• November 26, 2024

Melihat Indonesia dari kursi roda bersama Sri Lestari

“Hari ini saya resmi tiba di Point Zero di Pulau Sabang. “Bagi sobat yang berwisata ke Pulau Sabang jangan lupa mampir ke Pantai Iboih yang sangat indah.”

Ucapan terima kasih di atas disampaikan Sri Lestari kepada pemirsa video perjalanan yang diputar di hadapan peserta diskusi publik “Penerapan Peraturan Prasarana dan Sarana Angkutan Umum Ramah Penyandang Disabilitas” (#cities4all) yang dilaksanakan pada hari Sabtu. (11/10) digelar. Diskusi ini diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Eisenhower Fellows Indonesia, di aula Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Jakarta.

Indahnya pemandangan Pulau Sabang membuat penonton terperangah.

“Wow, luar biasa. Mbak Sri yang menggunakan kursi roda tiba di Sabang. “Saya belum pernah ke sana,” gumam peserta yang hadir.

Ada emosi. Juga memerah. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu serta pejabat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif termasuk di antara peserta. Mata mereka terpikat dengan keindahan yang dibagikan Sri Lestari kepada penonton.

Saya menawarkan kesempatan itu dan spontan berkomentar: “Sri Lestari sebenarnya mempromosikan pariwisata Indonesia. Video yang mengabadikan perjalanan Sri diposting di saluran YouTube dan dapat diakses dari mana saja.”

Perjalanan Sri yang tujuan utamanya mengkampanyekan hak aksesibilitas bagi penyandang disabilitas ternyata sekaligus mempromosikan keindahan Indonesia.

Perjalanan Sri Lestari dari Sabang menuju Jakarta yang berakhir pada 9 Oktober 2014 melewati sejumlah kota dan tempat menarik. Orang yang memiliki tubuh dan panca indera normal belum tentu mampu melakukan perjalanan sejauh 2.500 kilometer melalui jalur darat.

Medan yang kasar. Di beberapa tempat, infrastruktur jalan rusak. Perkantoran dan gedung-gedung publik sama sekali tidak cocok untuk penyandang disabilitas. Begitu pula sejumlah destinasi wisata yang diandalkan sebagai sektor penting untuk menyalurkan uang ke kas negara.

Mengikuti perjalanan Sri Lestari seperti melihat Indonesia dari kursi roda. Sepanjang perjalanan ia bertemu dengan ratusan orang dari berbagai komunitas. Berhubungan dengan berbagai permasalahan sosial.

Isu kebakaran hutan ilegal. Persoalan akses pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus. Masalah kesetaraan gender. Isu persamaan hak akses bagi penyandang disabilitas. Saya membayangkan betapa kayanya pengalaman dan ilmu yang diperoleh Sri Lestari dari perjalanan inspiratifnya. Bukankah pengalaman ini menjadi masukan yang sangat berharga bagi para pengambil keputusan di berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta?

Di Pulau Samosir, Sumatera Utara, ia menikmati objek wisata Gale-Gale. Di Palembang, Sumatera Selatan, Sri menikmati pemandangan Jembatan Ampera, mengunjungi sentra tenun dan mengumpulkan informasi tentang proses tenun sangket Palembang yang sangat terkenal. Di sana ia juga melihat Al-Quran terbesar di dunia.

Di Lampung, ia mengunjungi Balai Konservasi Gajah Way Kambas. Di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, ia menikmati Kuliner Kapau.

Sungguh pengalaman yang luar biasa. Pengalaman itu didapat karena semangat luar biasa dari seseorang yang sudah 10 tahun mendekam di rumah sejak kecelakaan yang merenggut dua kakinya. Kisah Sri Lestari sudah saya ceritakan secara tertulis Di Sini.

Menurut saya Sri Lestari layak menjadi Duta Pariwisata Indonesia. Beranikah Kemenpar menjadikan pengalaman Sri Lestari sebagai salah satu cara mempromosikan pariwisata? Bukankah sudut pandang “orang biasa” mempunyai potensi lebih besar untuk menciptakan “keterlibatan” atau keterlibatan emosional? Kalau Sri bersedia dan mampu, kenapa saya tidak?

Saya menyampaikan pertanyaan ini kepada produsen swasta juga. Akankah mereka menggunakan sosok seperti Sri Lestari sebagai duta produknya? Produsen kendaraan bermotor cenderung mencari sosok wanita cantik dan langsing serta mengemasnya dalam riasan seksi untuk mengiklankan produk sepeda motornya. Apakah mereka mengetahui kualitas produk yang ditawarkan? Padahal produk konsumen biasanya ingin menyasar semua ceruk pasar.

Kecenderungan produsen dan biro iklan yang menggunakan wajah selebriti, baik aktor maupun aktris, untuk menjual produk kerap menjadi perhatian dalam berbagai perbincangan media. Produsen biasanya ingin menawarkan produknya kepada konsumen sebanyak-banyaknya. Produk untuk semua orang. Namun yang menjadi duta adalah wanita cantik atau pria tampan dengan tubuh kekar dan menarik. Ada produk minuman herbal yang pernah menggunakan sosok mendiang Mbah Maridjan sang kuncen Gunung Merapi. Meski demikian, sosok lain dalam iklan tersebut tetaplah selebritis.

