• November 15, 2024

Mengelola perbedaan agama dalam rumah tangga

Ketika saya memutuskan untuk menikah 26 tahun yang lalu, saya menyadari bahwa saya harus menghadapi perbedaan ini (mungkin) sepanjang hidup saya.

Suami saya, Yusro M. Santoso, adalah seorang Muslim. Beliau lahir dari keluarga muhammadiyah, sedangkan saya beragama kristen sejak lahir. Dan kami sepakat untuk tetap memegang keyakinan kami masing-masing.

Egois? Mungkin sebagian orang akan berkata demikian. Namun bagi kami, memilih agama adalah urusan pribadi.

Mengelola perbedaan dalam rumah tangga adalah hal yang lumrah. Namun, tidak mudah untuk menavigasi perbedaan agama dalam rumah tangga.

(BACA: Kenangan Bulan Ramadhan Sebagai Umat Kristiani)

Namun kali ini saya tidak membahas hal itu. Dalam kehidupan berumah tangga saya ada 2 momen penting yang kita alami setiap tahunnya, yaitu: bulan Ramadhan dan Idul Fitri, serta Natal. Kali ini saya ingin berbagi tentang bagaimana kita menghabiskan bulan Ramadhan.

Puasa bukanlah hal baru bagi saya. Keluarga saya, dari nenek saya yang ibunya orang Jawa, sudah terbiasa berpuasa. Ya, puasa weton, juga puasa Senin-Kamis. Kebetulan keluarga besar saya juga campuran (ada yang Islam, Kristen, Katolik), jadi saya juga sudah terbiasa dengan ritual Idul Fitri.

Waktu kecil saya sering bangun jam 3-4 pagi untuk makan, padahal saya tidak puasa. Tapi enaknya, bangun pagi, makan, lalu tidur lagi, bangun sarapan lagi.

Seperempat abad untuk menikmati perbedaannya

Kemudian ketika saya menikah, dan suami saya sedang berpuasa, saya tidak langsung berpuasa. Biasanya dulu ada pembantu yang menyiapkan makanan, dan saya hanya bangun menemaninya duduk di meja makan, tapi tidak ikut puasa. Saya juga berpuasa, tapi hanya beberapa hari saja. Rupanya putri saya ‘mengikuti’ saya, bangun pagi, makan, tapi keesokan paginya sarapan.

Saat itu aku lebih memilih sibuk menyiapkan hidangan buka puasa, dan sibuk melakukan kegiatan buka puasa bersama teman-teman. Hingga suamiku bercanda: “Siapa yang puasa, siapa yang puasa sana sini?”

Kami sepakat untuk tetap memegang keyakinan masing-masing. Egois? Mungkin sebagian orang akan berkata demikian. Namun bagi kami, memilih agama adalah urusan pribadi.

Ya, karena saya juga sering menjadi koordinator acara buka puasa bersama dengan berbagai komunitas, seperti teman sekolah, teman kerja di perusahaan lama saya, dan lain sebagainya.

Beberapa tahun terakhir ini saya mulai rajin berpuasa, ya puasa weton, juga puasa Senin-Kamis, puasa menjelang Paskah, dan mengikuti puasa Ramadhan. Nah, berbeda dengan rutinitas puasa lainnya yang tidak disertai sahur, puasa Ramadhan memang jauh lebih “menantang”, apalagi harus bangun jam 3 pagi dan harus makan. Karena puasa lainnya, saya tidak pernah sahur.

Tantangan lain dalam menjalani Ramadhan 3 tahun terakhir adalah di rumah saya tidak ada pembantu yang menginap, artinya tidak ada yang menyiapkan makanan. Namun hal ini sepertinya menjadi kekhawatiran baru bagi saya.

Seru? Ya, karena aku tidak kokicuma bisa masak seadanya, tapi enaknya bisa masak di dapur, rasanya begitu menyegarkan. Jadi menyiapkan makanan untuk sahur juga semacam itu menyegarkan untuk saya.

Agar tidak ribet, saya menyiapkan hidangannya di malam hari. Biasanya pulang kerja saya mulai memasak sekitar jam 9 malam, sesuatu yang sederhana, seperti tumisan. Lalu ikannya bisa telur, ayam, juga tahu, tempe. Jadi besok kalau bangun tidur, hangatkan saja sebentar. Masakan sederhana dan mudah untuk menu sahur.

Rangkullah perbedaan dengan santai

Kekhawatiran saya yang lain di bulan Ramadhan adalah membeli oleh-oleh Idul Fitri untuk anggota keluarga. Di awal puasa, biasanya saya menuliskan daftar nama dan apa yang ingin saya berikan.

Suatu ketika saya membelikan jilbab/jilbab untuk mertua saya. Ketika saya berada di toko, saya mencobanya hanya untuk bersenang-senang dan mengambil foto saya penempatan di media sosial. Sehingga menimbulkan sedikit kehebohan di kalangan teman-teman yang melihatnya.

(Sastra Ramadhan: Mereka yang Menilai Islamku)

Yang pasti rutinitas itu membuat pengetahuan saya tentang keingintahuan lebaran cukup lengkap. Bahkan terkadang saya menyempatkan diri untuk menemani saudara atau teman dari luar kota yang ingin berbelanja kebutuhan lebaran. Thamrin City atau Pasar Mayestik, dua tempat favorit saya.

Biasanya saya bisa belanja setengah hari untuk lebaran. Dan jangan heran, setiap tahunnya saya selalu membeli gamis untuk dipakai saat lebaran dan selalu saya pakai hanya sekali saja. Dan tahun berikutnya beli lagi. Setiap tahun muncul model gamis baru, itulah yang akan saya katakan jika suami saya protes.

Menjalani perbedaan dengan santai, menikmati setiap momen, itulah yang kami lakukan. Dengan cara sederhana ini kita belajar arti mengalami perbedaan dan keberagaman dalam keluarga kecil kita.

Tahun ini saya berharap bisa berpuasa sebulan penuh. Dan karena perbedaan itu (mungkin) kami punya lebih banyak cerita dibandingkan yang lain. Itu menyenangkan dan sangat berharga. —Rappler.com

Elisawati Ventura adalah seorang ibu, penulis dan wanita karir. Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai pakar media dan media sosial di Inmark Digital. Dia dapat ditemukan di Twitter @BundaVE.

Artikel ini adalah bagian dari Cerita Ramadhan. Sebelumnya diterbitkan di blog pribadi penulis vlisa.com.


Togel Singapore