• November 27, 2024

Masalah seribu satu waduk (part 2)

SUMEDANG, Indonesia —Cipaku adalah sebuah desa dengan gaya lukisan indie yang bagus. Sawah luas terhampar dimana-mana. Sungai yang jernih mengalir deras. Anak-anak, remaja bahkan orang tua di kota selalu tersenyum pada orang asing. Seperti yang saya alami pada Kamis lalu.

Namun desa di Kecamatan Darmaraja, Sumedang, mungkin akan segera tinggal kenangan. Desa ini merupakan salah satu dari 6 desa yang akan terendam seluruhnya oleh air Waduk Jatigede. Pembangunan waduk ini akan membanjiri 28 desa. Namun, hanya 6 kota yang akan tenggelam. Desa-desa tersebut adalah Leuwihideung, Cipaku, Jatibungur, Cibogo, Sukakersa dan Padajaya.

Warga Cipaku tak tinggal diam saat mengetahui desanya termasuk yang akan tenggelam. Mereka mendirikan Forum Komunikasi Masyarakat Jatigede untuk melawan tenggelamnya kapal ini. Bagi mereka, pemerintah lalai dan mengabaikan tuntutan masyarakat.

Salah satu tuntutan masyarakat adalah adanya konsep pemukiman kembali yang lebih menjamin kehidupan mereka dalam jangka panjang. Juga pembangunan ekonomi bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Penduduk Desa Cipaku sebagian besar berprofesi sebagai petani. Jika mereka pindah, mereka pasti kehilangan mata pencaharian.

Sayangnya, dalam Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Pembangunan Waduk Jatigede sama sekali tidak ada konsep pemukiman kembali atau pembangunan ekonomi yang diminta masyarakat.

Selama ini pemerintah hanya bicara soal Grace Money, belum bicara konsep pemukiman kembali dan pembangunan ekonomi. “Warga berharap konsep pemukiman kembali akan lebih menjamin kehidupan mereka dalam jangka panjang,” kata Arip Yogiawan, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandung yang aktif mendampingi warga Desa Cipaku.

“Saat ini perdebatannya bukan soal penolakan, tapi bagaimana pemerintah harus memukimkan kembali masyarakat. Dan memikirkan kehidupan manusia,” kata Nurhadi, Kepala Desa Cipaku.

Soal permukiman, sebenarnya Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2015 memuat hal itu pada Pasal 3 ayat 1. Pemerintah juga telah membuat perumahan sebanyak 600 unit rumah di kawasan Conggeang dan Sakurajaya yang direncanakan sebagai tempat pemukiman baru bagi masyarakat yang desanya terendam banjir. . Namun perumahan tersebut dinilai kurang memadai oleh masyarakat Desa Cipaku.

“Ini adalah satu bangunan yang diubah menjadi dua, untuk dua keluarga. “Pemerintah tidak memandang rumah khas desa,” keluh Natahendra, salah satu tokoh Cipaku. Di desa penghasil padi ini, meski sederhana, rumah warganya umumnya luas dan besar. Di bagian depan ada halaman. Dibagian belakang biasanya terdapat kandang ternak seperti sapi, kambing dan ayam.

Natahendra menilai rumah yang dibangun pemerintah dibuat sembarangan. Kusen jendela terbuat dari kayu mangga basah yang sama sekali tidak cocok digunakan sebagai bahan bangunan.

“Di desa, sapi dipindahkan dengan bantuan perhitungan. Kandang barunya sudah siap, cari makannya kemana, buang kotorannya kemana? “Yah, mereka mau pindahkan orang, kenapa terkesan cuek,” ujarnya.

Selain konsep pemukiman kembali yang masih belum jelas, warga Desa Cipaku juga menuntut penjelasan mengenai ganti rugi yang masih belum jelas. Hal ini bermula dari proses survei dan pembelian tanah yang tidak transparan pada tahun 1982. Natahendra termasuk salah satu yang mengalaminya.

Pada tahun 1982, pemerintahan Orde Baru mulai melanjutkan proyek Waduk Jatigede yang sempat tertunda sejak tahun 1963. Proses awalnya adalah survei tanah. Di sinilah banyak keanehan terjadi.

“Tahun itu pengukuran tanah tidak transparan. “Yang menentang dicap komunis,” kata Natahendra.

Saat itu, ada beberapa orang dari luar kota yang datang membawa meteran. Mereka tiba-tiba mengukur luas rumah dan tanah. Mereka mengaku sebagai petugas pajak namun ternyata surveyor.

Natahendra saat itu masih berusia 31 tahun. Ia baru memulai karirnya sebagai guru di SD Cisek. Ia kaget ketika rapat desa tiba-tiba menyepakati harga tanah yang harus dibayar, tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan warga.

“Harganya di bawah NJOP (nilai jual objek pajak). Mengapa sawah hanya dihargai 8 ribu rupiah per gantang?” kata pensiunan kepala sekolah.

NJOP adalah harga pasar wajar. Biasanya harga jual tanah selalu diatas NJOP. Tumbak merupakan satuan ukuran yang digunakan di banyak daerah di Jawa Barat, termasuk Sumedang. 1 bak mandi sama dengan 14 meter persegi.

