Menanggapi politik dinasti, meritokrasi adalah yang terpenting
- keren989
- 0
Apakah politik dinasti salah? Haruskah praktik ini dicegah dan dibatasi?
Ada Ratu Tatu Chasanah, adik Ratu Atut yang akan maju sebagai calon bupati di Kabupaten Serang.
Di Kota Tangsel, hal serupa juga dilakukan adik ipar Atut, Airin Rachmi Diany. Sedangkan menantunya yang merupakan suami dari putri kedua Atut, Tanto Warsono Arban, akan maju di Kabupaten Pandenglang.
Situasi ini kembali memicu perdebatan mengenai kelangsungan “politik dinasti” di Provinsi Banten.
Pemilihan presiden telah usai. Inilah Karya Besar Tangsel dan Banten: Menghalangi Dinasti. http://t.co/uWTpHnez9T
— Pilih Tangsel (@jptangsel) 29 Juli 2015
Sebenarnya, apakah politik dinasti itu salah?
Pengamat Poltracking Institute Hanta Yuda berpendapat, apa pun latar belakang calon pasangan calon, yang terpenting adalah penerapan prinsip meritokrasi dalam proses pemilu, baik oleh partai maupun masyarakat.
“Saya kira yang terpenting dalam rekrutmen dan seleksi oleh partai politik dan ketika masyarakat memilih, landasannya adalah meritokrasi,” kata Hanta kepada Rappler, Kamis, 30 Juli.
“Sehingga calon tersebut mempunyai kinerja, kompetensi, dan integritas yang baik. Kalau calon tertentu ternyata anggota keluarga, tapi dia mampu dan melakukannya rekam jejak “Tidak apa-apa, tidak masalah,” katanya.
Namun, Direktur Eksekutif Persatuan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini tidak sependapat dengan Hanta. Menurut Titi, masih adanya politik dinasti di berbagai daerah, termasuk Banten dalam peta politik tanah air, harus dicegah dan dibatasi.
“Hal ini diperlukan untuk mencegah konflik kepentingan yang dalam pengalaman empiris di Indonesia sering terjadi ketika anggota keluarga petahana dicalonkan. Mulai dari penyalahgunaan wewenang, politisasi birokrasi hingga intimidasi, kata Titi.
Mengekang politik dinasti yang inkonstitusional
Harapan untuk membatasi secara hukum pertumbuhan dan perkembangan politik dinasti hadir saat itu UU No. 8 Tahun 2015 lahir dan memiliki sejumlah peraturan dalam UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang.
Pada pasal 7 huruf r disebutkan calon kepala daerah tidak boleh mempunyai benturan kepentingan dengan petahana.
Pada bagian penjelasan dijabarkan bahwa yang dimaksud dengan benturan kepentingan adalah “tidak mempunyai hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau keturunan dari satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan pemegang jabatan yaitu ayah, ibu, mertua. mertua, paman, bibi, kakak laki-laki, adik, mertua, anak dan mertua, kecuali telah lewat satu masa jabatan.”
Nanti melalui prosesnya peninjauan kembali, Mahkamah Konstitusi (KC) memutuskan aturan tersebut inkonstitusional. Titi menyayangkan tindakan MK.
“Menurut saya, MK terlalu fokus pada hak sanak saudara warga negara untuk duduk dalam pemerintahan ditinjau dari pasal 27 UUD 45. MK mengabaikan amanah lain yaitu pasal 18 ayat 4 UUD 45 yang warga negara berhak atas pemilukada yang demokratis,” kata Titi.
Tidak harus berdasarkan undang-undang
Akademisi Departemen Ilmu Politik Universitas North-West yang sudah cukup lama meneliti politik dinasti di Indonesia, Yoes Kenawas, punya pendapat tersendiri mengenai persoalan ini.
Menurut Yoes, penanganan dampak negatif politik dinasti tidak perlu dilakukan dalam kerangka hukum.
“Saya melihat beberapa kritik terhadap politik dinasti yang terlalu menekankan dampak buruknya. Implikasinya, mereka menganggap pemutusan rantai dinasti politik harus dilakukan melalui undang-undang yang membatasi hak-hak dasar politik, kata Yoes.
“Yang harus kita lihat adalah masalahnya lemahnya pengawasan pemilu, penegakan hukum, dan lemahnya institusionalisasi partai politik. “Arah kebijakan ke depan harus menyasar tiga hal tersebut,” ujarnya. — Rappler.com
Baca juga: Solusi Cegah Politik Dinasti