• September 23, 2024
Maria, satu-satunya hakim Mahkamah Konstitusi yang tidak setuju dengan pernikahan dini

Maria, satu-satunya hakim Mahkamah Konstitusi yang tidak setuju dengan pernikahan dini

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Berbeda dengan hakim MK lainnya, Maria Farida mengatakan perceraian bisa dicegah dengan mencegah pernikahan pasangan di bawah umur

JAKARTA, Indonesia — Satu-satunya hakim perempuan di Mahkamah Konstitusi (KC) Maria Farida Indrati juga menjadi satu-satunya hakim MK yang tidak setuju dengan penolakan lembaganya untuk menaikkan usia minimal menikah bagi perempuan.

(BACA: MK menolak uji materi tentang usia minimal menikah)

Maria menyatakan perbedaan pendapat, atau berbeda pendapat terhadap putusan mahkamah konstitusi. Ada beberapa alasan.

1. Pernikahan tanpa perceraian

Menurut Maria, tujuan dari Undang-Undang Perkawinan adalah perkawinan yang merupakan ikatan jasmani dan rohani untuk membentuk keluarga bahagia.

Oleh karena itu, harus mendewasakan jiwa dan raga agar tercipta pernikahan yang baik tanpa perceraian. Pernikahan dengan calon suami dan istri yang masih di bawah umur harus dicegah, kata Maria.

2. Kehamilan dini dan dikeluarkan dari sekolah

Alasan lain Maria menentang keputusan Mahkamah Konstitusi adalah karena, menurutnya, pernikahan dini dapat menyebabkan kehamilan dini sehingga berisiko terhadap kesehatan reproduksi perempuan.

Selain itu, Maria juga mengatakan bahwa pernikahan dini hampir selalu menyebabkan putus sekolah sehingga menghambat kesempatan mereka untuk mengembangkan potensi menjadi orang dewasa yang mandiri, berpengetahuan dan efektif.

3. Tidak berkaitan dengan hak asasi manusia

Maria juga menolak anggapan bahwa menaikkan usia minimal menikah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

“Dari informasi yang diberikan DPR, sebenarnya masyarakat Indonesia harus mempertimbangkan kembali batasan usia tersebut, apakah masih sesuai atau tidak. “Pemahaman tentang hak asasi manusia jauh lebih maju dibandingkan saat undang-undang tersebut disahkan,” ujarnya.

“Ada kewajiban negara untuk melindungi, memenuhi dan menghormati hak-hak anak sesuai dengan UUD 1945.”

4. Tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan lainnya

Menurut Maria, definisi anak dalam undang-undang lain seharusnya menjadi alasan untuk mengubah usia minimal menikah.

“Beberapa undang-undang juga menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 18 tahun, termasuk mereka yang masih dalam kandungan. Batasan usia menikah dalam UU Perkawinan sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU No. 23 tentang Perlindungan Anak juga memuat poin untuk mencegah perkawinan pada usia anak,” kata Maria.

Ketidakpastian hukum ini melanggar hak-hak anak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 3, Pasal 28B Ayat 2, dan Pasal 28 C Ayat 1 UUD 1945.

5. Tinjauan legislatif tidak menyelesaikan masalah

Rekomendasi pengadilan untuk tinjauan legislatifbagi Maria, tidak bisa menjawab permasalahan yang ada.

Tinjauan legislatif memerlukan proses yang cukup panjang. “Sudah saatnya segera dilakukan perubahan hukum melalui keputusan pengadilan,” ujarnya.

Penolakan Mahkamah Konstitusi untuk mencegah anak di luar nikah

Mahkamah Konstitusi menilai alasan penolakan tersebut karena asas perkawinan adalah kesukarelaan, kerelaan kedua belah pihak, perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang langgeng, serta kepribadian pasangan.

“Dari asas perkawinan, tidak diketahui batas usia minimal untuk mencegah kerusakan yang lebih besar,” demikian bunyi pendapat MK yang tertuang dalam putusan.

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kerugian dapat menyebar lebih cepat karena pengaruh keadaan, termasuk makanan, lingkungan, pergaulan, teknologi dan keterbukaan informasi yang mempercepat dorongan nafsu.

“Keinginan syahwat itu harus bisa disalurkan melalui perkawinan yang sah, sesuai ajaran agama, bukan melahirkan anak di luar nikah atau anak haram, atau anak di luar nikah.” — Rappler.com

Singapore Prize