Masalah seribu satu waduk (part 1)
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia — Dalam salah satu kampanye pemilihan presiden tahun 2014, Joko “Jokowi” Widodo menyatakan bahwa misinya untuk Indonesia adalah mencapai ketahanan pangan.
Usai dilantik menjadi presiden, keinginan tersebut kembali ditegaskan Jokowi. Untuk mewujudkan ketahanan pangan, Jokowi berambisi besar membangun 49 waduk. Jumlah ini meningkat dari rencana awal yang hanya sekitar 30 waduk.
Salah satu proyek yang rencananya selesai tahun ini adalah Waduk Jatigede, di Sumedang, Jawa Barat, yang sudah hampir 46 tahun menganggur. Waduk Jatigede merupakan salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014.
Pembangunan Waduk Jatigede sudah mencapai proses akhir. Menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, pembangunan Waduk Jatigede sudah mencapai 99,4%.
Biaya yang dikeluarkan mencapai US$ 467 juta atau sekitar Rp 5,604 triliun. Pemerintah akan menyiapkan sekitar Rp1 triliun lebih untuk proses pemukiman kembali sekitar 11.000 keluarga yang belum direlokasi.
Waduk ini rencananya mampu mengairi 90 ribu hektare sawah di berbagai wilayah sekitar Sumedang, mulai dari Indramayu, Cirebon, hingga Majalengka. Nantinya, waduk ini juga akan menghasilkan pembangkit listrik tenaga air sebesar 10 megawatt dan mengalirkan 3,5 meter kubik air per detik.
“Soal persoalan pembangunan waduk, saya termasuk yang mendukung program Pak Jokowi. “Pembangunan waduk merupakan keputusan yang sangat penting karena bersifat multiguna,” kata Indratmo Soekarno, dosen Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB).
(BACA: Keureuto: Bendungan Terbesar di Aceh Diklaim Mampu Atasi Banjir)
Indratmo menilai keputusan Jokowi membangun waduk tersebut merupakan keputusan yang “tepat”. Sebab Indonesia masih sangat membutuhkan waduk untuk merespons iklim subtropis. Negara subtropis seperti Indonesia membutuhkan waduk karena selalu kekurangan air pada musim kemarau dan selalu kebanjiran pada musim hujan.
Oleh karena itu, diperlukan waduk yang mampu mengontrol volume air dan fungsi lainnya seperti irigasi atau penyediaan listrik. Namun target Jokowi membangun 49 waduk masih belum mencukupi dan sedikit “tidak masuk akal”. Indonesia sebenarnya membutuhkan sekitar 100 waduk lagi.
Menurut Indratmo, dari segi waktu, tidak mungkin Jokowi mampu memenuhi target pembangunan 49 waduk pada masa kepemimpinannya. Jika setiap waduk memiliki volume 30 juta meter kubik, masih ada kemungkinan 49 waduk bisa dibangun dalam waktu lima tahun.
Namun volume 30 juta meter kubik tersebut relatif kecil untuk ukuran waduk yang dibutuhkan. Sebaliknya, jika volume waduk lebih besar dari 30 juta meter kubik, target pembangunan 49 waduk dalam lima tahun pemerintahan Jokowi diragukan bisa tercapai.
Di sisi lain, Indratmo menyoroti 4 hal penting yang perlu diperhatikan dalam membangun waduk, yakni kelayakan teknis, kelayakan sosial, kelayakan ekonomi, dan kelayakan lingkungan.
Jika masyarakat menolak, maka pembangunan Waduk Jatigede jelas tidak memenuhi syarat layak secara sosial. Secara ekonomi, masyarakat yang berkorban karena terkena dampak proyek bendungan juga harus menerima manfaatnya.
Waduk Jatigede juga harus layak lingkungan. Berdasarkan data, lahan Perhutani akan dikorbankan untuk pembangunan Waduk Jatigede seluas 1.389 hektare. Total ada 810 ribu pohon tumbang dan keanekaragaman hayati di dalamnya akan punah. Lahan yang diambil belum ada penggantiannya, meski beberapa potensi pengganti sudah direncanakan di Kabupaten Sumedang dan Ciamis.
Tak kalah pentingnya, diketahui bahwa pemerintah tidak selalu kompeten dalam hal pemeliharaan infrastruktur. Perlu melihat pengalaman pemerintah dalam hal pemeliharaan waduk. Ada beberapa contoh waduk yang terbukti gagal dipelihara. Misalnya saja Waduk Saguling di Jawa Barat yang sedimentasinya mencapai 4 juta meter kubik per tahun.
Yang lebih parah lagi adalah Waduk Cirata, pembangkit listrik tenaga air terbesar di Asia Tenggara, yang sedimentasinya mencapai 6 juta meter kubik setiap tahunnya. “Kelemahan bangsa ini adalah tidak bisa mempertahankan apa yang sudah ada,” kata Indratmo.
