Mengapa Jakarta tidak menjadi tujuan wisata utama?
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Jakarta mungkin memiliki lebih dari 170 pusat perbelanjaan, namun masih banyak destinasi wisata ibu kota yang belum tergarap, menurut Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta Purba Hutapea.
Dalam diskusi panel pada forum New Cities Summit 2015 di Ciputra Artpreneur, Jakarta Selatan, Rabu, 10 Juni, Purba mengatakan bBanyak orang lupa bahwa Jakarta lebih dari sekadar kota metropolitan dan pusat perekonomian. Padahal, Jakarta mempunyai potensi wisata budaya yang cukup besar.
Enam wilayah di Provinsi DKI Jakarta memiliki beragam pilihan objek wisata, mulai dari Kota Tua, kawasan Monumen Nasional (Monas), pusat kebudayaan Setu Babakan, hingga Kepulauan Seribu.
Sayangnya, gambaran yang terpatri di benak wisatawan mengenai Jakarta hanya sebagai pusat perbelanjaan dan pusat bisnis. Faktanya, tidak banyak warga Jakarta yang ingin mengunjungi sendiri tempat-tempat tersebut dan memilih menghabiskan waktu luangnya di pusat perbelanjaan.
(BACA: Membangun potensi seni dan budaya daerah di Jakarta)
“Gambar Jakarta lebih merupakan tempat bisnis, bukan hiburan. “Wisatawan hanya menginap di sini 2-3 hari sebelum pindah ke Bali atau Jogja,” kata Purba.
“Bahkan karyawan kami tidak melihat budaya sebagai objek strategis. Bagi mereka, infrastruktur lebih strategis. Agen tur juga enggan membuka layanan wisata di Jakarta karena kemacetan, ujarnya.
Bahkan, kata Purba, Pemprov DKI Jakarta punya 54 museum, pemerintah pusat punya 7 museum, dan masih ada beberapa museum swasta lainnya. Belum lagi kawasan budaya seperti Setu Babakan di Jakarta Selatan dan kawasan Kota Tua di Jakarta Barat.
Permasalahan lainnya, menurut Purba, adalah minimnya minat warga dan wisatawan terhadap wisata budaya.
“Anak muda lebih tertarik pada konser dibandingkan museum,” ujarnya. “Sebenarnya kalau kita lihat di kawasan Kota Tua, di sana ada 4 museum, tapi masyarakat hanya berkumpul di luar dan tidak mau masuk ke dalam. Mereka tidak mau melihat museum, yang ada hanya museum yang mengawasinya.”
Meski telah mencoba beberapa peluang untuk menarik minat wisatawan terhadap budaya Jakarta, Purba yakin masih banyak yang bisa dilakukan. Namun semua itu memerlukan peraturan yang mengikat.
“Tidak ada undang-undang tentang kebudayaan. “Kami masih menunggu DPRD yang membuat,” ujarnya. “Kita juga perlu meningkatkan infrastruktur, merekserta iklan pariwisata Jakarta.”
“Kita sudah punya anggaran yang cukup, tapi tanpa infrastruktur, apalagi terkait kemacetan tentu masih ada kendala. Kami bahkan mewajibkan kunjungan sekolah ke museum. Tapi ya, kembali ke masalah pertama. “Anak-anak lebih tertarik ‘tidak bersekolah’ dibandingkan ‘mengunjungi museum’,” kata Purba.
Iklan Pariwisata, Efektifkah?
Berbicara tentang merek dan iklan pariwisata Jakarta, apakah efektif? Apakah iklan sporadis benar-benar dapat meningkatkan jumlah wisatawan untuk wisata budaya?
JT Singh, dari perusahaan konsultan JT Singh Lab, mengatakan iklan terbaik bukanlah iklan berbayar.
“Pesannya harus datang dari kota itu sendiri. “Jika kita memperbaiki kota untuk warganya, memperkuat kota, maka orang-orang dari luar akan tertarik,” ujarnya. “Bagaimanapun, kebudayaan bukan hanya tentang museum, tapi juga tentang sejarah, teknologi, pendidikan. Budaya juga mencakup hal-hal kontemporer.”
Jakarta mempunyai pekerjaan rumah untuk dirumuskan dan diperkuat merek wisata budaya, kalau tidak ingin dikenal hanya sebagai surga belanja.
