lipat. Bedanya kalau beli singkong yang dimasak dengan keju, keju parutnya sedikit lagi. Saat saya masih memimpin bagian pemberitaan di ANTV, saya sering membeli kue di sana. Belilah gorengan lebih sering. Rp 50.000 bisa menampung pertemuan 20-30 orang. Memang tidak sehat, tapi enak dan cukup. Buat kopi atau teh Anda sendiri. Tolong rebus airnya. Tenaganya tidak banyak.

Kalau dijual rata-rata Rp 1.500-2.000 per potong di Pasar Tebet, jelas ada marginnya. Katakanlah mereka mengambil margin 20 persen. Artinya, harga pembelian di pasar kue Subuh di Pasar Senen semakin murah. Jika rapat di instansi pemerintah menyajikan snack box berisi tiga jenis kue disertai teh atau kopi, maka modal konsumsi rapat maksimal Rp 10.000 per orang. Tapi, kita tidak ingin supplier kue katering bangkrut karena kehilangan pesanan dari pemerintah, bukan? Mereka dapat mengambil margin 50 persen, termasuk biaya kotak dan pegawai, serta transportasi. Jadi? Rp 15.000-20.000 per orang untuk camilan mudah di instansi pemerintah? Cukup benar. Namun, biayanya bisa lebih murah.

Nah, ketika saya membaca berita bahwa pejabat di Kementerian ESDM menyambut antusias surat edaran yang meminta instansi pemerintah menyajikan menu tradisional dan buah-buahan lokal dan mengatakan bahwa menyajikan singkong dan kacang rebus biaya yang biasanya Rp 35.000 menjadi Rp 20.000 akan berkurang. Aku yakin kamulah orangnya. Sumber media ini tidak pernah mengetahui berapa harga kue yang ada di pasaran. Jika Anda serius ingin mencetak camilan hemat, dari.

Jika kita menggunakan logika menyajikan singkong dan jagung rebus ditambah air minum kemasan yang dipadukan dengan kopi dan teh akan menurunkan biaya konsumsi hingga 30 persen dibandingkan sebelumnya, seharusnya biaya tersebut turun dari Rp 20.000 menjadi Rp 13.000. Tentu saja ya. Sajian tiga jenis kue ini bisa dibanderol Rp 20.000,- itu sudah keuntungan pedagang. Artinya makan singkong seharusnya lebih murah 30 persen. Artinya, anggaran selama ini terlalu mahal.

Namun, saya juga tidak ingin katering kelas menengah bangkrut karena kebijakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi. Yang saya maksud dengan katering kelas menengah adalah mereka yang menghargai sepotong kue dengan harga Rp 5000 – Rp 10000. Rasanya juga lebih enak. Lebih banyak mentega. Mungkinkah selama ini mereka adalah pemasok kementerian? Agensi pemerintahan?

Pejabat Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengatakan, sejak era Menteri Dahlan Iskan, kawasan BUMN banyak difungsikan untuk menyajikan singkong, pisang rebus, jagung, dan kacang rebus. Tidak ada yang baru. #wesbiyasa. Menteri Yuddy bisa bertanya kepada Kementerian BUMN, berapa banyak makanan yang dikonsumsi selama setahun di sana? Untuk mengetahui berapa harga per porsinya. Berapa penghematannya?

Soalnya, ketika saya mengetikkan kata impor singkong dan impor jagung, yang muncul adalah angka impor singkong sebanyak 100 ton pada tahun 2013. Bustanul Arifin pernah menyebutkan bahwa Indonesia merupakan importir singkong alias singkong terbesar di dunia. . Mayoritas berasal dari Thailand. Impor jagung pada tahun 2014 diperkirakan mencapai 3,6 juta ton. Lompatan signifikan dibandingkan tahun lalu sebesar 2,9 juta ton. Hal ini disebabkan oleh tumbuhnya industri pakan ternak dan kurangnya pasokan jagung di lapangan. Lonjakan impor jagung disebabkan adanya kebutuhan pakan ternak. “Belum terlihat dampak bencana alam seperti letusan gunung berapi, banjir, dan serangan El Nino. Diperkirakan GPMT akan mengkaji ulang impor jagung karena impor jagung bisa mencapai 4 juta ton pada akhir tahun 2014, kata Sudirman, Ketua Gabungan Pengusaha Pakan Ternak, seperti dikutip media.