Dari sisi makro, terdapat dimensi lain yang dapat dilihat dari pesatnya tren pembangunan bendungan atau waduk di india dan negara berkembang lainnya seperti Brazil, China, India, serta sejumlah negara di Asia Tenggara dan Afrika.
Pertanyaannya, untuk siapa waduk itu dibangun? Apakah memang untuk kepentingan rakyat atau sekedar untuk memenuhi kepentingan industri terkait proyek investasi di negara pemberi utang pembangunan waduk?
Sebuah studi panjang yang dirilis oleh Universitas Oxford pada tahun 2014 menyimpulkan bahwa proyek-proyek waduk besar di seluruh dunia lebih banyak menimbulkan dampak buruk dibandingkan manfaatnya. Penelitian terhadap 245 waduk besar yang dibangun sejak tahun 1934 tidak menemukan indikasi adanya manfaat besar bagi masyarakat.
Kajian ini menemukan bahwa rata-rata terjadi pembengkakan biaya berkali-kali lipat selain waktu pembangunan waduk yang sangat lama dan sering tertunda. Bahkan, pembangunan waduk bisa dikatakan menjadi proyek dengan cost overrun paling tinggi dibandingkan proyek infrastruktur lainnya.
Temuan-temuan ini bahkan belum mencakup dampak kerusakan terhadap masyarakat dan lingkungan, serta pengaruhnya terhadap inflasi dan membengkaknya beban utang seiring melemahnya nilai tukar negara pemilik waduk.
Pembangunan waduk mendapat kritik keras dan ditinggalkan oleh banyak negara pada tahun 1990an. Kritik terhadap pembangunan waduk muncul karena berdampak negatif terhadap lingkungan dan menyebabkan jutaan orang terpaksa mengungsi dari kampung halamannya.
Lembaga pemberi pinjaman besar seperti Bank Dunia kemudian menarik diri dan mengurangi peran mereka dalam proyek reservoir raksasa untuk pembangkit listrik. Bank Dunia dan lembaga donor lainnya merupakan penyedia kredit utama sebelum tahun 1990an.
Baru-baru ini, meskipun Bank Dunia telah mulai meningkatkan pinjaman untuk proyek waduk lagi dari hanya beberapa juta dolar pada tahun 1999 menjadi US$1,8 miliar pada tahun 2014, angka ini masih hanya 2 persen dari total investasi proyek pembangkit listrik tenaga air di seluruh dunia.
Peran dominan Bank Dunia kini sebagian digantikan oleh bank pembangunan nasional dan investor swasta di negara-negara berkembang seperti Tiongkok, Brasil, Thailand, dan India.
Munculnya kerja sama pemerintah-swasta diperkuat dengan dukungan bank pembangunan daerah yang terbukti memiliki kekuatan finansial yang luar biasa. Lembaga-lembaga keuangan baru ini kurang mempunyai reputasi dalam hal transparansi, apalagi kepedulian sosial dan lingkungan.
Berbagai contoh di negara lain menunjukkan betapa kepentingan industri terkesan lebih dominan dibandingkan kepentingan rakyat. Misalnya, Laos membangun Bendungan Xayaburi dan menjual listriknya ke Thailand, dengan mengorbankan nyawa dan penghidupan masyarakat yang secara historis bergantung pada Sungai Mekong.
Di Republik Demokratik Kongo di Afrika, listrik dari bendungan Inga 3 akan dijual ke perusahaan pertambangan dan Afrika Selatan, sebaliknya 96 persen masyarakat Kongo memiliki akses minim terhadap listrik.
Menurut laporan International Rivers yang dikeluarkan pada tahun 2012, sejumlah perusahaan dan lembaga keuangan Tiongkok terlibat dalam 308 proyek bendungan atau waduk di 70 negara di seluruh dunia, sebagian besar di Asia Tenggara, beberapa di Afrika, Amerika Latin, dan Pakistan.
Proyek-proyek ini juga dapat dilihat sebagai integrasi vertikal untuk menyediakan listrik bagi proyek-proyek industri yang dimiliki oleh lembaga pemberi pinjaman dan negara.
Gambaran ini secara kasar dapat memberikan gambaran siapa yang akan menerima manfaat terbesar dan siapa yang paling mungkin menanggung risiko bencana saat ini atau di masa depan. —Rappler.com
Klik di sini untuk membaca bagian 1
Artikel ini sebelumnya diterbitkan sebagai laporan fitur di geotimes.co.id. Penerbitan ulang telah disetujui oleh Geo Times.
Nuran Wibisono adalah jurnalis majalah Geo Times. Nuran adalah seorang blogger. Kunjungi blognya di nuranwibisono.blogspot.com dan ikuti Twitter-nya @nuranwibisono.