• October 6, 2024

Melegalkan pernikahan beda agama adalah perjuangan yang sulit namun perlu

Saya tinggal di negara yang pemerintahnya cenderung mencampuri urusan masyarakat jika menyangkut urusan pribadi, seperti mengatur siapa yang boleh dinikahi atau tidak.

Pada hari ketika saya dan pacar saya memutuskan untuk mencoba hubungan antaragama, saya mengatakan kepadanya, “Kami pada dasarnya sudah mencapai titik temu yang kokoh.”

“Dinding” tersebut adalah Undang-Undang Perkawinan tahun 1974, yang selama puluhan tahun mempersulit pasangan seperti kita untuk menikah di Indonesia.

Bukannya tidak ada yang mencoba mendobrak tembok ini. Tahun lalu, seorang mahasiswa dan empat lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan uji materi pasal 2 ayat 1 undang-undang tersebut.

Pemohon meminta pengadilan memberikan penafsiran baru terhadap pasal yang mendefinisikan perkawinan sah hanya jika diresmikan menurut agama kedua mempelai. Mereka berpendapat undang-undang tersebut melanggar Pasal 28 E undang-undang yang sama, yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai kebebasan untuk beribadah dan mengamalkan agama pilihannya.

(BACA: Perdebatan pernikahan beda agama kembali muncul di Indonesia)

Sejak lama, penafsiran perkawinan membuat banyak pasangan beda agama mempunyai pilihan: berpisah, berpindah agama, atau menikah di luar negeri, karena ulama cenderung mensyaratkan calon pengantin harus seagama. Menurut para pemohon, hal tersebut menyimpang dari esensi undang-undang sehingga meminta Mahkamah Konstitusi mengevaluasinya.

Argumen mereka beralasan ditolak oleh pemerintah. Staf Ahli Hukum dan Hak Asasi Manusia Machasin mengatakan bahwa diterimanya petisi ini berarti bahwa ketidakharmonisan di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam mungkin terancam.

Pekan lalu, Mahkamah Konstitusi menolak uji materi tersebut dengan alasan seperti penghormatan dan pengakuan terhadap “hak dan kebebasan orang lain”, pemenuhan keadilan yang “sesuai dengan nilai moral dan agama”, serta pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.

Bukankah itu pembenaran paling menyimpang yang pernah Anda dengar?

Pertama, keadilan bersifat universal, sedangkan “nilai moral dan agama” bersifat subjektif.

Kedua, tidaklah benar mengorbankan hak-hak dasar tertentu hanya demi menjaga ketertiban. Bagaimana kalau mencari jalan tengah?

Dan yang ketiga, bagaimana dengan pandangan pesimistis? Apakah pemerintah benar-benar yakin bahwa kita sebagai bangsa Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa, bahwa urusan pribadi seperti urusan perkawinan bisa menjadi ancaman bagi keamanan nasional? Lalu apa peran negara jika tidak bisa menjaga ketertiban di negara yang beragam etnis dan agama ini?

Mungkin hubungan antaragama bukan untuk masyarakat Indonesia karena semboyan kami Bhinneka Tunggal Ika (Bhinneka Tunggal Ika) hanyalah sebuah slogan – sama seperti mitos Garuda, simbol negara.

(BACA: Mahkamah Konstitusi menolak menaikkan usia minimum menikah bagi anak perempuan)

Hakim Arief Hidayat dari Mahkamah Konstitusi mengatakan: “Berdasarkan Konstitusi kita, Indonesia bukanlah negara Muslim dan bukan negara sekuler. Landasan kami adalah Pancasila yang menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa harus diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.”

Dengan kata lain, ia mengatakan bahwa mereka yang menikah dengan orang yang berbeda agama baik tidak satu pun atau lebih dari satu ritual keagamaan (seperti yang dilakukan oleh beberapa pasangan beda agama ketika mereka menikah) tidak setia pada Pancasila. Di sinilah menurut saya negara terlalu banyak campur tangan dalam hubungan masyarakat dengan Tuhannya.

Negara seharusnya menjamin hak-hak warga negaranya selama mereka sudah memilih salah satu dari enam agama yang diakui. Pancasila bukanlah alasan untuk menolak pernikahan beda agama, karena secara teori, seperti yang ditunjukkan oleh KTP kita masing-masing, semua orang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun Tuhan seseorang mungkin berbeda dengan Tuhan orang lain.