Harga sawah saat itu hanya Rp8 ribu per tumbak atau sekitar Rp580 per meter persegi. Padahal, harga pasaran sawah saat itu adalah Rp30 ribu per tumbak. Belum lagi menanyakan kelas tanah yang salah. Ada lahan persawahan yang tertulis sebagai tanah negara. Faktanya, harga lahan sawah jauh lebih mahal dibandingkan lahan sawah yang biasanya merupakan lahan atau hutan tidak produktif.

Gara-gara penetapan harga yang ceroboh dan kesalahan klasifikasi ini, banyak warga yang marah. Termasuk Rahmad, warga desa yang paling berjuang keras saat itu. “Akhirnya Pak Rahmad dibawa ke markas Kodim dan disiksa di sana. Kaki dan lengannya patah. “Dia lumpuh,” kata Natahendra.

Beberapa orang yang ditangkap juga disiksa. Beberapa di antara mereka menjadi tuli karena telinganya dipukul. Tindakan opresif ini menyebabkan keberanian penduduk menyusut.

Termasuk Natahendra. Selain itu, ia memulai karir sebagai guru. Selanjutnya seluruh penduduk Desa Cipaku terpaksa menerima tanah mereka dibeli dengan harga jauh di bawah harga pasar.

Mereka juga dipaksa menandatangani selembar kertas untuk tujuan yang tidak diketahui. Baru kemudian diketahui bahwa formulir tersebut merupakan surat pernyataan pelepasan hak kepemilikan tanah.

Pada tahun 1984, dimulailah pembebasan lahan warga. Setahun kemudian, warga mulai menerima pembayaran. Beberapa warga meninggalkan desa. Karena pembangunan tidak pernah dimulai, beberapa warga kembali.

Ternyata pembangunannya baru dilakukan puluhan tahun kemudian. Namun berdasarkan instruksi langsung dari SK Gubernur Jawa Barat, pembangunan fisik di Desa Cipaku tidak bisa dilakukan. Seharusnya tidak ada jalan yang diaspal, listrik juga tidak boleh ada.

“Listrik baru hadir di sini pada tahun 2000an,” kata Natahendra.

Permasalahan Waduk Jatigede juga bermula dari Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2015 yang ditandatangani Presiden Jokowi pada awal Januari tahun ini. Kepala Desa Cipaku, Nurhadi menilai aturan tersebut terkesan dibuat terburu-buru dan tidak memiliki dasar hukum apa pun. “Perpres ini tidak mengacu pada landasan hukum apa pun. “Hanya kata-kata presiden,” ujarnya.

Menurut Nurhadi, Perpres tersebut dibuat tergesa-gesa dan beberapa kali mengabaikan tuntutan warga. Tuntutan tersebut antara lain mencakup konsep pembangunan ekonomi. Warga Cipaku menginginkan keamanan kerja dan keamanan ekonomi jangka panjang. (BACA: Bom Disebut Kolam)

Persoalannya, Perpres tersebut tidak memuat konsep pembangunan ekonomi bagi masyarakat yang dimukimkan kembali. Bahkan, warga juga harus beradaptasi, terutama dalam urusan pekerjaan. Pasalnya, sebagian besar warga Cipaku adalah petani.

Tidak mudah bagi mereka untuk berpindah profesi. Tampaknya pemerintah ingin masyarakat segera dipindahkan. Di sisi lain, masyarakat ingin agar prasyarat pemukiman kembali mereka terpenuhi sebelum mereka bersedia meninggalkan kampung halamannya yang terendam air.

Lembaga Bantuan Hukum Bandung berencana mengajukan peninjauan kembali (Peninjauan kembali) hingga Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2015. “Kami berharap ada Perpres baru yang lebih banyak bicara soal pengelolaan sosial, lebih banyak bicara soal ekonomi, sosial, budaya, sebelum dan sesudah banjir,” kata Arip Yogiawan, Direktur Utama. Lembaga Bantuan Hukum Bandung.

Nurhadi pun memiliki keinginan yang sama. Selama ini dia bingung kenapa Perpres tidak memuat tuntutan warga. Menurut dia, kebutuhan ideal warga adalah rumah, tanah, keamanan hidup, pembangunan ekonomi, dan pendidikan bagi anak-anak dan remaja Cipaku. “Ini yang dia inginkan, demikian bunyi Keppres. Gubernur (Jawa Barat) dan Bupati (Sumedang) berjanji, namun tidak tertulis. Aku ingin itu ditulis.”

Merujuk keterangan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, pembangunan waduk ini hampir final. Pindahkan saja orang. Besar kemungkinannya pemerintah akan mempercepat banjir di desa-desa agar Waduk Jatigede bisa segera berfungsi. Jika tuntutan warga tidak dipenuhi, kemungkinan terburuk sudah menimpa Nurhadi.

“Kemungkinan terburuknya adalah tabrakan. Kami hanya mendapat 29 juta rupiah. Jika kamu ingin pindah, kamu juga akan mati.” —Rappler.com

Artikel ini sebelumnya diterbitkan sebagai laporan fitur di geotimes.co.id. Penerbitan ulang telah disetujui oleh Geo Times.

Nuran Wibisono adalah jurnalis majalah Geo Times. Nuran adalah seorang blogger. Kunjungi blognya di nuranwibisono.blogspot.com dan ikuti Twitter-nya @nuranwibisono.


judi bola online