Belum lagi produk kecantikan yang mengandung pemutih wajah. Bintang iklan tersebut juga memiliki kulit putih mulus. Sebenarnya ada unsur “menyesatkan” konsumen karena bagi yang berkulit gelap, bagaimana bisa kulitnya putih?

Hal yang sama juga terjadi di industri televisi. Kecenderungan mencari presenter yang “asyik ditonton” masih mendominasi. Kecuali Anda adalah pemilik atau sutradara yang bisa berbuat apa saja dan tampil di layar televisi yang dikelolanya, jangan berharap wajah “biasa” bisa berpeluang menjadi ikon acara. Termasuk program jurnalisme.

Pengecualian ada di acara komedi.

Dimas Muharam, seorang tuna netra pendiri perkumpulan Karya Tuna Netra melontarkan sindiran kepada kami yang hadir dalam diskusi tersebut. Saya yang dulunya bekerja di televisi merasa paling terhina (saya menerimanya dengan lapang dada). Dimas yang dengan gamblang memaparkan idenya di @IDNyaman mengatakan, “Meski tak bisa nonton, kita juga bisa jadi presenter televisi. Ada yang berani ngajak kita?”

Program @IDNyaman merupakan website yang mengajak seluruh warga untuk turut serta melaporkan fasilitas umum yang tidak memenuhi syarat kota ramah semua. Dimas dan kawan-kawan di Karya Tuna Netra juga meluncurkan dua buku cerita pendek. Dua tahun lalu mereka mengundang saya untuk memberikan pelatihan jurnalisme.

Menembus “zona nyaman” inilah yang dilakukan situs media sosial Rappler.Com. Didirikan oleh sejumlah jurnalis di Filipina, situs media ini memenangkan Spark Award atas kampanye #WHIPIT yang dijalankannya untuk merek pencuci rambut yang diproduksi oleh grup produk kecantikan. Alih-alih menggunakan sosok perempuan cantik untuk mempromosikan produk kecantikan rambut, tim Rappler.com menggunakan pendekatan jurnalistik sensitif gender dengan mengemas kampanye yang melibatkan kisah hidup berbagai perempuan yang mewakili masyarakat Filipina.

#WHIPIT telah meraih kesuksesan besar, termasuk menduduki Trending Topic di Twitter. Komunikasi produk dihadirkan untuk merangkul seluruh lapisan perempuan di Filipina yang notabene serupa dengan Indonesia. Mulai dari perempuan yang berprofesi sebagai polisi, perempuan tunanetra, perempuan yang bekerja di lapangan, ditampilkan aspek-aspek kehidupannya. Inovasi yang dilakukan oleh tim #BrandRap telah menarik kekaguman dari perusahaan besar seperti Facebook dan Google. Anda bisa mengikuti ceritanya di sini.

Rappler didirikan dengan tim kecil, kombinasi jurnalis berpengalaman dan penggemar internet muda. “Apa yang kami lakukan dengan kampanye #WHIPIT adalah membangun kolaborasi melalui beragam kisah kehidupan perempuan di Filipina, menggunakan pendekatan jurnalistik, crowdsourcing, dan data dari proses teknologi,” kata Maria Ressa, pendiri dan CEO resmi Rappler.

Saya bertemu Maria Ressa dua minggu lalu di Manila. Sudah lama kami tidak bertemu sejak menjabat sebagai Kepala Biro CNN Indonesia pada tahun 90an, apalagi di era reformasi. Kami bertemu lagi pada awal September tahun ini di Bali pada Forum Media Global. Kami menginap di hotel yang sama yang disediakan panitia untuk para pembicara.

Banyak pandangan inspiratif yang ingin saya bagikan kepada Anda dari perbincangan #cities4all, Sabtu lalu, serta dari pengalaman Sri Lestari dan para pembicara lain yang hadir. Ada Ny. Sinta Nuriyah Gus Dur yang menceritakan bagaimana dirinya mengikuti perkuliahan dengan menggunakan kursi roda di kampus yang tidak ramah terhadap penyandang disabilitas. Ada Wali Kota Banda Aceh, Illiza Saa’dudin Djamal yang bertekad menjadikan Banda Aceh ramah bagi penyandang disabilitas. Pembicara inspiratif lainnya juga Eka Lorena Sari, Elisa Sutanudjaja, Totok Suryono dan Maria Lihawa. Jangan lupakan Mari Pangestu yang mengatakan, “Melalui diskusi ini, kesadaran kita terhadap isu disabilitas meningkat 1.000 persen.”

Namun kali ini saya masih teringat keindahan Indonesia yang Sri bagikan kepada kita semua. Untuk melihat Indonesia secara berbeda.

Anda bisa menyaksikan video perjalanan Sri Lestari melintasi Pulau Sumatera Di Sini.

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi berita dan terkini di ANTV. Ikuti Twitter-nya @unilubis

Artikel ini sebelumnya telah diterbitkan di blog pribadinya di unilubis.com.


Live Casino Online