Saya percaya negara harus mengizinkan pernikahan beda agama didaftarkan dan menyerahkan kepada masing-masing individu untuk menjalankan keyakinannya masing-masing. Jika tidak, mereka sebaiknya mengatakannya secara langsung untuk menghindari ambiguitas mengenai apakah negara bisa atau tidak bisa melegalkan pernikahan beda agama.

Mereka mungkin juga berkata: “Pasangan beda agama bisa meninggalkan negara ini dan menikah di tempat lain. Mereka yang tidak mempunyai keberanian dan uang untuk melakukannya hanya harus menyedotnya dan menderita dalam diam, karena begitulah cara kita melakukannya.”

Namun bukan hanya pemerintah, masih banyak orang yang menganggap pernikahan beda agama tidak dapat diterima atau dianggap mencurigakan. Wartawan media bertanya kepada salah satu pemohon, yang akrab disapa Anbar Jayadi, apakah ia mengajukan peninjauan kembali karena ingin menikah dengan kekasihnya yang berbeda agama.

Anbar menjawab, “Tidak, saya tidak punya pacar. Saya masih lajang, tetapi tidak satu pun dari kami yang tahu dengan siapa kami akan bertemu, jatuh cinta, dan menikah di masa depan. Itu sebabnya kami membutuhkan negara untuk menjamin hak-hak kami sehingga kami dapat memiliki status hukum yang jelas dalam hal ini.”

Kecurigaan media bahwa dia dimotivasi oleh agenda pribadinya, bukan keinginan untuk meninjau ulang undang-undang, mencerminkan cara kerja masyarakat kita. Karena bias agama, tidak banyak orang yang mengenal gagasan pernikahan beda agama. Yang lebih sulit diubah daripada hukum adalah norma.

Keyakinan umum adalah bahwa pasangan yang berbeda agama membuat pernikahan lebih rentan terhadap konflik dan perpisahan dibandingkan pernikahan seagama, namun ini adalah generalisasi yang terburu-buru. Saya mengenal banyak pasangan beda agama yang bisa menjalaninya dengan baik. Saya percaya setiap pasangan memiliki dinamikanya masing-masing. Ya, agama bisa menjadi faktor penting, namun itu bukan satu-satunya aspek penentu yang berkontribusi terhadap keberhasilan pernikahan.

Saya sendiri belum menikah, namun belajar dari orang tua saya dan banyak pasangan suami istri, saya yakin kunci sukses pernikahan adalah komunikasi yang baik yang harus dipupuk bahkan sebelum pernikahan. Pasangan tersebut harus bersedia berdiskusi dan berkompromi dalam pengambilan keputusan mengenai segala hal, termasuk apakah mereka menginginkan anak atau tidak, dan, jika akan ada anak, bagaimana mereka akan membesarkan anak, dll., untuk meminimalkan potensi perselisihan. di masa depan.

Tapi saya tidak kehilangan harapan. Meski uji materiil ditolak Mahkamah Konstitusi, perubahan bisa terjadi jika kita terus berusaha. Ini mungkin menantang, tapi bukan tidak mungkin. Ada juga kelompok yang menawarkan untuk memfasilitasi hubungan antaragama seperti nikahbedaagama.org.

Kita cukup beruntung memiliki orang-orang seperti para pembuat petisi yang peduli terhadap perubahan undang-undang untuk memperbaiki negara kita. Pada akhirnya, menjadi tanggung jawab kita sebagai masyarakat Indonesia untuk bersikap kritis terhadap undang-undang yang sudah tidak relevan lagi dan perlu dievaluasi kembali. Kita dapat secara aktif memulai, berpartisipasi, dan berkontribusi terhadap perubahan dengan mendukung berbagai tujuan, mungkin melalui petisi online.

Sedangkan untuk pacarku dan aku, kami belum akan mundur, tidak sampai kami mencapai medan perang, hanya karena keadaan terlihat sangat berantakan dari sini. Mendobrak tembok tidak pernah mudah, jadi sebaiknya kita mulai mengebor sekarang. —Rappler.com

Ayunda mempunyai rentang perhatian seperti ikan mas. Dia percaya pada sifat kosmos dan berpikir bahwa sedikit kegilaan diperlukan. Hidupnya adalah tentang menemukan jalan baru dan mencari hal-hal baru. Temukan dia di Twitter: @ayundanurvi.

Artikel ini awalnya diterbitkan pada Magdalena.coSebuah publikasi online berbasis di Jakarta yang menawarkan perspektif segar melampaui batas-batas gender dan budaya pada umumnya.

Togel Singapura