• September 24, 2024

Mari kita bicara tentang kompleksitas jalanan Jakarta

MRT, LRT, Pajak Progresif, Mampukah Cara Ini Hilangkan Kemacetan Jakarta?

JAKARTA, Indonesia – Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Transportasi, Perdagangan, dan Industri Sutanto Soehodo mengatakan kemacetan di Jakarta sudah memasuki tahap serius.

Ia juga berbicara mengenai permasalahan transportasi Jakarta dan perbaikan yang dilakukan pemerintah pada forum New Cities Summit 2015 di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Selasa 9 Juni.

Pada tahun 2014 saja, Jakarta dinobatkan sebagai kota paling padat di dunia.

(BACA: Menakjubkan? Jakarta merupakan kota paling padat di dunia pada tahun 2014)

Warga Jakarta sering bercanda bahwa Jakarta tidak perlu alasan untuk macet, malah kalau jalan tidak macet, itu yang jadi pertanyaan. Namun pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimana Jakarta bisa sampai pada situasi seperti ini – situasi penuh kemacetan di segala penjuru kota?

“Jika Anda bertanya kepada saya bagaimana kita bisa mengalami kondisi lalu lintas terburuk di dunia, saya rasa inilah hasilnya memasok Dan pertanyaan yang tidak seimbang,” kata Sutanto.

“Jumlah perjalanan sangat tinggi dan mayoritas bergantung pada kendaraan pribadi. Jumlah mobil bertambah 300 per hari dan hampir 1.000 sepeda motor bertambah setiap hari. “Jalanan kita sedang berjuang untuk merespons pertumbuhan ini,” katanya.

Menurut Sutanto, rasio jalan di Jakarta hanya 6,4 persen. Artinya, hanya 6,4 persen dari total wilayah Jakarta yang merupakan jalan raya.

“Kalau mau ideal, kita harus seperti Singapura. Namun Jakarta memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih besar dengan luas wilayah yang mirip dengan Singapura. “Jumlah penduduk kita saat ini 12 juta jiwa,” kata Sutanto.

Selain terbatasnya jumlah jalan, peningkatan transportasi mempunyai satu masalah besar: Pesaing yang tidak dapat dikalahkan – murahnya pembelian sepeda motor.

“Masalahnya adalah keterjangkauan sepeda motor. Sepeda motor sangat mudah dan murah, dan Anda dapat menggunakannya berkali-kali dalam sehari. “Biayanya relatif lebih murah dibandingkan naik bus,” ujarnya.

(BACA: Awal Perancang Busway Bicara ‘Jakarta Tanpa Kemacetan’)

Satu-satunya solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, menurut Sutanto, adalah dengan menyediakan moda angkutan umum yang massal dan memadai.

Setelah moda Raya terpadu (MRT), nampaknya Pemprov DKI Jakarta tengah membahas proyek tersebut transportasi kereta api ringan (LRT) selama 6 bulan terakhir. LRT dipandang sebagai salah satu jawaban atas permasalahan pembangunan angkutan massal di ibu kota, apalagi LRT tidak membutuhkan lahan sebanyak MRT.

(BACA: 4 fokus utama Pemprov DKI Jakarta di bawah Ahok)

“Sampai saat ini pembangunan MRT masih banyak kendala terutama terkait pembebasan lahan. “Harga yang fluktuatif juga menyulitkan kami,” kata Sutanto.

“LRT secara teknologi lebih fleksibel dan lebih rentan melakukan tikungan tajam serta mengikuti naik turun jalan. “Kami tidak ingin mengubah gambaran perkotaan, kami hanya ingin membantu masyarakat bergerak,” kata Sutanto.

LRT diyakini akan mengurangi kemacetan hingga 30 persen.

“Masih banyak hal yang perlu dilakukan, dan masih perlu dilakukan secara dinamis. “Permasalahan akan terus ada, sehingga harus terus kita selesaikan,” kata Sutanto.

Apakah kereta api jawabannya?

MRT atau LRT, nampaknya sistem kereta api menjadi solusi utama yang ditawarkan pemerintah. Namun apakah ini benar-benar jawaban yang kita tunggu-tunggu?

David Allen, kepala pengembangan bisnis dan proyek khusus di Asia Pasifik untuk Transportasi Bombardier mengatakan bahwa sistem kereta api bukanlah jawaban atas segalanya.

“MRT adalah bagian dari solusi, tapi bukan solusi dari semua permasalahan kita,” kata David. “Kereta api menyediakan kerangka transportasi. Mampu mengangkut hingga 100 ribu penumpang per jam, namun juga membutuhkan jaringan pendukung lain seperti pengumpan.”

Sistem pendukung mana yang tepat menjadi pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh kota tersebut karena setiap kota memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

“Misalnya, trem tidak bisa digunakan di Jakarta dan Kuala Lumpur. “Di Toronto orang-orang akan berhenti ketika ada trem lewat, di tempat lain sepeda motor mungkin akan berlarian mencari celah untuk lewat,” katanya.

Pajak progresif lebih tinggi, apakah efektif?

Selain itu, pemerintah menaikkan pajak progresif kepemilikan kendaraan bermotor pada awal Juni lalu. Tujuannya untuk mengurangi jumlah pembelian sekunder mobil atau motor. Apakah ini cara yang efektif?

(BACA: Perpajakan progresif tidak efektif mengurangi jumlah kendaraan pribadi)

“Sebenarnya ini urusan dinas perpajakan. Namun tujuan kenaikan ini adalah untuk menyurutkan semangat masyarakat untuk membeli kendaraan kedua, ketiga, dan seterusnya, kata Sutanto. “Tetapi saya sendiri ragu dengan penerapan ini. Kalau orang berhenti membeli mobil, justru akan merampas penghasilan kita. “Yang penting bukan apakah Anda membelinya, tapi apakah Anda menggunakannya atau tidak.”

“Anda boleh mempunyai 10 mobil, tetapi apakah Anda menggunakan sepuluh mobil? Bukan itu. “Pajak pemakaiannya harus dinaikkan, bukan pembeliannya,” ujarnya. —Rappler.com