• October 8, 2024

Memperkuat pelaksanaan pilkada langsung

Mekanisme pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota) menjadi perbincangan hangat di ruang publik. Yang perlu kita pahami bersama adalah bahwa memilih adalah wujud masyarakat dalam mengekspresikan pilihan politiknya. Membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat dalam pemilu merupakan wujud implementasi asas “luber dan jurdil” dalam pemilu yang berdampak pada peningkatan kualitas pemilu dan hasil pemilu.

Secara institusional, Komisi Pemilihan Umum (GEC) memutuskan berada pada posisi tidak berpendapat dalam perdebatan mekanisme pemilihan kepala daerah. Namun kami ingin menyampaikan kepada masyarakat beberapa hal yang menjadi catatan dan pengalaman bangsa kita selama satu dekade penyelenggaraan pilkada langsung sejak tahun 2004 berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pendanaan pemilu daerah

UU 32/2004 menempatkan tanggung jawab pembiayaan pilkada pada pemerintah daerah. Usulan Komisi Pemilihan Umum (GEC) mengenai pendanaan pemilu daerah harus mendapat persetujuan dari pemerintah daerah yaitu pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Situasi ini menempatkan KPU pada posisi harus berkomunikasi dan bernegosiasi dengan pemerintah untuk memastikan alokasi anggaran disetujui dan sesuai kebutuhan.

Aspek pendanaan yang diperoleh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RPBD) berpotensi menjadi ‘senjata’ kepala daerah yang sudah mapan untuk menekan dan melakukan intervensi terhadap penyelenggara pemilu. Jika penyelenggara pemilu tidak kuat menghadapi situasi seperti ini, maka prinsip independensi, integritas, dan kemandirian akan terabaikan.

Namun secara nasional, dalam satu dekade terakhir, pilkada berjalan baik dan mendapat dukungan dari pemerintah daerah. Proses komunikasi dan negosiasi anggaran yang cukup panjang dan melelahkan hanya terjadi di dua daerah yaitu Provinsi Lampung dan Provinsi Maluku Utara untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur.

Instrumen hukum sebenarnya memberikan format pembiayaan pilkada yang lebih fleksibel. Apabila pemerintah kesulitan menyediakan anggaran pilkada dalam satu tahun anggaran, pemerintah dapat membuat dana cadangan. Oleh karena itu, tidak ada alasan rasional bagi pemerintah daerah untuk tidak menyediakan anggaran pilkada. Jika pemerintah ingin ke depannya penyelenggara pemilu tidak perlu bernegosiasi dengan pemerintah daerah, maka aspek pembiayaan harus menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Hal ini sesuai dengan rezim penyelenggaraan pemilu yang sepenuhnya menjadi kewenangan KPU.

Kampanye kandidat

Kegiatan kampanye merupakan salah satu tahapan penting dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada. Kampanye merupakan salah satu cara kandidat untuk mengkomunikasikan visi, misi dan programnya kepada pemilih. Selain itu, kampanye merupakan salah satu cara masyarakat untuk mengenal kandidat secara detail, tidak hanya mengenai visi, misi, dan programnya, namun juga mengenai kehidupan pribadi sang kandidat.

Secara umum, penyelenggaraan kampanye pemilu daerah tidak jauh berbeda dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden. Meskipun tentunya ada pengaturan pemasangan baliho dan spanduk untuk menjamin keadilan bagi seluruh peserta pemilu dan semangat efisiensi yang dapat diterapkan dalam pilkada.

Ada 9 cara kampanye pilkada yang dibenarkan menurut Pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu rapat terbatas, tatap muka dan dialog, distribusi melalui media cetak dan elektronik, penyiaran melalui radio dan televisi, pemasangan alat peraga. di tempat umum, rapat umum, debat publik/debat terbuka antar calon dan kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

Ruang dialog antara kandidat dan pemilih harus dibuka seluas-luasnya. Pemilih harus menerima informasi sebanyak mungkin tentang kandidat. Penting untuk mendorong lahirnya pemilih yang rasional, cerdas, dan mandiri. Sayangnya, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, waktu yang diberikan bagi calon untuk berkampanye sangat terbatas. Pasal 72 ayat 2 menyebutkan kampanye dilaksanakan selama 14 hari dan berakhir 3 hari sebelum hari pemungutan suara. Waktu 14 hari tentu terlalu singkat bagi pemilih untuk memahami profil kandidat secara mendalam.