Jadi, ketika surat edaran kantor Menteri Yuddy no. 10 Tahun 2014 tanggal 21 November 2014 yang mewajibkan seluruh instansi pemerintah menyediakan pangan lokal yang berasal dari pertanian dalam negeri, saya berharap Menteri Yuddy mengetahui bahwa sebagian singkong, jagung, bahkan kentang dan cabai kita masih diimpor. Apakah perlu ada petugas khusus di Kementerian untuk memastikan jagung dan singkong rebus yang disajikan tidak diimpor? Kue lapis berbahan dasar tepung tapioka masih diimpor.

Saya agak sinis menanggapi surat edaran ini. Saya berharap pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengusung jargon Revolusi Spiritual akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang benar-benar revolusioner. Tren makan singkong rebus ini jauh dari kata revolusioner. Bahkan, pada masa Orde Baru, ketika Presiden Soeharto yang selalu mengaku sebagai “Anak Desa” memilih makan getuk, tiwul, dan singkong rebus. Semua makanan tradisional. Saat itu kita mungkin belum melakukan impor. Dalam 10 tahun terakhir, saya mengikuti rapat-rapat di berbagai kementerian, bahkan di daerah. Pada rapat dengar pendapat di DPR pun jajanan yang disajikan biasa saja. Kue lembab, kadang dipadukan dengan kacang goreng. Ada juga jagung dan pisang rebus. Sekali lagi #wesbiyasa.

Di daerah tersebut, makanan berat yang disajikan juga merupakan menu daerah. Kalau kita ke palembang, makanan di hotel atau di acara pemerintah daerah akan menyajikan pempek, tekwan dan pindang patin. Di Sumatera Utara kami menikmati daun kentang tumbuk. Di Makassar, soto yang disajikan adalah coto Makassar. Semuanya merupakan makanan tradisional. Tentu saja saya tidak mengecek apakah rendang dan coto itu terbuat dari daging yang kami impor. Kakap manis atau asam berbahan dasar ikan yang menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti masih banyak diimpor. Pada hakikatnya, penyajian makanan tradisional sebagaimana dimaksud dalam surat edaran tersebut merupakan hal yang lumrah. Persoalannya, memastikan apakah pangan tersebut impor atau lokal menjadi isu berikutnya.

Saya mendukung niat pemerintah Presiden Jokowi untuk mengurangi anggaran pengelolaan pemerintah. Namun bagi saya, beredarnya makan singkong bukan hanya bukan sesuatu yang baru, tidak kreatif, namun juga memiliki nuansa image yang kuat. Anggaran yang boros bermula dari korupsi. Termasuk olahraga markup harga. Di semua lini pengadaan, termasuk pengadaan konsumsi. Itu seharusnya menjadi tujuan utama. Jangan terlalu mendalami jenis makanan yang akan disajikan. Tapi yang saya maklumi, membuat makanan olesan singkong itu paling mudah. Saya menunggu laporan triwulanan ke masyarakat berapa banyak yang bisa dipotong dari pembagian singkong ini.

Surat edaran Menteri Yuddy juga terkait dengan Gerakan Hidup Sederhana. Rapat di kantor, bukan di hotel. Tidak lebih dari 400 undangan yang dapat dikirimkan ke pernikahan anak atau 1.000 orang. Reaksi masyarakat? Pengusaha? Tentu saja ada. Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono mengatakan penerapannya akan sulit, namun ia akan berusaha. Masalahnya masyarakat Indonesia mempunyai tradisi kekerabatan dan persahabatan yang kuat. Prinsip keluarga besar. Jika Anda akan menikah dan mempunyai anak dan seseorang tidak diundang, itu bisa jadi tidak menyenangkan. (BACA: PNS dilarang mengadakan resepsi pernikahan mewah)

Menurut Menteri Keuangan Profesor Bambang Brodjonegoro, anggaran yang bisa dihemat dari pertemuan hotel dan perjalanan kelas ekonomi sekitar Rp 1,5 triliun. Presiden Jokowi telah memangkas anggaran perjalanan dinas dan pertemuan seluruh kementerian dan lembaga yang pada tahun 2015 sebesar Rp 41 triliun menjadi hanya Rp 25 triliun.

