• December 26, 2024

Mengapa saya senang dengan LGBT di Amerika Serikat

Sesaat kemudian, saya melihat timeline Facebook saya dipenuhi warna pelangi yang diposting oleh jurnalis senior Rappler Ayee Macaraig dan dosen saya yang juga pendiri organisasi komunitas gay Gay Nusantara Dede Oetomo, saya langsung menyadari bahwa Amerika Serikat baru saja melegalkan pernikahan sesama jenis.

Kebahagiaan!Saya berkomentar ketika saya membagikan ulang artikel di Rappler.com tentang kabar baik.

Apakah ini kabar baik?

Mungkin sebagian pembaca akan langsung bertanya-tanya, mengapa saya menggolongkan berita pernikahan sesama jenis sebagai kabar baik?

Apalagi hal ini diungkapkan oleh saya, seorang muslimah berhijab. Tunggu sebentar. Saya punya alasan untuk itu.

Saya tidak akan berceramah atau berkhotbah dengan ayat-ayat untuk menjelaskan posisi bahwa Islam menoleransi kaum gay. TIDAK. Itu tidak ada gunanya.

Mungkin aku akan dicap mesum seperti Lia Eden jika aku bermain-main dengan kalimat.

Sejauh ini saya belum pernah melibatkan satu ayat pun di sisi saya dengan kaum gay. Itu hanyalah pengalaman spiritual tak berarti yang terjadi 3 tahun lalu.

Terdampar di konferensi gay dunia

Tepatnya, pada tahun 2012 saya terdampar di sebuah festival gay dan lesbian sedunia di Berlin, Jerman.

Jangan tanya kenapa saya terdampar disana, hanya kebetulan saja saya mendapat tugas dari mata kuliah jurnalisme untuk mengikuti konferensi tersebut. Sama seperti konferensi internasional lainnya.

Saya yang bilang, “Kalau kaum gay boleh menikah, silakan, tapi di Belanda,” akhirnya dihadapkan pada kenyataan bahwa saya memang harus membuktikan pernyataan saya bahwa saya tidak homofobia.

Tapi ternyata rasanya hanya manis di mulut. Saat saya masuk ke ruangan yang penuh dengan kaum gay dari seluruh dunia, dari Lebanon hingga Afrika Selatan, bulu kuduk saya merinding. Apalagi ketika saya mendapat kontestan wanita. Tentu saja dia lesbian.

Saya takut, cemas, pusing, bahkan takut diperkirakan. Saya merasa seperti berada di kebun binatang. Mereka bukan binatang, ini aku.

Ya, bayangkan saja. Ada seorang wanita berhijab di tengah konferensi gay sedunia. Mereka pasti mengira aku satu-satunya orang ‘normal’ di gedung ini. Dan aku menjadi tontonan.

Saya menarik ke samping dan bingung. Bolehkah saya mewawancarai salah satu dari mereka saja? “Mustahil,” kata hatiku.

Aku memilih untuk duduk dan menenangkan diri. Hari itu saya gagal mewawancarai satu pun sumber gay di konferensi tersebut. Sayang sekali.

Rangkullah penderitaan David Kato

Keesokan harinya mentor saya mengajak saya jalan-jalan ke Festival Film Berlin. Kami akan menonton film yang bagus, katanya. Judulnya adalah Panggil aku potong.

Film ini ditayangkan pertama kali di seluruh dunia hanya di festival ini. Tentu saja saya merasa terhormat bisa menontonnya.

Apa itu Kuchu? Kuchu adalah sebutan untuk kaum gay di Uganda.

Ternyata, mentor saya adalah satu-satunya orang yang memberikan perkenalan sebelum film tersebut diputar. Ia menjelaskan bahwa film ini tentang Kisah hidup David Katoorang pertama yang secara terbuka mengungkapkan statusnya sebagai gay di Uganda.

Kato harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tidak diterima di masyarakat Uganda, terutama di komunitas gereja lokalnya.

Ia mendapat pelecehan, intimidasi sebelum akhirnya dibunuh.

Saya menangis saat menontonnya. Ditambah lagi aku menontonnya di samping sahabatnya, Kasha Jacqueline. Saya menjadi lebih emosional saat menontonnya.

Uganda sangat ketat terhadap kaum gay, mereka bahkan memiliki undang-undang khusus yang memenjarakan kaum gay dan bahkan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka.

Dari situ saya mulai berpikir, kenapa orang bisa dihukum mati hanya karena punya kelainan orientasi seksual? Ada sesuatu yang salah.

Mengapa masyarakat kita menghukum kaum gay?

Kematian Kato membuatku sedih selama berhari-hari. Bagaimana jika ini terjadi pada saya? Saya masih aman karena orientasi seksual saya sama dengan mayoritas penduduk dunia lainnya.

Namun mengapa tidak ada sedikit pun rasa sayang dari sebagian masyarakat terhadap kaum gay?

Kita membenci mereka di dalam hati, lalu bergosip tentang mereka di belakang mereka (ada orang yang melakukan hal itu, kan?), lalu mengasingkan mereka dengan menasihati anggota keluarga atau teman kita untuk tidak bergaul dengan mereka karena mereka ‘sakit’ dan ‘tidak normal’.

Hal yang paling jahat menurut saya adalah mengatakan bahwa mereka pantas menerima hukuman mati.

Apalagi saya dengar yang menyerukan hal itu adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Saya bertanya pada diri sendiri, apakah kebencian terhadap kaum gay merupakan ajaran Tuhan atau ajaran agama? Para sarjana mungkin bisa menjawabnya.

Mengapa tidak mencoba untuk tinggal bersama mereka?

Meskipun saya bukan seorang gay, saya mempunyai beberapa teman gay yang menurut saya memiliki penampilan yang sama dengan orang lain. Sama pintarnya, sama baiknya, sama ramahnya. Hanya ada satu perbedaan: orientasi seksual mereka.

Selama 3 tahun terakhir saya telah berdamai dengan homofobia dan mencoba untuk hidup dengannya. Dan bukan hal buruk yang saya dapatkan, melainkan pengalaman hidup yang berbeda.

Contohnya, ketika saya berada di tempat yang sama dengan teman sesama jenis, ternyata kami sedang melihat cowok yang sama (OMG, saya lupa kalau dia gay. Berarti dia pesaing saya). Lalu kami tertawa bersama.

Ini hanyalah salah satu dari sekian banyak cerita bagaimana saya menghabiskan hari-hari saya bersama teman saya yang memiliki orientasi seksual berbeda.

Namun bergaul dengan mereka tidak membuat saya berubah dengan melepaskan status saya sebagai seorang Muslim. TIDAK. Aku masih berhijab, aku masih shalat.

Saya memutuskan untuk tidak membawa ayat-ayat yang diajarkan kepada saya di tempat Al-Quran ketika saya bersama mereka. Ayat itu cukup berlaku untuk saya saja.

Jadi kami berteman dengan tetap menghormati orientasi dan keyakinan hidup masing-masing.

Karena bagi saya, seperti yang dikatakan Presiden AS Barack Obama, cinta pada akhirnya akan menang, bukan? —Rappler.com

Febriana Firdaus adalah jurnalis Rappler Indonesia. Ia fokus membahas isu korupsi, HAM, LGBT, dan pekerja migran. Febro, sapaan akrabnya, bisa disebutkan @FebroFirdaus.


slot