• October 5, 2024

Masjid Al-Imtizaj Bandung menjadi bukti bahwa Islam tidak selalu Arab

BANDUNG, Indonesia — Apa jadinya jika masjid dibangun dengan gaya dan desain candi? Hasilnya adalah bangunan masjid yang unik dan menarik perhatian.

Sekilas orang akan mengira bangunan tersebut adalah kelenteng, tempat peribadatan umat Konghucu. Namun ketika kita melihat nama di papan itu, Masjid Al-Imtizaj, maka kita akan sadar bahwa itu adalah bangunan tempat umat Islam beribadah.

Masjid Al-Imtizaj yang terletak di Jalan ABC No. 8 Banceuy, Bandung, aksen orientalnya kental banget. Bangunannya bergaya arsitektur Cina dengan ciri khas yang terlihat pada atapnya yang melengkung. Dalam arsitektur Cina, atapnya disebut atap palu paralel.

Warna kuning, emas, dan merah yang bagi etnis Tionghoa berarti kemakmuran mendominasi warna bangunan suci tersebut. Dekorasi lampion berwarna merah dapat dilihat di luar dan di dalam masjid.

Uniknya, terdapat sebuah cawan emas berukuran besar yang berfungsi sebagai tempat berwudhu. Keberadaan cawan semakin memperkuat pengaruh budaya Tionghoa pada bangunan masjid.

(BACA: Kenangan Bulan Ramadhan Sebagai Umat Kristiani)

Di depan masjid terdapat gapura dengan gapura berbentuk lonjong yang merupakan pintu masuk area masjid. Atap gapuranya memang bergaya Cina, namun di atasnya terdapat kubah yang menjadi ciri khas bangunan masjid.

Makanya disebut kuil berkubah, kata Ketua Dewan Keluarga Masjid (DKM) Al-Imtizaj Muhammad Yahya Ajlani kepada Rappler di awal Ramadhan tahun ini.

Masjid Al-Imtizaj diresmikan dan dibuka untuk umum pada tanggal 6 Agustus 2010. Pembangunan masjid berkapasitas sekitar 200 orang ini diprakarsai oleh mantan Gubernur Jawa Barat R. Nuriana dengan tujuan untuk menyatukan komunitas Muslim Tionghoa yang muncul di Kota Bandung, seperti Persatuan Islam Islam Tionghoa (PITI). , Keluarga Persaudaraan Islam (KPI) dan Yayasan Mualaf Ukhuwah Indonesia (YUMI).

Komunitas-komunitas tersebut kemudian tergabung dalam organisasi bernama Persatuan Persaudaraan Islam Tiongkok (IPTI) yang mendorong rencana pembangunan Masjid Al-Imtizaj. Keberadaan masjid tersebut juga untuk menampung warga etnis Tionghoa yang masuk Islam.

Namanya Imtizaj, yang dalam bahasa Indonesia berarti asimilasi, dalam bahasa daerah (Mandarin),’Ronge‘. Jadi diupayakan dengan pihak masjid, ada percampuran antara yang lama dan yang baru, antara pemerintah dan umat Islam sendiri, antara mereka (Muslim Tionghoa) dan birokrasi pemerintah. “Kami ingin masjid ini menjadi pemersatu,” kata Yahya.

Oleh karena itu, menurut Yahya, arsitektur masjid rancangan Danny Suwardhani sangat bernuansa Tionghoa.

“Lentera masih ada, warna merah dan kuning yang diyakini sebagai simbol kemakmuran masih ada, tulisan aksara Tionghoa terpampang di pintu gerbang. Jadi masuk masjidnya nyaman, tidak bikin risih terkejut mereka (Muslim Tionghoa),” katanya.

Belum sepenuhnya terintegrasi

Menurut Yahya, dalam Islam tidak ada aturan khusus dalam membangun masjid. Tempat mana pun bisa menjadi masjid asalkan bersih dari kotoran dan najis.

Masjid Al-Imtizaj dulunya merupakan gudang mall besar di Bandung yang menjadi aset Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Letak masjid yang berada di pusat bisnis dan perdagangan dinilai strategis bagi umat Islam Tionghoa yang banyak melakukan perdagangan di kawasan tersebut.

(Tanya MUI: Bolehkah membawa anak kecil ke masjid?)

Jalan Banceuy, tempat masjid ini berada, merupakan pusat penjualan suku cadang sepeda motor, peralatan listrik, dan perlengkapan properti. Sedangkan di dekat masjid terdapat pusat penjualan barang elektronik yaitu di Jalan ABC dan Cikapundung. Tak heran jika setiap harinya masjid ini ramai dengan banyaknya jamaah yang akan menunaikan salat lima waktu.

Namun diakui Yahya, integrasi yang menjadi misi Al-Imtizaj belum tercapai sepenuhnya. Menurut Yahya, semuanya masih berjalan.

“Dalam prosesnya ternyata permasalahannya tidak sederhana. Di kalangan Muslim Tionghoa ada beberapa permasalahan. Ada yang masuk Islam secara terang-terangan, ada pula yang diam-diam. “Ada juga kasus ingin terlibat dalam suatu kegiatan, tetapi tidak mau menjadi pengurus karena kesibukan atau alasan lain,” kata Yahya.

Oleh karena itu, pengelolaan DKM Al-Imtizaj masih dipegang sepenuhnya oleh warga adat. Namun kegiatan pelatihan rutin bagi Muslim Tionghoa tetap berjalan, seperti ceramah yang dihadiri sekitar 50 Muslim Tionghoa.

Pengurus DKM juga masih terbuka melayani permintaan warga China yang berniat masuk Islam.

‘Islam tidak selamanya Arab’

Selama bulan Ramadhan, Yahya mengaku tidak ada kegiatan khusus di Al-Imtizaj. Cukup salat tarawih dan buka puasa bersama. Meski demikian, masjid ini tetap dikunjungi umat Islam yang ingin menunaikan shalat lima waktu dan mengaji.

Salah satu jemaah masjid, Mauludi mengaku kagum dengan arsitektur Al-Imtizaj. Awalnya, warga Bandung ini tak menyangka bangunan di sudut Jalan Banceuy itu adalah masjid.

“Awalnya saya ragu, saya pikir itu bukan masjid,” kata Muslim Tionghoa itu. (Sastra Ramadhan: Mereka yang Menilai Islamku)

Menurut Mauludi, keberadaan Al-Imtijaz membuktikan bahwa Islam tidak harus selalu Arab. Bangunan masjid juga dapat disesuaikan dengan kondisi sekitar.

“Jadi, umat Islam tidak harus bernuansa Arab, bisa dipadukan dengan budaya lain. Islam itu kompatibel di mana pun,” kata pemuda berusia 26 tahun itu.

Warga Bandung lainnya, Herliawan, pun memuji gaya bangunan masjid tersebut. Menurutnya, memadukan dua budaya berbeda dalam sebuah bangunan masjid tidak menjadi masalah.

“Tidak masalah. Bagus dan bisa membuat nyaman bagi keturunan muslim,” kata kakek berusia 69 tahun itu. —Rappler.com

sbobet mobile