Daftar pemilih

Peraturan pilkada tidak mengenal adanya daftar pemilih khusus (DPK) dan daftar pemilih khusus tambahan (DPK TB). Kelemahan peraturan pilkada tersebut kini telah teratasi dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 85/PUU-X/2012. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menegaskan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai tidak mencakup warga negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam Daftar Tetap. . daftar pemilih sementara (DPT), pemilih sementara (DPS), daftar pemilih sementara hasil revisi (DPSHP), daftar pemilih sementara hasil revisi (DPSHP), dan daftar calon pemilih pemilu (DP4).

Putusan MK tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Edaran KPU RI nomor 186/KPU/III/2013 tentang Penjelasan Tindak Lanjut Putusan MK Nomor 85/PUU-X/2012 tanggal 27 Maret 2013. Sejak saat itu, Pemilih yang namanya tidak tercatat dalam DPT tetap dapat menggunakan hak pilihnya.

KPU telah mengatur tata cara pelaksanaan hak pilih bagi warga negara yang namanya tidak tercatat dalam DPT, yaitu: (1) yang menunjukkan KTP dan Kartu Keluarga (KK) atau nama sejenis yang masih berlaku; (2) pelaksanaan hak pilih hanya dapat dilakukan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berlokasi di RT/RW atau nama serupa sesuai dengan alamat yang tertera pada KTP; (3) sebelum menggunakan hak pilihnya, yang bersangkutan harus mendaftar terlebih dahulu pada KPPS setempat; (4) pemungutan suara dilakukan dalam waktu 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS; (5) Pemilih yang menggunakan hak pilihnya dicatat dalam Formulir C1-KWK pada kolom pemilih di TPS lain dan juga dicatat dalam Formulir C3 (surat keterangan keberatan saksi dan kejadian khusus yang berkaitan dengan hasil pemungutan suara dan suara pemilu daerah yang dihitung). TPS).

Suara dihitung

Dalam penghitungan suara, aspek transparansi sangat penting untuk memastikan hasil pemilu sesuai dengan keinginan rakyat. KPU telah memulai proses transparansi hasil penghitungan suara pada Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014. KPU memberikan hasilnya memindai sertifikat hasil penghitungan suara di tingkat TPS (form C1). situs web KPU yang dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Formulir C1 berhasil diselesaikanmemindai dan diunggah ke situs web 98 persen tercapai.

Publikasi hasil pemilu yang transparan mendorong partisipasi masyarakat untuk mengawal penghitungan dan penghitungan ulang suara berjenjang yang dilakukan oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), panitia pemungutan suara (PPS), panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). . Setidaknya ada enam crowdsourcing situs web yang ikut serta dalam penghitungan suara dan mempublikasikannya, seperti Kawalpelilu, Kawalbangunan, realcount, Pilpres 2014, data Pilpres dan Aneh C1.

(BACA: Penjaga Suara Indonesia)

Model transparansi hasil pemilu pada pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat diterapkan pada pemilu daerah. Transparansi akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu yang sedang berjalan. Potensi konflik akibat tuduhan manipulasi akan dapat dihindari. Masyarakat juga akan tergerak untuk ikut mengawasi proses penghitungan dan rekapitulasi yang sedang berlangsung.

Sebagai penyelenggara, KPU berkewajiban memberikan pelayanan terbaik kepada pemilih dalam menggunakan hak pilihnya. Pada awalnya peraturan pilkada mempunyai kelemahan dalam hal perlindungan hak konstitusional warga negara. Dimana warga negara harus terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih agar dapat menggunakan hak pilihnya. Warga yang tidak termasuk dalam pendataan Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) tidak bisa menggunakan hak pilihnya.

Model transparansi hasil pemilu pada pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat diterapkan pada pemilu daerah. Transparansi akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu yang sedang berjalan. Potensi konflik akibat tuduhan manipulasi akan dapat dihindari. Masyarakat juga akan tergerak untuk ikut mengawasi proses penghitungan dan rekapitulasi yang sedang berjalan.

Itulah berbagai aspek penyelenggaraan pilkada yang patut menjadi perhatian kita semua. Bangsa kita telah mempunyai banyak pengalaman dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada. Beberapa titik lemah dari segi hukum pemilu (aspek hukum pemilu) dan proses pemilu (Proses pemilu) dalam pemilukada pasca-konflik terus ditingkatkan untuk melayani rakyat dalam menjalankan kedaulatannya.

Ferry Kurnia Rizkiyansyah merupakan komisioner Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI). Ikuti Twitter-nya @FerryKR.

Artikel ini sebelumnya diterbitkan oleh Gedung Pemilihan.


Togel Sidney