Pesan hidup sederhana dan siap bekerja juga ditunjukkan dengan hampir selalu mengenakan pakaian berwarna putih. Di dalam buku Dari Dunia Ketiga ke Dunia Pertama, memoar Lee Kuan Yew, yang meletakkan dasar-dasar Singapura modern dan menjadi perdana menteri sejak lama, ia berbicara tentang filosofi di balik berpakaian putih. Saat menjabat sebagai pemimpin Singapura pada tahun 1959, dimulai dengan pembacaan sumpah, Perdana Menteri Lee dan para menterinya mengenakan kemeja putih dan celana panjang. “Itu adalah simbol kemurnian dan kejujuran,” kata Lee dalam buku setebal 778 halaman itu.

“Sejak kami ditunjuk pada bulan Juni 1959, kami memastikan bahwa setiap dolar pendapatan akan diperhitungkan dengan benar dan akan sampai ke penerima manfaat di tingkat dasar sebagai satu dolar, tanpa dikumpulkan di sepanjang jalan.”

Untuk itu, pemberantasan korupsi pada sektor-sektor yang merupakan wilayah “basah” menjadi prioritas. Termasuk keberanian mengungkapkan kepada masyarakat setiap harga pembelian barang bergerak dan tidak bergerak yang dibeli pejabat selama menjabat. Misalnya, Lee mengumumkan diskon yang didapatnya pengembang ketika ada tekanan dari masyarakat yang mencurigai perlakuan khusus yang diterima dirinya dan istrinya, yang merupakan pengacara senior berpengalaman 40 tahun. Mereka membeli properti dan mendapatkan diskon dengan persentase yang sama dengan pembeli lainnya. Pasangan ini memutuskan untuk mengembalikan potongan harga sebesar $1 juta kepada Kementerian Keuangan untuk menghindari kecurigaan menerima perlakuan istimewa pengembang. Belakangan, setelah dilakukan penyelidikan mendalam, dipastikan bahwa pasangan Lee dan istrinya, Nyonya Choo, tidak melanggar aturan apa pun. Uang itu dikembalikan.

Tapi ini adalah contoh bagaimana gravitasi terbentuk pemerintahan yang bersih. Semua pejabat di Singapura pada saat itu membangun kredibilitas dengan melaporkan urusan pribadi mereka kepada publik. Ada rekan dekat PM Lee yang terpaksa didenda bahkan dijebloskan ke penjara karena terbukti memperkaya diri. Bahkan ada yang bunuh diri karena malu. Semuanya diceritakan dalam memoar ini.

Singapura memang negara yang jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia. Saya ingat bertanya kepada Menteri Senior Lee Kuan Yew ketika saya berkesempatan makan malam bersamanya beberapa tahun lalu. “Bagaimana kami akan meminjammu untuk memimpin Indonesia?” Aku hanya bercanda. Saat ini masyarakat sungguh kecewa dengan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme yang terjadi di Tanah Air. Lee menjawab, “Ini menakutkan.” Menakutkan. Karena kita memang negara yang besar dan luas. Habiskan untuk kendali seorang pemimpin di Indonesia lebih hebat.

Namun kini kita berada di posisi ke-16 perekonomian dunia. Jadi jika Anda ingin melamar pemerintahan yang baik dengan belajar dari pola Singapura atau negara-negara yang memilikinya pemerintahan yang baik lebih baik dari kita, itu seharusnya mungkin. Saat ini. Dan bukan dengan mengeluarkan surat edaran tentang makan singkong.

Menteri Yuddy harus membaca memoar Lee. Banyak inspirasi di sana. Termasuk pengalaman bahwa memakai baju dengan warna sama dengan bahan berbeda pun bisa menyesatkan. Begitulah pengalaman era Pemimpin Mao di Tiongkok. Bajunya semua sama, model dan warnanya. Namun kaum elit menggunakan bahan yang berbeda. Tentu saja yang lebih mahal. Jadi, seragam yang sama yang dimaksudkan untuk memberikan kesan kesederhanaan juga termasuk dalam gambar. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan Pemimpin Redaksi ANTV, menulis blog tentang 100 hari pemerintahan Jokowi. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.


Togel SDY