“Setiap daerah punya DNA-nya masing-masing—kehidupan ekonominya, sejarahnya, dan sebagainya. “Lalu DNA apa yang mewakili seluruh aspek kota ini yang bisa diingat ketika nama kota (Jakarta) disebutkan?” kata Singh.
Pengaruh duta pariwisata terhadap promosi
Pengenalan budaya dan pariwisata Jakarta tidak lepas dari Abang-None Jakarta, duta pariwisata ibu kota yang beranggotakan generasi muda terpilih dari masing-masing kota administratif.
30 finalis @abnonjakpus 2015 dengan pakaian luar biasa Abang-None. #AbnonJKT15 pic.twitter.com/gGePO28WbT
— Abang None Jakarta (@abnonjakarta) 5 Juni 2015
Abang-None hampir selalu berada di belakang gubernur, wali kota, dan pejabat lainnya sebagai petugas protokol. Mereka juga selalu mengikuti berbagai festival di Jakarta, baik sebagai penari, penjaga stand, dan MC.
Namun tidak bisa dipungkiri banyak pihak yang mengkritik keberadaan mereka – dan para pemenangnya kontes kecantikan serupa – hanya untuk tampilan.
“Saya sering mendengar kritik itu,” kata Purba. “Makanya sebenarnya kami mendorong IANTA (Asosiasi Abang None Jakarta) menjadi badan hukum agar bisa menerima hibah.”
Menurut Purba, pengembangan Abang-None membutuhkan dana dan pemerintah tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan tersebut.
“Pemda bisa memberikan sebagian besarnya, namun dana hibahnya bisa tambahan agar bisa lebih mensosialisasikan budaya tersebut,” ujarnya. “Mereka juga bisa ikut bersosialisasi dengan program lain, seperti membuang sampah pada tempatnya.”
Selain Abang-None, Jakarta memiliki beberapa duta wisata lainnya, seperti Pemuda Ceria, Putra-Putri Bahari, dan Cici-Koko Jakarta. Namun sejauh ini, apakah keberadaan duta pariwisata terbukti memberikan pengaruh positif terhadap promosi pariwisata Jakarta?
“Sejauh ini menarik. Banyak orang yang meminta untuk berfoto bersama, misalnya artis. “Itu salah satu indikasi bahwa mereka menarik dan enak dipandang,” kata Purba. “Kedua, di luar negeri bisa jadi MC. Memang mereka tahu, kalau PR mereka lakukan. Saya pikir dalam hal ini mereka cukup aktif.”
Purba juga menambahkan, masyarakat tidak boleh menuntut terlalu banyak kepada duta pariwisata.
“Kita juga harus melakukannya membenarkan. Kita tidak boleh membebani mereka terlalu berat, mereka tidak akan hidup sebagai Brother-None. Dia punya pekerjaan, dia perlu mendapatkan uang. “Kalau mereka memberikan waktunya untuk acara-acara pemerintah daerah, itu sudah sebuah pengorbanan,” ujarnya.
“Jadi, poin saya berikutnya adalah kita tidak boleh menuntut terlalu banyak, kecuali memang benar adanya waktu penuh. Itu tidak benar, mereka hanya diberi (uang) mengangkutitu sebenarnya cukup untuk mengangkutpergi ke salon yang bagus juga tidak cukup.
“Banyak orang biasanya mengkritik tetapi tidak mau menghargainya.”
NANDAK KHAS ABNON JAKPUS: LUAR BIASA! pic.twitter.com/sv0VijDWRh
— Abnon Jakarta Pusat (@abnonjakpus) 5 Juni 2015
Lantas, adakah upaya pembinaan agar duta pariwisata bisa semakin dipekerjakan?
Menurut Purba, konstruksi yang ada sudah cukup sehingga tidak perlu ada perubahan.
“Dari seleksinya sangat ketat, selain karena mereka juga orang-orang terpelajar. Tahun ini, final tingkat kota sebagian besar berasal dari (Universitas Indonesia) yang merupakan orang-orang terpilih diantara kami. “Jadi sebenarnya mereka sudah ada, tapi ini bagaimana kita bisa memanfaatkannya untuk menyosialisasikan program pemerintah,” kata Purba. —Rappler.com